Part 15 | Sentripetal

109K 10.4K 273
                                    

RINGAN sama dijinjing. Berat sama dipikul. Ini orang kayak bajing. Yok, mending kita pukul.

Belek masih bertengger di mata Gladys, tetapi si Bego dari Gua COBRA sudah nongol di pekarangan rumahnya. Harap dicatat sekarang masih pukul lima lebih sepuluh menit, Ojan masih molor di kandang, bekas iler Gladys belum dilap, dan cuma Varel yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

"Katanya, kecantikan natural cewek bisa dilihat sehabis bangun tidur." Varel memandangnya skeptis. "Ya ampun, hoaks banget. Lo malah jeleknya nambah lima kilo."

Dengan rambut digelung asal-asalan, penampilan Gladys memang terbilang fresh. Amat jomplang dari gaya rapinya di sekolah. Hanya saja, hal tersebut justru mengundang komentar tengik Varel.

Satu sandal jepit Gladys dilepas. "Pergi enggak lo dari sini! Gue enggak nerima tamu pagi-pagi buta!"

"Eleh, Fathan bilang gerbang rumah lo selalu dibuka sehabis subuh. Apa itu artinya kalau bukan nerima tamu?" Bodo amat, Varel meletakkan ranselnya. Tangannya membersihkan debu di teras sebelum mendaratkan pantatnya. "Lagian, gue kan bukan tamu, tapi Mas Pacar. Harusnya dapet privilese khususlah."

"Gue buka gerbang karena sekalian salat Subuh di masjid depan kompleks, Kak Varel." Bazeng! Muka Gladys merah gegara emosi Fathan lagi-lagi menjadi biang kerok di hidupnya. Demi Tuhan, ini masih pagi! "Kagak ada privilese! Pokoknya gue enggak nerima tamu pagi-pagi. Minggat enggak lo!"

"Mbak Pacar jangan galak-galak, dong. Niat gue tuh baik, mau ngajakin lo berangkat sekolah bareng."

"Baik pekok! Ini masih kepagian, wahai Paduka Varel Yang Rajinnya Kebablasan."

"Katanya mau lihat sunrise." Lebam di pipi Varel sudah agak mendingan sehingga ia bebas menyeringai. "Sesuai project, kita wajib lihat sunrise bareng di atap Senjayana sebelum putus. Ayolah, mandi sana. Gue tungguin. Sepuluh menit, ya!"

Varel itu tinggal dikasih mata palsu terus tempel di jidat, plek banget mirip dajal.

Gladys mengepalkan tangan. Ya salam, andai tidak ingat ini bentuk penebusan dosanya, sudah ia gigit Varel di detik ultimatumnya mengudara.

Sepuluh menit bagi cewek itu neraka. Belum ngobrol sama gayung, deep talk sama air, mengucap salam perpisahan ke tahi yang bersahaja, dan gebyur mandi. Ritualnya banyak yang kudu dilakoni.

Minimal setengah jam waktu yang Gladys butuhkan untuk siap dengan seragam. Itu pun belum termasuk menata bahan jualan. Ribetnya tidak kira-kira.

"Lo mandi atau mati suri, sih? Lama amat!" dumal Varel memprotes. "Jangan-jangan main bebek-bebekan dulu di bak mandi, ya?"

"Kagak. Gue lebih suka mainan anakonda buat nyaplok lambe nyinyir lo," sewot Gladys. Ditatanya kresek hitam di pangkuan agar tidak goyah sewaktu membonceng Varel dalam posisi menyamping. "Cepetan jalan! Entar enggak kekejar sunrise-nya, lo mencak-mencak lagi."

Motor dengan jok setinggi harapan orang tua itu jadi kesusahan nomor dua bagi Gladys. Ia menyabar-nyabarkan diri ketika Varel melajukannya dalam kecepatan demit. Banternya amit-amit.

Purwokerto ketika pagi masih diselimuti halimun di sana-sini. Tetanggaan dengan Gunung Slamet, temperatur udaranya lumayan nggilani. Gladys menggigil begitu turun dari motor. Hampir beku setibanya di lantai tiga gedung sekolahnya, padahal sudah pakai hoodie.

"Gue lebih suka mal yang anget daripada puncak gedung. Kenapa, sih, Kak Varel aneh-aneh pengin lihat sunrise?" Brr... tangan Gladys menggosok-gosok lengannya. Vista matahari terbit di ufuk timur tak jua menghangatkan tubuhnya.

Tak tahan lagi, ia jongkok di dekat kaca pembatas gedung untuk menghangatkan diri.

Varel iseng mengarahkan kamera ponselnya. "Anggep aja ini pemanasan sebelum pre-test dua puluh soal fisika." Pesona langit biru dan wajah Gladys yang tertekuk mengundang kekehannya. Kocak tingkat dewa. "Kapan lagi coba lo lihat sunrise bareng cogan? Ngobrolin hamburan Rayleigh yang bikin langit warnanya biru, gerak semu matahari, ekliptika—"

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang