Part 25 | Transformasi Lorenzt

100K 8.4K 379
                                    

OJAN meninggal. Dokter hewan yang menyatakan demikian. Rasanya hati Gladys luar biasa patah saat mendengarnya. Kehilangan peliharaan kesayangan nyatanya tidak jauh berbeda dari putus cinta. Ia sudah terbiasa bangun pagi untuk mengecek kandang Ojan, beliin Whiskas tiap Rabu, sisirin bulunya setiap hari, rutin bersihin telinga dan matanya, ngecek kotak pasirnya, dan jalan bareng tiap Minggu pagi.

Walaupun Ojan nakal, minta makan kayak ngajak perang, barbar, akhlakless, tapi Ojan adalah satu-satunya teman Gladys ketika kesepian. Cuma dia yang selalu menyambut Gladys sepulang dari sekolah, cuma dia yang selalu ngejogrok di kaki meja saat Gladys khusyuk belajar, cuma dia yang selalu menemani Gladys lemburan bikin kue buat bahan jualan, dan cuma dia yang menghampiri Gladys seburuk apa pun hari-harinya.

Banyak foto, video, dan cerita yang telah mereka bagi bersama. Rasanya Gladys tidak sanggup menatap tempat makan dan spot favorit Ojan setelah kucing belangnya meninggal. Memang masih ada anak-anaknya, tetapi tetap saja itu berbeda.

Kenangan tiga tahun bersama Ojan sukses membuat Gladys gagal move on.

"Heh, dari tadi gue jelasin materi enggak nyimak!" Varel menegurnya yang melamun. Ia menggeser buku fisika. "Mudeng enggak soal materi gerak peluru?"

"Kak Varel, gue paham semua makhluk hidup itu bakalan meninggal. Tapi, bisa enggak, sih, Tuhan panjangin usia orang atau hewan yang paling gue sayang?" Bukannya menjawab, Gladys malah membuka bahasan topik lain. Sorot matanya hampa. "Di dunia ini, cuma ada sedikit hal yang gue sayang. Sialnya, kenapa Tuhan tetep renggut itu?"

Melihat raut desperate cewek di depannya, Varel hanya terdiam.

"Kemarin, kucing gue jadi korban tabrak lari. Meninggal di tempat. Tapi, gue enggak percaya dan bawa dia ke dokter hewan. Rela gue gedor pintu rumah orang malem-malem. Nyatanya, Ojan tetep aja pergi," racau Gladys nyesek sendiri.

Fathan bahkan sampai memarahinya dan menyuruh Gladys langsung menguburkan Ojan saja. Cowok itu juga sama berdukanya, tetapi tidak ngedrama seperti Gladys.

Rasa bersalah Gladys tumpah ruah. "Kalau aja gue enggak sok panggil Ojan waktu itu, mungkin dia masih hidup. Kalau aja gue bisa ngerawat Ojan baik-baik, mungkin dia panjang umur. Dia pasti nyesel banget punya pemilik enggak becus kayak gue."

"Semua makhluk yang bernyawa pasti bakalan meninggal, cuma waktunya yang beda-beda, Gladys." Varel menghentikan Gladys yang terjebak euforia menyalahkan diri sendiri. Ia mengembuskan napas panjang. "Lo, gue, semuanya... bakal ngerasain yang namanya kehilangan. Lo enggak sendiri."

Kelengangan kedai dekat Alun-Alun Purwokerto sore ini mencerahkan gumaman Varel. Lengan jaket cowok itu disingsingkan sebatas siku saat menyodorkan es teh.

Dagunya mengedik, mengisyaratkan Gladys minum lebih dulu selagi ia melanjutkan kalimatnya, "Waktu lo pertama kali ketemu Ojan, gimana kondisi dia?"

"Kecil," Gladys menjawab tanpa ragu. Ia meminum es tehnya seteguk, "ditaruh di kardus tertutup yang dibuang di bak sampah. Gue enggak suka peliharaan karena ngabisin duit, tapi langsung pungut aja tanpa mikir. Awalnya, dia kucing penakut sampe disapa kecoak aja langsung naik ke meja. Tapi lama-lama kerjaan dia tuh ngeang-ngeong mulu terus ke mana-mana ngikutin gue. Ceria banget kayak enggak punya beban. Habis berantem sama kucing tetangga aja masih bisa nyakar Fathan."

Gladys tertawa sendiri mengingatnya.

Dulu, Ojan dan Fathan merupakan musuh bebuyutan. Entah sawan apa, betina itu selalu kelihatan sensi kalau menangkap Fathan di radarnya. Jika tidak menggigiti sandal Fathan, pasti ganti menunjukkan cakarnya. Barbar banget.

Senyum Gladys mendadak luntur.

Namun, semua kegarangan Ojan mendadak sirna ketika diuluri makanan. Uh, dasar kucing perut gembel!

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang