Bagian 2

20 1 0
                                        

Merasa posisiku sudah aman, kuambil handphone-ku dan membalas pesan singkat dari Lestari tadi.

'iya, gpp, 5 mnit lgi aq ke kantin, maap ya lama.'

Tak lama kemudian, giliran Lestari.

"Pake apa, mbak?" tanya bapak penjual bakso.

"Hmm, sebentar ya, pak," jawab Lestari sambil mengeluarkan handphone-nya. "Ini pesenan temen soalnya, aku lupa nanyain tadi. Aku telpon dulu ya, pak"

"Mampus dah," kataku dalam hati. "Dia mau nelpon. harus buru-buru cabut, nih"

Saat hendak pergi, gadis itu memutar badannya dan mulai menelepon sambil menghadap ke arah diriku. Beberapa detik kemudian, handphone-ku bergetar di saku celana, semakin lama semakin keras getarannya yang suaranya terdengar sampai keluar. Aku berusaha meredam getaran handphone-ku dengan menggenggam dan menekannya pada pahaku, namun tidak berhasil. Gadis dengan poninya yang panjang hampir menutupi wajah bagian kirinya itu mulai memandang curiga kepadaku, yang membuatku menjadi semakin salah tingkah.

"Mas, handphone-nya kayaknya bunyi tuh," kata gadis itu sambil tetap menelepon.

"Ah, iya, Mbak," sahutku spontan. "Palingan alarm."

Aku memalingkan wajah kemudian mengambil handphone-ku, sesegera mungkin aku menulis pesan singkat sesaat setelah handphone-ku berhenti bergetar.

'aq pesenin bbas ja, campur jga bleh, maap ngerepotin'

Kami memang baru kenal, tapi kami sudah cukup lama mengobrol melalui mIRC meski hanya satu hari saja. Setelah berusaha meminta nomornya, kami sempat merencanakan untuk bertemu di sekolah. Memang cukup susah untuk membangun kepercayaan dalam waktu yang singkat, tapi entah mengapa Lestari ini terasa easy going.

Setelah pesan terkirim dan gadis di hadapanku mulai memesan bakso, secepat mungkin aku pergi dari situ. Sesaat kemudian handphone-ku bergetar. Ternyata pesan dari Lestari.

'ko' prgi? Udh dpsnin juga'

'DEG!', aku terkejut dan membuatku menghentikan langkah. benar-benar tak kusangka bahwa Lestari sudah tahu tentang diriku. Akhirnya kuputuskan kembali ke kantin dan menemui Lestari.

Di kantin, mataku mulai menyusuri tiap meja untuk mencari Lestari. Sampai akhirnya tertuju pada gadis yang duduk sendirian jauh di seberang penjual bakso, bangku yang tadinya kududuki saat memesan es jeruk. Aku berjalan perlahan sambil berusaha menenangkan diri dan mengatur nafas, menghampiri Lestari yang sedang mengaduk baksonya.

"Lestari?" tanyaku pura-pura baru kenal.

"Ya?" sahut Lestari sambil menoleh ke arahku. "Ah, Panji. Tadi kok pergi?"

"Maaf, maaf," kataku sambil mencakupkan tangan. "eh, aku jadi penasaran, sejak kapan kamu tau, kalo aku Panji?"

Aku menarik bangku di hadapanku, kemudian duduk.

Lestari yang sedari tadi sibuk mengaduk baksonya, kini menghentikan kegiatannya. Memandangku lekat-lekat sambil menyangga dagunya, pandangan yang  membuatku heran sehingga mau tidak mau memeriksa pakaian dan wajahku.

"Ada yang salah?" tanyaku sambil tetap memeriksa diri.

"Hem," Lestari menggeleng. "Enggak ada yang salah, kok."

"Trus?"

"Well," Lestari mulai bercerita seraya membetulkan posisi duduknya. "Aku udah tau kamu, dari kemaren-kemaren."

Aku semakin penasaran, padahal di media sosialku, hampir enggak ada fotoku.

"Aku, kemaren sempet tanya-tanya sama temen-temenku," Lestari melanjutkan ceritanya. "Dan, dan ternyata ada yang tau, ya udah, aku tanya-tanya sama dia. Tadi juga sebelum ke sini, dia nunjukin kamu ke aku. Trus, trus, aku pura-pura enggak tau kamu."

Sekarang rasa penasaranku, beralih ke teman yang diceritakan Lestari. Aku yang tadi sibuk menuangkan kecap dan saos, jadi terhenti.

"Temen?" tanyaku sambil menatap Lestari penasaran. "Siapa tuh?"

"Rahasia," jawab lestari sambil mencicipi kuah bakso. "Dia enggak mau disebutin namanya. Bahaya katanya."

Aku benar-benar penasaran sekarang. Hal itu membuatku untuk mencoba mendesak Lestari agar memberi tahu siapa 'teman' itu, namun dia tetep bersikukuh untuk menyembunyikan nama temannya. Saat hendak mencoba lagi, Lestari langsung menyelanya.

"Tari, ayo dong, kasih..."

"Baksonya dingin tuh," sela Lestari sambil menunjuk bakso milikku dengan sendoknya. "Ntar, enggak enak lho, rugi."

Kami berdua pun menyantap bakso tanpa berbicara, hanya dentingan sendok dan mangkok yang terdengar. Aku sudah tidak peduli dengan cara makanku, karena sebal dan penasaran dengan 'teman' Lestari yang memberitahukan tentang diriku. Aku juga tak peduli bagaimana pandangan Lestari terhadapku, menganggapku seperti anak kecil pun aku tak peduli.    

[R3D] Sepeda KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang