5 - Kejujuran

10 0 0
                                    

"Dia Alexa."

Ruly mengerutkan keningnya. Tidak percaya dengan pernyataan Sabil. Jadi selama ini Sabil menyukai Alexa, perempuan yang tidak Ruly sukai. Ruly percaya kalau Alexa adalah perempuan yang baik walau sifatnya yang menyebalkan. Saat ini hanya kehampaan yang Ruly rasakan. Tak ada rasa sedih, gembira, ataupun cemburu, mungkin.

"Jadi dia yang kamu sukai adalah Alexa? Oh, maksudku perempuan yang kamu cintai itu adalah Alexa? Teman sekelasmu?"

Sabil seketika membisu tak merespon sama sekali pertanyaan Ruly. Matanya menatap mata Ruly yang saat itu tengah membendung butiran bening yang bisa saja tak terbendung.

"Oh.. iya, hehe Alexa ya.. baguslah. Aku hanya berbohong perihal aktingmu tadi. Kamu melakukannya dengan baik Sabil. Selamat ya..." Ruly memeluk Sabil sebagai ucapan selamat untuknya, sepertinya Ruly berpikir pelukan itu adalah pelukan terakhir pada Sabil. Karena tidak mungkin dia bisa dekat lagi dengan Sabil untuk ke depannya nanti. Sungguh Ruly benar-benar tidak kuat berpura-pura tidak mencintai.
Air matanya menetes karena Ruly pikir Sabil tidak akan melihatnya menangis.

"Ruly.." Sabil melepaskan pelukannya.

"Kenapa kamu menangis?"

Ruly segera mengusap kasar air matanya. Dan Sabil dengan cepat menahan tangan Ruly untuk mengusap air mata Ruly dengan jempolnya.

"Aku hanya sedih Sabil.. aku sedih aku takut kamu akan meninggalkannku dan tidak punya waktu untukku." Ruly meledak, menangis sejadi-jadinya. Pundaknya naik turun lalu segara Sabil mendekapnya.

"Hey.. siapa yang akan meninggalkanmu Ru, mana mungkin aku meninggalkan sahabatku satu-satunya ini. Dengar jangan berpikir aku akan menjauhimu. Aku tahu Ru, aku sangat tahu kalau kamu kesepian selama ini, semenjak kepergian orang tuamu. Aku sudah bertekad untuk selalu ada untukmu Ru. Aku mencintaimu.."

Cinta sebagai sahabat, Ruly sudah tahu itu. Sabil tidak mengucapkannya saja sebenarnya Ruly juga sudah mengetahuinya.

"Aku mohon tetaplah berada di sisiku, Sabil. Aku memanglah egois. Aku tidak mengerti perasaanmu. Maafkan aku Sabil.. aku terlalu lemah dihadapanmu." Ruly melepaskan dekapan Sabil.

"Maaf? Untuk apa Ru? Untuk apa kamu minta maaf? Bagiku kamu sudah aku anggap menjadi bagian di hidupku."

"Aku pun demikian Sabil, tapi pernyataanmu tadi benar-benar membuatku syok."
Ruly mengalihkan pandangan ke arah pemandangan di bawah bukit. Di depannya tepajang jelas perbukitan yang luas dan hijau seperti padang rumput.

"Pernyataan yang mana Ru?"

"Haruskah aku menjelaskannya? Aku tidak ingin aku menangis lagi. Aku malu menangis di depanmu."

"Aku tahu kamu perempuan yang kuat Ru, tapi jangan pernah malu untuk menjadikanku sebagai sandaran di saat kau bersedih. Jika kamu bersedih aku juga akan bersedih. Jika kamu bahagia aku juga bahagia. Air matamu adalah air mataku."

"Aku sangat beruntung bisa kenal denganmu Sabil." Ruly tersenyum tipis yang tulus.

"Akupun begitu."

Hening

Ruly berjalan ke bawah pohon yang rindang dan duduk di sana.
Sabil mengikutinya dari belakang.

"Ruly... kenapa kamu diam saja?"

Ruly sama sekali tak bergeming pandangannya memandangi keindahan alam di depannya.

"Ruly... Ruly..!!" Sabil mengguncang-guncang bahu Ruly membuat Ruly kesal.

"Ada apa Sabil Amadeo...?" Ruly mendelikan matanya, merasa terganggu. Saat ini Ruly sedang memandangi keindahan alam di depannya. Di depannya terpajang pemandangan perbukitan yang luas dan hijau oleh padang rumput seperti hamparan permadani yang indah.

Sabil atau AzkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang