Bagian Satu: 3

31 6 1
                                    

Rumah itu tidak terlalu besar. Berpagar putih dengan hiasan bunga matahari ditiap besinya. Niken melirik ke arah kertas tersebut, memastikan bahwa alamat yang dituju adalah nomor 6. Rumah ini adalah nomor 6. Niken langsung berteriak ke arah pintu rumah tersebut. Pintunya terbuka, dia bisa bernafas lega karena usahanya untuk datang ke sini tidak sia-sia. Setidaknya ia akan bertemu dengan siapa pun yang tinggal di rumah ini. Suaranya yang lugu membuat seorang wanita keluar dari rumah itu. Niken melihat wanita itu dan ia yakin bahwa wanita itu adalah pengantin wanita yang memesan suvenir ibunya ini.

"Permisi bu.." kata Niken setengah berteriak. Dia meletakan dua kardus itu di aspal dekat pagar rumah.

Wanita itu melirik penasaran. Dia menuju ke pagar rumahnya kemudian membukakan pagar tersebut untuk anak kecil ini, "Ada perlu apa ya?" tanyanya sambil melihat kearah kardus-kardus itu. Dia heran mengapa anak ini datang ke rumahnya dengan membawa kardus-kardus tersebut.

"Saya mau mengantar suvenir yang ibu pesan," jawab Niken singkat. Dia memberikan kwitansi pembayaran kepada wanita itu. Sontak Niken langsung melihat wajah kaget yang ada pada wanita itu.

"Loh, ini bukannya barang yang saya pesan dari Ibu Santari?"

"Betul! Saya anaknya. Saya pikir ibu saya terlalu lelah untuk mengantarkan barang ini. Jadi, saya memutuskan untuk mengantarkannya," kata gadis cilik yang mulai berbohong.

"Ibu kamu sudah mengantarnya tadi pagi. Saya tolak karena pesanannya tidak sesuai dengan apa yang saya pesan," wanita itu menjelaskan kepada Niken dengan nada yang ramah.

"Apa yang salah? Suvenir ini nampak bagus kok!" protes Niken.

"Warnanya salah, saya minta warna pink tapi pink di sini terlalu tua. Saya kurang suka!"

Niken mengernyitkan dahi, dia melangkah agar bisa lebih dekat dengan wanita itu, "Apakah mata ibu mengalami gangguan?" sindir Niken. Dia merasa tidak terima jika masalah seperti itu dibesar-besarkan. Baginya itu masih warna pink, dia tidak mengerti warna pink yang dimaksudkan oleh wanita itu.

Merasa tersindir, wanita itu mulai meninggikan nada suaranya. Dia penasaran dengan umur gadis cilik ini. Cara bicaranya seperti seorang remaja bahkan bisa dibilang seseorang yang telah dewasa, "Lebih baik kamu pulang, ibumu pasti khawatir!" pinta wanita itu tidak mau berdebat dengan seorang anak kecil.

"Saya tidak mau pulang sebelum ibu membayar semua ini. Ibu saya sering terjaga hingga larut malam demi mengerjakan suvenir yang ibu pesan. Tega sekali ibu menolaknya begitu saja!" Sahut Niken kesal. Orang-orang yang lewat mulai memperhatikan dia.

Wanita itu memejamkan mata, dia berhenti bernafas kemudian mendengus kesal, " Baik, tunggu di sini!" perintah wanita itu dan Niken menunggunya. Butuh waktu beberapa menit sampai si wanita itu keluar lagi dari rumahnya. Dia membawa beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Niken, "Maaf, tapi saya hanya beli satu dus saja. Kamu bisa membawa satunya kembali. Sebelum barang ini jadi, saya telah memberikan uang muka kepada ibumu. Kamu bisa pulang sekarang, kerugian ibumu tidak terlalu besar malah saya yang rugi. Ini kesalahan ibumu mengapa aku yang harus menanggung?" katanya ketus, dia langsung menutup pagar rumahnya setelah mengambil satu kardus.

Niken tidak menjawab. Dia juga langsung pergi setelah mengambil kardus yang dikembalikan. Walau dia mendapatkan uang, entah mengapa hatinya masih terasa pilu. Usaha ibunya dicaci maki, tidak dihargai, tapi ibunya malah berdiam diri saja di rumah. Jika ia menjadi ibunya, mungkin ia sudah mencaci maki balik wanita yang sungguh tidak sopan itu. Tadinya dia mau begitu, tetapi dia merasa dirinya terlalu kecil untuk berucap kata-kata kasar. Niken hampir sampai diujung jalan. Angkutan umum yang tadi ia naiki sudah terlihat jelas. Nampaknya ia masih tidak mau pulang. Niken berkeinginan untuk menjual habis semua suvenir buatan ibunya ini. Gadis itu duduk di bahu jalan. Dia berpikir sembari berdoa memohon agar dibukakan jalan untuk perkara ini. Orang sering berlalu lalan yang membuat pikiran Niken semakin rumit. Anak itu memegang kedua kepalanya. Dia terlalu muda untuk memikirkan masalah orang dewasa.

Mengapa Kita Butuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang