Bagian Satu: 2

38 5 0
                                    

Matahari berada tepat di atas diubun-ubunnya. Niken berjalan agak cepat karena pestanya akan dimulai sebentar lagi. Rumah Louissa tidak begitu jauh dari rumahnya. Hanya tinggal melewati satu gapura lagi, ia sampai di perumahan tempat Louissa tinggal. Sambil berjalan, Niken berpikir mengenai ibunya. Ia sudah menyadari bahwa ibunya mengalami kesulitan baik di masa lalu maupun masa kini. Dia merasa ibunya terlalu pemalu untuk bergaul dengan ibu-ibu temannya. Ada satu pertanyaan yang sering mengganggu pikiran Niken. Apa karena ibunya malu tidak bisa berdandan seperti ibu-ibu lainnya?

Kemudian, Niken kembali berpikir. Ibunya saja tidak mau melakukan perawatan di salon yang ada di mall. Mall itu adalah mall pertama yang Niken kunjungi. Pada saat itu, ibunya mengajaknya jalan-jalan untuk membeli pakaian. Kebetulan, mereka melewati sebuah salon yang begitu indah dekorasinya. Dia dan ibunya melihat daftar harga yang ada di salon tersebut dan Niken yakin ibunya sudah berminat untuk potong rambut di salon tersebut. Ketika masuk salon tersebut, Niken masih ingat wewangian khas yang langsung tercium oleh Niken. Belum mendapat sapaan dari pegawai salon, ibunya langsung membeku ketika beberapa pengunjung menatap ke arah mereka berdua. Ibunya pun langsung meraih tangan Niken dan keluar dari ruangan tersebut.

     "Lho, mengapa ibu keluar?" tanya Niken terkejut.

     "Ibu lupa tidak membawa uang lebih, ibu potong rambut di salon dekat rumah saja,"          jawabnya.

Sejujurnya Niken juga tidak yakin dengan alasan ibunya waktu itu. Pasti ada sesuatu yang ibunya sembunyikan sampaikan sekarang. Entah apa itu tapi yang Niken yakin ibunya takut dan malu jika berhadapan dengan orang-orang kaya. Entah mengapa bisa demikian.

    "Halo mba?" potong si narasumber memastikan bahwa si penyiar masih berada di sana.

    "Iya.. iya mba," jawab si gadis. Mulutnya terasa kering, ia baru menyadari bibirnya baru terkatup rapat sekarang. Mendengar cerita si narasumber membuat hatinya pilu. Dia juga pernah mengalami hal yang sama dengan ibu si narasumber. Dahulu dia sangat malu bergaul dengan orang-orang kaya karena ia takut merasa dikucilkan oleh kelompok tersebut. Namun, apa yang dialami ibu si narasumber tampaknya lebih berat. Membayangkan apa yang menimpa ibu si narasumber saja sudah sakit apalagi mengalaminya, pasti sungguhlah berat. Si gadis mendengus, ia agak terganggu dengan suara notifikasi pesan dari para pendengar acaranya. Karena pesan baru yang masuk sudah terlalu banyak, si gadis menawarkan hal yang sama, "apakah mba mau melanjutkan ceritanya terlebih dahulu atau mau saya bacakan tanggapan dari para pendengar?" tanya si gadis dengan suara yang mengalun.

   "Saya lanjutkan cerita saya dulu saja," jawab si narasumber dengan nada datar.

Hawa panas melanda di hari itu. Niken tidak pernah merasa sepanas ini sebelumnya. Tubuhnya berkeringat yang membuat seragam putihnya basah. Dia berjalan cepat terkadang berlari agar segera sampai ke rumahnya. Dia sudah punya rencana untuk mencuci bajunya karena seragam putihnya akan ia pakai juga besok. Niken hanya punya satu seragam putih, ibunya belum bisa membelikan yang baru. Lagipula, tahun ini adalah tahun terakhirnya berada di Sekolah Dasar, ia tidak akan memerlukan seragamnya lagi di beberapa bulan ke depan. Tak masalah baginya untuk mencuci pakaian sehabis pulang sekolah. Lebih baik dicuci kebanding aromanya bau ketika ia pakai besok.

Niken tersenyum lebar ketika hendak masuk ke pintu rumahnya. Namun, senyumnya langsung sirna ketika melihat dua buah kardus yang berisi gantungan kunci boneka yang dibuat ibunya untuk suvenir pernikahan. Dia mengambil beberapa suvenir yang sudah terbungkus rapi dengan plastik bening. Niken bingung mengapa barang ini masih ada di rumahnya. Tadi pagi ibunya pamit pergi lebih dulu untuk mengantar barang ini ke rumah pemesan. Perasaan Niken terasa aneh ketika dirasakan. Ia mencari ibunya pada saat itu juga. Niken sengaja tidak memanggil ibunya ketika mencari, ia berjalan menuju kamar, tetapi ibunya tidak ada. Tidak mungkin jika ibunya tidak berada di rumah, pintu rumah terbuka dan Niken merasa yakin ibunya berada di rumahnya.

Suara isak tangis terdengar ketika Niken berada di dekat dapur. Perlahan-lahan Niken mengintip ke dapur. Ia menemukan ibunya di sana. Ibunya memakai baju berwarna biru muda dengan motif bunga. Ibunya masih mengenakan pakaian yang sama seperti pagi tadi. Wanita yang sudah ia anggap seperti malaikat ini, duduk termenung di meja makan usang. Keputusasaan nampak di dalam diri ibunya. Santari mengengam gelas yang berisi air putih. Dia masih merisaukan kerugian yang baru saja ia alami. Sampai detik ini, dia masih heran apa tujuan hidupnya. Dunia terlalu jahat untuk dihuni olehnya. Sejak lahir, penderitaan yang lebih sering ia rasakan. Jikalau tujuan hidupnya hanya untuk bersabar saja, rasanya ia mau mati saja. Santari merasa tidak ada gunanya untuk hidup. Dia tidak berguna bagi orang lain bahkan untuk dirinya sendiri pun terkadang ia merasa tidak berguna. Santari meneteskan air mata. Dadanya begitu sesak seakan tak sanggup lagi untuk bisa bernafas.

     "Bu.." kata Niken memanggil ibunya. Gadis kecil itu dapat merasakan perasaan sedih yang begitu mendalam. Dia mulai mendekati ibunya secara perlahan.

      Jantung Santari berhenti berdetak ketika ia mendengar suara yang tak asing ditelinganya. Dengan cepat, ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Dia meneguk segelas air putih, kemudian menoleh kebelakang dan tersenyum kepada putrinya,"Apakah kau sudah lama berada di sini?" tanya ibunya penasaran.

      Niken menggeleng, "Baru saja, ada masalah apa bu?" tanya Niken langsung.

     Santari kembali tersenyum, ia mengusap rambut anaknya, "hanya masalah kecil."

     "Bisa ibu ceritakan?"

     Kini Santari tertawa. Dia tidak menyangka anaknya sangat penasaran dengan apa yang ia alami. Wanita berkulit putih pucat itu memandang ke dalam bola mata Niken. Dia memandang lebih dalam yang membuat hatinya menjadi lebih tenang. Santari merasa sangat bersalah ketika tadi ia mempunyai niat untuk mati. Padahal jika ia mati, ia akan meninggal Niken seorang diri di dunia ini. Pasti itu akan membebani anaknya untuk hidup seorang diri. Santari sudah memutuskan untuk mempunyai anak. Dia harus bertanggung jawab atas keputusannya itu. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita kepada putri kecilnya, "Suvenirnya dikembalikan. Ibu salah membuat boneka, harusnya berwarna pink lebih muda," jawab Santari masih mengusap rambut anaknya.

    Niken mengernyitkan dahi, ia heran apa yang dimakudnya pink lebih muda. Nyaris menjadi putih? Katanya membatin. Baginya warna tersebut sudah pink. Mendengar alasan barang itu dikembalikan sungguh membuat Niken tidak terima. Ibunya sudah bersusah payah untuk membuat ratusan gantungan kunci itu. Jika dikembalikan begitu saja, Niken ragu apakah ibunya masih memiliki modal untuk membuat pesanan selanjutnya atau tidak, "siapa yang memesan itu bu?" tanya Niken ingin mengetahui nama yang membuat ibunya kesulitan.

    "Kamu tidak mengenalnya, bukan tetangga kita!"

Niken mengangguk dan ia tidak mau bertanya lebih jauh lagi. Ia meninggalkan dapur dan pergi melihat ketumpukan gantungan kunci itu. Dia mulai memikirkan mau diapakan barang-barang sebanyak ini. Jika dijual kepada temannya paling hanya terjual sepuluh gantungan kunci saja. Niken hendak bergegas untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Ketika akan pergi, ia melihat secarik kertas putih yang berada tidak jauh dari kardus tersebut. Dia membuka lipat kertasnya, kemudian ia tersenyum lebar. Ternyata kertas itu adalah kwitansi pembayaran. Di situ juga tertera alamat pemesan. Niken tahu alamat tersebut, hanya tinggal naik satu kali angkutan umum, jalan sedikit lalu sampai.

Bocah cilik itu langsung bergegas mengganti pakaiannya. Dia tidak lupa untuk mencuci seragam putihnya. Untuk kali ini, Niken tidak mencuci sampai bersih. Dia hanya merendam sebentar kemudian memeras lalu dijemur. Niken membawa dua kardus yang ukurannya tidak terlalu besar. Untunglah hanya gantungan kunci boneka yang terbuat dari benang wol, benda tersebut tidaklah terlalu berat untuk dibawa. Niken naik angkutan umum berwarna hijau kebiruan. Selama perjalanan, Niken memikirkan kata-kata apa yang harus ia ucapkan agar pemesan mau membayar barang-barang ini. Ia berharap hanya sedikit bujukan, si pemesan langsung membayar. Jadi, ia dapat menenangkan pikiran ibunya yang saat ini sedang kacau balau.

Kedua tangan mungilnyamenjinjing dua dus itu. Tak sedikit orang yang mengampiri Niken dan menawarkanbantuan. Namun, Niken selalu menolak. Kardus-kardus ini tidak terlalu beratbaginya, dia masih bisa berusaha sendiri. Ketika perasaannya mengatakan bahwaia sudah dekat dengan rumah si pemesan, Niken meletakkan satu kardus dan mengambil kwintasi di sakucelananya. Niken agak kesulitan jika berjalan sambil membawa dua buah kardusdengan secarik kertas berisikan alamat. Dia mengambil siasat untuk menghafalalamat tersebut kemudian melanjutkan perjalanan. 

Mengapa Kita Butuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang