Part 36 | Skala Kelabu

93K 9.1K 1.7K
                                    

PIKIRAN Gladys terserak. Waktu seakan membeku. Dimensi kelam seolah menariknya dalam kenyataan yang tak mampu ia uraikan.

Apa itu barusan? Varel mencoba mencari alasan bertahan. Varel berterima kasih, Varel tersenyum, Varel terjun. Kolam darah.

Gladys kehilangan daya topang. Matanya menatap nanar spot terakhir Varel sebelum menghilang.

"Enggak. Pasti ini cuma mimpi. Iya, mimpi. Bangun! Bangun sekarang!" Gladys mulai menampar pipinya sendiri. Berkali-kali. "Bangun, Dis! Bangun! Kak Varel enggak mungkin sebego mama lo yang celaka karena orang enggak tahu diri. Bangun, Dis! Bangun!"

Sesuatu terasa ingin meledak dalam dirinya. Gladys tak tahu apa. Yang jelas pikirannya kosong. Ia kehilangan indranya.

Sampai pekikan nyaring Evan terdengar, Gladys masih kesulitan menyatukan fragmen kejadian barusan.

"Enggak. Ini cuma mimpi. Mimpi buruk. Gue cuma perlu bangun."

Ia tidak tahu kapan kakinya bergerak menuruni tangga. Ia tidak tahu kapan blazer dan tas sekolahnya kembali dikenakan. Ia tidak tahu caranya tiba di tepi kolam renang darah, melihat Evan membaringkan tubuh Varel untuk memberikan pertolongan pertama.

Kebas. Kenapa Gladys ada di sini? Sedang apa dia di tempat ini?

Darah itu seperti darah mamanya. Bukankah dulu sudah dibersihkan? Wajah pucat itu seperti wajah mamanya. Bukankah dulu mamanya sudah dibawa ke rumah sakit?

"Varel, bangun! BANGUN LO, BERENGSEK! KEEP BREATHING!" Evan berteriak. Diraihnya ponsel dari saku celana. Tangannya yang gemetar mencoba menelepon nomor ayahnya. Ia melempar ponselnya begitu saja usai berbicara. "Denyut nadinya hilang! Pupilnya juga enggak ngerespons! GLADYS, TELEPON AMBULANS SEKARANG JUGA! PANGGIL SATPAM DI DEPAN BUAT KE SINI!"

Dengan pikiran kosong, Gladys menurutinya. Kata-kata yang keluar dari bibirnya amat tidak beraturan, namun satpam tetap mengikutinya.

Begitu ambulans datang, Evan meneriaki petugas kesehatan yang tidak cepat memberikan penanganan. Sopir ambulans bahkan tak luput dari dampratan Evan.

Gladys menatapnya dalam diam. Bingung.

Bukankah mamanya dulu tidak dibawa dengan ambulans, melainkan mobil pengendara lain yang kebetulan melintas? Bukankah mamanya dulu berdarahnya di seluruh muka, bukan kepala belakang? Bukankah mamanya dulu memanggil lirih namanya, bukannya diam seperti sekarang?

Memori itu terus berkelebat, memaksa Gladys bersuara, "Kak Evan, gue pengin bangun dari mimpi ini. Tolong bangunin gue, ya."

Sekujur tubuhnya tiba-tiba menggigil. Dingin menusuk ke sumsum tulang. Traumanya seakan terulang. Sakit di kepala, sakit di mana-mana.

Evan mengerang tertahan. Ia menjambak rambutnya kuat-kuat, lalu merangkul Gladys turun dari ambulans setibanya di rumah sakit.

Tidak ada yang berbicara. Keduanya sama-sama sibuk mencerna.

"Kak Evan, ini mimpi, kan?" tanya Gladys untuk kesekian kalinya.

Mekanisme traumanya menutupnya dari realitas. Kedua kakinya terasa mengambang saat menyusuri koridor ruang tunggu.

Nihil sahutan. Evan justru meminjam ponsel Gladys untuk menghubungi Abimanyu. Katanya, administrasi Varel perlu diurus. Dari apa yang Gladys dengar, kondisi Varel genting, tetapi Evan tak bisa beranjak menangani keperluannya sebab ada orang yang harus ia dampingi.

Gladys tidak mengerti. Buat apa orang yang ia benci setengah mati muncul di mimpinya?

"Gladys, dengerin Abang. Varel udah ditanganin sama dokter. Dia bakal baik-baik aja. Jangan khawatir, oke?" Dinding terasa dingin saat kepala Evan bersinggungan dengannya. Matanya berat, kewarasannya berkabut, dan kepalanya berdenyut. Namun, ia tetap berusaha kuat. "Tadi itu Varel cuma kepleset, makanya enggak bisa renang. Dia juga jago fisika, jadi bisa kalkulasiin tinggi bangunan banding kedalaman kolam renang rumahnya sama dengan celaka. Kepalanya jelas kebentur dasar kolam kalau lompat dari tempat setinggi itu. Dia cuma kepleset."

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang