Sore membosankan seperti biasa, dimana langit bergurat senja dengan jingga mendominasi—lalu lintas kendaraan kian memadati jalan, dan Jimin yang selepas bekerja selalu berkunjung ke rumah sakit menengok pujaan hatinya. Tidak ada hal baru dilakukan selain mengganti air bunga dalam vas maupun membacakan dongeng-dongeng untuk Lee Dongyoo tercinta.
"Kisah si manis bertudung merah sudah tamat. Besok akan kubelikan buku cerita baru, okay?"
Tiada balasan selain suara monitor pasien beserta pendingin ruangan berderu pelan, Jimin melukiskan senyuman kentara sendu berpendar lewat sepasang obsidian legamnya. Kedua tangannya terangkat menggenggam sebilah lengan Dongyoo dengan selang infus senantiasa tersemat disana, ia menunduk sembari terus merapal doa.
Jimin berbisik penuh afeksi mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah hilang harap, selagi napas itu masih mengudara, selagi terdapat detak kehidupan pada jantung tersebut—ia akan berjuang mempertahankan Dongyoo atas nama kesetiaan.
Lelaki itu lekas berdiri mengatur penampilan, derap kakinya melangkah keluar menuju koridor rumah sakit. Terkadang beberapa perawat menyapanya ramah, menanyakan kabar terkini sang kekasih, maupun menyemangatinya.Jimin selalu bersyukur atas hal itu, didekatkan kepada orang-orang yang baik padanya. Pun ia memutuskan pulang merehatkan jasmaninya dari segudang kegiatan padat. Jimin kira sunyi kembali menyapanya saat masuk ke dalam rumah, namun ternyata ia sedikit terkejut akan presensi sang adik yang telah kembali dari acara malam pertama.
Hwayoung disana, terlelap pulas di dalam kamar seorang diri sementara Yoongi terduduk di sofa ruang tengah dengan mata terpejam dan sebagian kakinya berbalut selimut. Astaga, mereka baru saja menikah bagaimana bisa berpisah ranjang begini. Jimin mendengus sembari mengurut kening, ia berusaha mematikan televisi dan tanpa sengaja pergerakannya itu membangunkan Yoongi.
"Kenapa kau disini?" tanyanya terheran-heran.
"Hwayoung merasa terganggu jika aku tidur bersamanya."
Yoongi membenarkan posisi menjadi terlentang dan menumpukkan bantal sebagai penyangga kepala, "Kurasa dia belum terbiasa, Jim. Kau harus maklum."
Jimin dengan patetis menatap raut sendu tersorot jelas dari seseorang yang kini menjadi adik iparnya, tanpa ragu tangannya bergerak tuk membawa tumpukan bantal. Hal tersebut membuat Yoongi kebingungan,"Mau kau bawa kemana ..."
Sontak Jimin berkilah memutuskan kalimat yang barusan diucapkan.
"Malam ini kau tidur di kamarku, Yoon."
.
.
.
Pukul delapan pagi, kala sang baskara terbit menyinari birunya langit; sedikit menghangat dan tidak terlalu terik—Yoongi sudah bangun lebih awal dan berkutat di dapur secara terburu-buru. Ia menaruh seporsi omelette lengkap potongan buah persik beserta segelas susu formula tersaji di atas meja makan, alhasil aroma harum dari hidangan tersebut membuat Jimin keluar dari sarang sementara Yoongi bergegas melepas apron yang mengikat di pinggang seraya menata diri di hadapan cermin.
Masih dalam keadaan setengah mengantuk, Jimin menguap sebentar sambil jemarinya merangkak hendak mengambil makanan namun dilarang oleh Yoongi.
"Ini semua untuk Hwayoung, bangunkan dia setelah aku pergi."
Yoongi yang sudah rapih kembali berjalan ke arah dapur dan menggigit sepotong roti panggang lalu berjalan menuju pintu sebelum Jimin mencegahnya.
"Kau ke studio sepagi ini?" tanyanya penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Mean For You
FanfictionBagaimana jadinya seseorang yang sudah kau anggap sebagai kakak kandung sendiri kini harus menikahimu? Hwayoung bisa gila. Hanya karena tragedi malam itu dimana Yoongi masuk ke kamarnya dalam kondisi mabuk berat akibat pernikahannya dibatalkan, calo...