"Apa yang kau lakukan di sini?"
Deg!
Suara itu membuat tubuh Sandara luar biasa menegang sesaat setelah keluar dari lorong dan menutup rapat rak yang menjadi penghubung ruang rahasia tersebut. Rahang gadis itu mengeras dengan manik yang berputar sembarang arah secara liar. Sandara hanya ingin menghilang di detik ini. Lenyap tak berbekas.
Bisakah Tuhan mengabulkan permintaan konyolnya di saat seperti ini?
Mau tak mau gadis itu berbalik arah dengan gerakan lambat. Pandangannya tertunduk, mencoba berharap pada sebuah keajaiban mustahil yang dapat menghentikan waktunya agar tak usah bertemu dengan pria itu.
Suaminya, sekaligus orang paling dihindarinya untuk saat ini. Namun tentu saja pengharapan bodoh itu hanyalah menjadi angan-angan belaka karena kini sang pria persis berada di hadapannya. Bahkan objek yang pertama kali ia lihat ialah sepatu pentofel mengkilat yang masih sama dengan yang pria itu gunakan saat pemberkatan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ulang Ji Yong dengan nada penekanan pada setiap katanya. "Bukankah aku telah menyuruhmu untuk menunggu di ruang makan?"
Manik hazel itu menutup erat dengan bibir cerinya yang bergetar. Gadis itu bahkan harus menggigit pipi bagian dalamnya demi menahan isak tangis yang mungkin sebentar lagi akan keluar dengan desakan cairan sialan yang mulai terkumpul di pelupuk.
Tak ada jawaban sebagai respon, yang terdengar hanyalah deru napas dari kedua orang yang tengah berdiri berhadapan dengan sang gadis yang luar biasa merasa terintimidasi.
"Heels-mu patah?" tanya Ji Yong tiba-tiba hingga membuat lidah Sandara kelu. "Lalu... apa yang terjadi dengan ujung gaunmu? Itu seperti... noda darah?"
Pria itu memperhatikan segala detail penampilan gadisnya dengan pandangan yang serasa menguliti Sandara hingga ke tulang. Gadis itu makin menunduk dalam dengan merapalkan berbagai doa dalam hati. Bagaimanapun juga pria di hadapannya saat ini sama sekali tak mampu ia kenali.
Ia sangat jauh berbeda dengan Ji Yong yang menjadi kekasihnya selama setahun terakhir. Aura yang menguar dari pria di hadapannya kini terlalu kuat... dan juga bengis.
"Apa yang terjadi denganmu, huh?"
"Ji Yong-ah..."
Gadis itu memberanikan diri berucap dengan suara paraunya. Wajahnya mendongak demi melihat sang pria di hadapan yang kini tengah menyunggingkan senyum mematikan. Senyuman itu masih sama memabukkannya, namun tampak berbeda di mata Sandara.
Karena kini bahkan yang dirasakan gadis itu hanyalah rasa mencekam dengan ketakutan luar biasa yang menyergap. Seolah-olah tengah ada hewan predator di hadapan yang akan memangsanya dengan satu kali gigitan tajam.
"Wae? Aku hanya bertanya. Mengapa kau menjadi kaku sekali, Dara-ya? Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku?"
Sandara menggertakan giginya. Melihat Ji Yong yang masih berdiri santai dengan raut tenang malah menambah intensitas pacu jantungnya. Tanpa gadis itu sadari, kini bahkan keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari pelipis juga hampir di sekujur tubuhnya. "A... aku... aku kemari hanya untuk mencarimu, namun tadi kau tak ada... jadi..."
Tanpa membiarkan sang gadis menyelesaikan ucapannya, ujung manik kelam nan tajam milik Ji Yong mampu menangkap serpihan lilin yang cukup tertutupi dengan noda darah pada ujung gaun Sandara. Pria itu mendecak, melukiskan senyuman tanpa dosa pada wajah rupawannya. Tanda bahwa ia telah mengerti dengan situasi yang terjadi. "Bukankah kau telah melihat semuanya?"
Satu pertanyaan itu membuat nyawa sang gadis bagai ditarik keluar. Malaikat maut seolah-olah tengah bersiap untuk menjemputnya dengan wujud Ji Yong sebagai bentuk nyata yang berada di hadapannya.
"Melihat... apa?"
Ji Yong memutarkan matanya malas. Oh ayolah, bukankah gadis itu terlalu berbelit-belit? Pria itu terlalu pintar untuk Sandara bodohi dengan kelakuan kekanakkannya. Kini bahkan Ji Yong tengah melayangkan tawa sumbang mengejek.
Merendahkan gadis di hadapannya dengan terbahak hebat seraya memegangi perutnya yang kesakitan. Selera humor pria itu terlalu sulit dimengerti dengan menganggap Sandara yang tengah bermain-main. Benar-benar menggelikan.
"Berhenti berakting kaku seperti itu, Park Sandara!"
Satu kalimat terlontar terdengar seperti ancaman. Berat dan dalam disertai manik kelam yang memicing tajam. Perubahan ekspresi Ji Yong secara tiba-tiba mampu membuat Sandara bergidik ngeri dengan bulu kuduk yang meremang.
"Aku... tak mengerti apa yang maksudkan."
"Bukankah kau telah berjanji padaku, huh?" tanya Ji Yong dengan kedua tangan kokohnya yang meraih bahu terbuka Sandara. Pria itu bahkan maju selangkah demi mengikis jarak di antara mereka.
"Janji?"
"Aish, berhentilah bertanya bagai gadis bodoh!"
Sandara makin memaku di tempat akibat nada tinggi dari ucapan Ji Yong. Kelakuan gadisnya telah berhasil menyulut emosi sang pria namun masih dalam batas rendah dan dapat ia redam untuk sementara.
Ya. Hanya sementara.
"Wae? Kau gugup? Kau bahkan melupakan janji yang telah kita ucap di altar tadi siang?" Ji Yong menampilkan gurat kekecewaan di riak wajah rupawannya. Pria itu mendesah dan meraih wajah Sandara. Kini pandangan keduanya bersitemu dengan jarak yang amat dekat. "Kau telah berjanji untuk selalu menjadi pengantinku. Ingat?"
Deg!
'Hari ini, esok, dan seterusnya, maukah kau tetap menjadi pengantinku?'
.
.
.To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Bride
Fanfiction'Hari ini, esok, dan seterusnya, maukah kau tetap menjadi pengantinku?' -KJY- ©andaxxi