Part 12 | Kesetimbangan

122K 12K 1K
                                    

ADA yang minta disleding, tetapi bukan maling. Ada yang minta digebuk, tetapi bukan beduk. Evando Kalvian namanya. Cowok yang awalnya sempat bikin Gladys kesengsem itu sekarang resmi masuk ke daftar hitamnya.

Apa penyebab utamanya? Nantangin Varel.

Kepala Gladys berasap. "Woi! Lo jangan bikin gue pengin nyantet orang, dong! Dipikir cuma lo yang punya kepentingan apa?!" teriaknya di antara sorakan heboh penonton.

Tadi Varel yang bikin emosi, sekarang ganti temannya. Kalau sampai pemetaan materi fisika tidak dilaksanakan karena jadwal bimbingan pagi ditiadakan, Gladys pulangnya bisa tambah sore bahkan magrib. Kapan waktu tidurnya kalau bablas bikin kue buat jualan besok? Evan ngotak tidak, hah?

Jump ball menjadi awal dimulainya rana antara Varel dan Evan. Gerakan lincah Varel berhasil membuatnya merebut bola tanpa halangan yang pasti. Tepat ketika posisi Varel berada di area three point, teriakan anak-anak COBRA kian gaduh.

"Evaaan, habisin Varel! Bikin dia sadar kaum mager juga punya kemampuaaan!" koar Jeki.

Oon menyambar kecrekan yang digondol anak kelas sepuluh dari ruang band. Ia teriak-teriak. "Varel, jangan malu-maluin gue sebagai anak buah looo! Hajar balik Evan yang kepedean nantang-nantang."

"Evaaan, lo harus menang! Kalau enggak, taruhan gocap gue sama Fathan bisa kontal!" tambah Jeki.

"Bodo amat!" Seruan paling nyeleneh datang dari Damar. Cowok itu melempar bola di tangannya. "Varel, Evan, gue doain lo berdua kepleset di lapangan biar udahaaan. Gue pengin bolos ke UKS buat tidur malah disuruh jadi suporter! Sialaaan!"

Kerutan di kening Gladys tercetak. Fiuh, sabar-sabar. Untung masih ada yang sejenis dengan dirinya. Damar pun ternyata sama ogahnya menjadi suporter percekcokan.

Menarik napas dalam, Gladys lekas membuka buku catatannya.

Pening marah-marah terus sedari subuh, ia putuskan untuk memulai sendiri sesi belajar pagi. Rumus utamanya langganan masuk tiga besar paralel angkatan itu satu; marah, lampiaskan ke belajar. Sedih, belajar. Kesepian, belajar. Apa pun oke selama belajar.

Diangkatnya pena, lalu mencoretkan sesuatu di kertas. "Sudut elevasi empat puluh lima derajat, kecepatan awal bola enam meter per sekon...," Gladys melirik Varel yang semangat berlari mendekati daerah lawan. Bibirnya mencebik, "gravitasi sepuluh, tinggi maksimal bola empat meter, terus waktu tempuh yang dibutuhin berapa biar bolanya masuk ke ring?"

Demonstrasi fisika yang atraktif dan penuh intensitas itu diamati Gladys baik-baik. Bola melayang membentuk lintasan lengkung yang manis. Bergulir tanpa penjaga searah jarum jam dengan kecepatan sudut enam radian per sekon.

Kondisi ini mengakibatkan timbulnya gaya gesekan yang berlawanan arah dengan komponen vertikal bola. Ketiadaan harmoni kecepatan pada akhirnya membuat bola terpantul keras, liar, dan menumbuk papan penyangga ring.

Gladys memutar bola mata melihat shooting Varel meleset.

Berpikir serangan balik Evan akan dikobarkan, para penonton dikejutkan oleh Varel yang melanjutkan gerakan menyambar bola, melakukan lompatan setinggi dada, mengoper bola dari tangan kiri ke kanan dari balik pinggang, lalu membanting bola ke dalam ring. Slam dunk.

"Anjer!" Gladys cengo selagi penonton bersorak. Apaan itu tadi? Kecacatan fisika yang berujung masuknya bola?

Sulit dipercaya, sempritan Fathan menegaskan kesuksesan Varel. Gladys jadi menyesal kenapa tadi dia tidak sempat menganalisis pergerakan fisikanya.

Kembali bola dilambungkan. Jeritan cewek-cewek di bangku penonton tambah heboh. Kali ini Evan yang beraksi. Dengan dibayang-bayangi oleh Varel dari sisi kanan, kemampuan dribel Evan tetap konsisten. Hal ini seakan menunjukkan prestisenya sebagai point guard.

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang