PROLOG

704 70 22
                                    

Langit yang merekah merah itu berpendar di ujung cakrawala, membiaskan cahaya dalam tujuh warna eksentrik di permukaan air laut. Deburan ombak menyapu pinggiran pantai pasir putih, menjilat ujung kaki seorang anak laki-laki yang tengah menikmati pemandangan luar biasa itu. Anak itu tak mengalihkan pandangannya dari angkasa, menatap lekat pada sang surya yang mulai bersembunyi di ufuk barat. 

Tuing tuing tuing

Sebuah sirene berbunyi dengan keras, membuat anak tersebut mau tak mau mengalihkan perhatiannya yang tengah terpusat pada titik keindahan itu. Ia melihat gedung yang menjulang tinggi dengan cat warna putih cerah di pinggir tebing pantai. Sirene merah itu mengedipkan lampu berulang kali, menandakan adanya sesuatu yang tidak beres―sesuatu yang terjadi di dalam bangunan itu. 

Sesuai instingnya, sang anak pun berdiri. Ia berlari ke arah gedung membawa sepatu ketsnya dengan kedua tangannya. Di tengah jalan, ia berhenti sejenak untuk memakai sepatu itu dan kembali berlari―lebih cepat dari sebelumnya. 

***

Sekelebat memori asing muncul silih berganti seperti penggalan film yang dipercepat sekian kali. Seorang pemuda kecil dengan rambut hitam gelap sayup-sayup membuka matanya. Tubuhnya begitu lemah tanpa daya. Tangan dan kakinya membeku dalam suhu dingin ruangan putih asing. Badannya terkulai di atas brangkar keras dengan sprei putih polos dan sebuah infus yang menggantung di sebelahnya. Dalam kesunyian itu, hanya terdengar suara detak jantung dan hembusan napasnya sendiri. 

"Jungkookie, selamat ulang tahun!" Seorang wanita mengecup pipinya, memberinya pelukan erat. Di belakang wanita itu tampak seorang pemuda yang terlihat sedikit lebih tua darinya, sedang membawa kue dengan lilin, dan seorang pria paruh baya tampan dengan hidung bangir. Mereka semua tersenyum bahagia seraya menyelamatinya satu persatu. 

Siapa?

Sekelebat bayangan lain muncul. Seorang gadis berseragam sekolah duduk di bangku depannya. Saat menoleh, ia memberikan sebuah kertas berisi kumpulan pertanyaan. 

"Jungkook-ah, berjuanglah. Kau pasti bisa mengerjakannya!" ujar gadis itu. Ia tersenyum lebar seraya menyibakkan sisi kanan rambut pendeknya ke belakang. Semu pink pada pipinya membuat rindu dalam hatinya, entah mengapa. 

Kapan? 

Siapa mereka? 

Seorang pria muda berjubah putih panjang dengan senyum manis menggantung pada wajahnya menghampiri pemuda itu. Pria itu meraih pergelangan tangan sang pemuda, melakukan serangkaian pengecekan tanpa menghilangkan ekspresi ramah dan bahagia dari raut wajahnya. 

"Jungkook-ah. Sudah waktunya tidur siang. Ingat, kau tidak boleh mengingat yang tidak perlu, oke?" ujar pria itu. 

Pemuda kecil bernama Jungkook itu bisa mendengar segalanya dengan begitu jelas, meski ia tidak yakin apakah dirinya bisa mencerna perkataan pria itu dengan gamblang. Dirinya memilih untuk memejamkan mata selagi imajinasi dalam otaknya bergerak liar, memproyeksi segala hal yang tidak pernah dilakukannya itu, semakin menjadi―membuatnya setengah gila. 

"Dokter, kepalaku sakit." gumamnya lirih. Tangannya bergerak ke atas kepalanya, mengusap helaian rambut arangnya perlahan-lahan hingga akhirnya menarik dengan cukup keras. "Sakit..." 

Pria muda itu menggenggam jemarinya, menghentikan Jungkook dari tindakan kasarnya. 

"Kau tidak boleh menyakiti diri sendiri, Nak." 

"Sakit..." 

"Aku tahu. Kami sedang berusaha untuk menghilangkan segala memori tak penting. Bersabarlah, oke?" 

UTOPIA [KookV / KookTae]Where stories live. Discover now