Bagian Satu: 4

18 4 0
                                    

Butuh waktu beberapa saat untuk menghilangkan kesenyapan di studio siaran ini. Kesenyapan berakhir ketika seorang kru memulai obrolan ringan mengenai apa yang baru saja narasumber ini ceritakan. Sang kepala kru mengangkat papan tulisnya untuk memperingati si gadis agar segera membaca kiriman dari para pendengar. Sebenarnya si gadis lebih ingin mendengarkan kelanjutan cerita dari narasumber. Dia begitu penasaran dan takut waktu siarannya habis. Apabila terjadi demikian maka cerita narasumber dilanjutkan besok malam. Rasanya tidak bisa jika harus menunggu sampai besok lagi. Tanpa membuang waktu lebih banyak, si gadis langsung membacakan tanpa meminta izin dari narasumber.

"Baik, Mba Mawar ini ada kiriman dari Ashyani dia bilang begini Saya mengerti mengapa Mba Mawar melakukan hal yang pada dasarnya dosa. Sejak kecil Mba Mawar sudah berinisiatif untuk membantu ibu. Pasti ketika Mba bekerja demikian itu karena ingin membantu ibunya. Ayo lanjut ceritanya mba!" ucap si gadis dan dia terdiam sejenak, ia masih mencari-cari kirimin yang setidaknya layak untuk dibacakan, "kalau yang ini dari Keluarga Prasetyo, kami sekeluarga sedang melakukan perjalanan jauh dan kebetulan sedang mendengarkan cerita Mba Mawar, sepertinya kisah mba tidak biasa dan bisa dijadikan bahan reflektif untuk keluarga saya."

"Terima kasih yang sudah mendengarkan saya. Saya merasa bersyukur apabila ada orang yang setidaknya paham dengan kondisi saya bukan sok mengerti dan malah menyalahkan saya," kata si Narasumber yang tidak begitu menghiraukan komentar orang lain. Dia hanya berusaha untuk memperingatkan secara halus kepada pendengarnya untuk tidak mengirim komentar sembarangan. "Boleh saya lanjut bercerita mba?"

"Tentu!"


Suara klakson kereta terdengar jelas ditelinga Niken. Semua orang bergegas bangkit dari tempat duduknya dan menunggu kereta di belakang garis kuning. Ini kali pertama Niken akan naik kereta. Dia akan mendaftar di SMP yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya. Santari memilih untuk mengajak Niken menggunakan tranportasi umum kereta. Selain lebih cepat, harganya pun lebih murah ketimbang Niken menggunakan bus atau mikrolet. Ketika kereta semakin mendekat, Niken memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Dia heran orang-orang tersebut mengambil ancang-ancang seperti orang akan perang. Kereta pun lewat dihadapan Niken dan perlahan-lahan berhenti. Dia merasakan orang mulai mendorong dirinya seakan ia layak untuk disingkirkan. Layaknya anak kecil yang masih lugu, Niken pun tidak merasa marah atau pun terganggu dengan perilaku orang-orang disekitarnya. Dia juga melihat ibunya yang masih tampak tenang saja dan tetap menggengam tangannya dengan kuat. Sepanjang berada di stasiun, Niken selalu mendengarkan beberapa pengumuman yang disampaikan oleh orang yang tak terlihat. Sejak tadi, dia mencari di mana sumber suara itu. Namun, tak dapat ia temukan.

Ketika kereta ini akan berhenti, Niken mendengarkan pengumuman lagi dan mungkin ini yang terakhir. Orang yang itu berbicara cukup panjang, tetapi pesan yang Niken dengar jelas adalah "Mohon dahulukan penumpang yang akan turun terlebih dahulu!" imbau orang yang hanya terdengar suaranya melalui pengeras suara di stasiun.

Niken mengikuti imbauan dari orang tersebut. Dia mengikuti karena ibunya juga mengikuti imbauan tersebut. Dua perempuan itu berdiri dengan sabar. Ketika kereta akan perlahan-lahan berhenti, orang-orang di sekitar Niken mulai mendorongnya. Dorongan tersebut bukan dorongan secara langsung, melainkan dorongan yang menggunakan tubuh yang membuat Niken dan ibunya terdorong entah ke mana arahnya. Setiap arah melakukan dorongan tanpa ada rasa mau mengalah sedikit pun. Niken bingung mengapa orang-orang ini melakukan dorongan. Ini hanya sebuah kereta bukan mengantri sembako gratis, pikirnya. Pintu besi itu pun terbuka. Niken melihat orang-orang memenuhi pintu tersebut dan siap untuk keluar. Saat itu, dia baru melihat betapa egoisnya manusia walaupun itu hanya hal sepele. Orang-orang yang akan naik tidak mau mengalah, mereka menerobos masuk melalui celah-celah sempit sehingga orang yang mau keluar kesulitan untuk melangkah. Santari menggengam tangan putri kecilnya. Badan mereka terus terdorong hingga mereka nyaris melepas pengangan tangan. Niken menyesali bahwa dirinya tidak siap untuk situasi ini. Dia berusaha untuk mengalah dan mundur ke belakang bersama ibunya. Namun, tidak bisa. Orang dibelakang Niken terlalu banyak dan mereka terus mendorong Niken untuk cepat melangkah masuk.

Karena dorongan itu terlalu kuat dan karena mereka berdua tidak siap. Ketika ibunya hendak melangkah masuk, Santari terjatuh. Dia tersandung dengan kaki yang entah itu kaki siapa. Niken hanya terdiam melihat ibunya jatuh. Dia tidak bisa melakukan apa-apa karena segerombolan orang malah mendorongnya kebelakang. Hatinya lebih terenyuh ketika tak satu pun orang yang mau menolong ibunya. Mereka hanya mengekspresikan rasa terkejut dan kasihan kepada Santari, tetapi tidak berbuat apa pun. Ketika sekumpulan orang-orang egois itu berhasil masuk dan mendapatkan tempat duduk, Niken baru masuk. Dia melihat ibunya yang hanya tertunduk malu karena sudah jatuh di depan banyak orang. Syukurlah, ketika itu gadis muda yang berada tepat dihadapan ibunya itu memberikan tempat duduk. Gadis itu masih mempunyai rasa belas kasih kepada ibu yang membawa anak kecil. Santari tersenyum kepada gadis itu. Dia tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Dari gadis itu, Niken belajar bahwa berdiri untuk beberapa saat di kereta tidak akan membuat diri kita mati.

Kereta berjalan dengan cepat, Niken melihat kearah jendela. Menarik sekali melihat motor serta mobil bahkan bus besar kalah cepat dengan kereta. Tak terasa, kereta tiba di pemberhentian pertama. Orang yang masuk lebih banyak dari pada orang yang keluar. Sejauh ini, orang yang menggunakan transportasi kereta adalah pekerja kantoran dan ibu-ibu usia tiga puluhan ke atas. Mereka berpakaian rapi dan wajah serta rambutnya ditata sedemikian rupa. Ada seorang ibu tua yang memakai baju kemeja rapi dengan celana bahannya. Entah ke mana tujuan ibu ini pergi, namun kerutan sudah ada disekujur tubuhnya. Niken tidak bisa memperkirakan usia ibu ini. Ibu itu masih sanggup berdiri kokoh walau bahunya agak sedikit membungkuk. Karena rasa iba timbul di dalam hati Santari, ibu muda itu langsung memberikan tempat duduknya kepada ibu tua itu. Dia tidak sampai hati melihat wanita usia senja harus bekerja dengan menggunakan transporasi umum seperti ini.

Niken terkejut melihat ibunya memberikan tempat duduk kepada ibu tua itu. Gadis itu juga menyayangkan keputusan ibunya itu. Ibu tua itu tidak mengucapkan terima kasih kepada Santari, tersenyum pun tidak. Seakan-akan itu memang haknya, jadi ia tidak perlu berterima kasih kepada siapa pun yang memberikan tempat duduk kepadanya. Niken tidak nyaman berada di samping ibu tua itu. Ia putuskan untuk berdiri di samping Santari. Niken semakin terkejut karena setelah beberapa saat ia berdiri, seorang wanita muda usia dua puluhan menduduki tempatnya. Aneh bagi Niken, tempat duduk itu sangatlah kecil. Ia sendiri merasa kesempitan. Mengapa wanita muda itu duduk dengan nyamannya sambil bermain telepon genggam?

"Bu, apakah ibu lelah?" tanya Niken kepada Santari.

Santari menggeleng sambil tersenyum,"tentu saja tidak! Apakah kau lelah?"

Gadis muda itu juga menggeleng dengan perasaan bingung yang menghantui," tidak bu! Tapi mengapa orang enggan untuk berdiri?

"Ibu juga tidak tahu," jawab Santari singkat.

"Apakah berdiri untuk beberapa saat akan membuat kita mati, bu?" tanya Niken polos yang membuat beberapa orang melirik ke arahnya.

Santari hanya tersenyum dan tidak menjawab untuk beberapa lama. Ia yakin orang-orang yang mendengar ucapan anaknya itu pasti tersinggung. Santari tidak mau berpikiran jelek tentang kehidupan orang-orang di sini. Seberapa beratnyakah hidup atau pekerjaan mereka hingga mereka tak mau merelakan tempat duduknya untuk orang yang lebih membutuhkan. Sampai ada anak usia dini pun mereka biarkan berdiri karena anak tersebut sudah bukan balita lagi. Santari tidak menjawab pertanyaan anaknya. Biarkan orang-orang yang mendengar pertanyaan tersebut menjawabnya dalam hatinya masing-masing. Mengutamakan diri sendiri itu memang penting. Namun, apabila terlalu sering mengutamakan diri sendiri itu namanya keegoisan bagi Santari.

"Menurut saya, orang paling baik di dunia itu adalah ibu saya," ucap si Narasumber, "Saking baiknya, saya sampai muak melihat tingkah ibu saya yang selalu baik kepada semua orang!" lanjut si Narasumber dengan nada meninggi.

"Bukankah itu hal yang positif mba, jika orang terus berbuat baik?" sanggah si Gadis.

"Coba sekarang mba pikirkan satu nama orang yang paling mba benci. Maukah mba terus berbuat baik kepada orang itu? Ibu saya hanya orang biasa bahkan pemuka agama pun tidak melakukan hal yang demikian"

Si gadis pun terdiam. Ia sadar bahwa dirinya juga tidak akan sudi berbuat baik kepada orang yang ia benci. Setelah beberapa lama terdiam, si Gadis pun merendakan diri lalu berkata, "Maaf mba, boleh dilanjutkan kembali ceritanya?" pinta si Gadis yang sangat penasaran dengan perbuatan baik yang dilakukan oleh ibu si Narasumber ini.

�K�@�x 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengapa Kita Butuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang