Kubuka perlahan mataku untuk memulai hari yang baru. Hari di mana tiada kasih, hanya ada rasa sakit yang ditorehkan suamiku. Kulirik sisi ranjang sebelahku. Ferly telah membuka matanya, tetapi tetap pada posisinya menatap langit-langit. Ini akhir pekan, memang dirinya malas turun dari ranjang. Biasanya dia akan tidur kembali, kalau dulu dia sering main game begitu bangun. Sekarang entahlah bagaimana? Aku tak tahu.
Kulihat dirinya seperti memiliki banyak beban pikiran. Mungkinkah kedatanganku adalah beban utamanya sekarang. Aku datang bukan ingin mengganggu. Aku mencarinya karena statusku masih istrinya. Hanya dia yang aku punya. Keluargaku hanya Ferly seorang. Kalau aku tak bersamanya, lalu hidup dengan siapa?
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyanya dengan nada dingin dengan menatapku tak suka. Dulu setiap aku bangun pagi pasti Ferly mengecup dahiku lembut dan berkata manis. Namun, sekarang semua hanya ilusi yang terkenang.
"Aku mau mandi tapi kan bajuku belum kering. Jadi, apakah aku boleh pinjam bajumu yang lain lagi?" tanyaku dengan suara lembut. Kutatap manik matanya yang terlihat suram. Tidak ada ketenangan di sana.
"Ambil saja di almari. Terserah. Sekalian ambilkan kaosku yang digantung," ujarnya seraya menunjuk kaos berwarna abu-abu yang ia pakai semalam. Lelaki itu memang suka tidur bertelanjang dada.
Aku hanya mengangguk seraya berjalan ke arah almari, lalu mengambilkan pakaiannya.
"Ini," ujarku sambil menyerahkan kaosnya. Dia mengambilnya dengan terburu-buru tanpa mengucapkan apapun.
"Fer, aku belum makan dari kemarin siang," ungkapku merasakan rasa perih yang menjalar diperutku. Aku benar-benar lapar.
"Apa hubungannya denganku. Kau mau makan atau tidak itu bukan urusanku. Bahkan kau mati atau hidup saja, aku tak peduli. Kalau kau lapar ya tinggal makan, 'kan?" Ferly menatapku sengit.
Betapa menyakitkan mendengar setiap ucapannya. Seperti bisa yang beracun. Mematikan setiap syaraf. Ini bukan Ferly, suamiku. Roh jahat apa yang merasukinya.
"Fer, kenapa kau berkata seperti itu. Kau dulu begitu mencintaiku. Kenapa kau memperlakukan seperti ini?" tanyaku dengan ragu. Takut kalau dia malah berkata lebih kasar lagi.
"Kau yakin? Aku tidak pernah mencintaimu baik dulu atau sekarang. Kau hanya pemuas nafsuku saja!" tegasnya dengan tatapan murka kepadaku. Nada bicaranya semakin mengeras. Ini seperti petir yang menggelegar. Begitu mengerikan suaranya.
Aku harap aku tuli. Aku yakin dia berdusta. Ferly begitu menyayangiku sepenuh hati.
"Tidak mungkin. Kau bohong. Kalau semua itu nafsu, kau tak perlu menikahiku. Aku tahu kau pria yang baik," terangku sambil menahan air mataku untuk tidak terjatuh.
Ferly bangkit. Dirinya berdiri di hadapanku dengan tatapan yang masih sama menakutkan seperti tadi.
"Sayang, kau itu sangat cantik," ucapnya seraya menyelipkan anak rambutku ke telinga kananku. Dirinya menatapku lembut, tidak seperti tadi. Bibirnya pun dihiasi senyum. Namun, entah kenapa itu membuatku semakin takut.
"Kau itu sama seperti mantan kekasihku. Benar-benar kriteriaku," imbuhnya lagi seraya menggenggam tangan kananku, lalu diciumnya lembut. Namun, manik matanya tak lepas menatap mataku yang sayu.
"Namun, sayangnya sama saja. Sama-sama ular. Kupikir kau wanita yang baik, tapi ternyata tidak. Buat apa cantik fisik kalau hatinya busuk," celanya kepadaku dengan tatapan remeh. Aku tak mengerti maksudnya. Sungguh. Kenapa dia berbicara seperti itu.
"Maksudnya, apa? Aku tak mengerti, Fer."
"Tidak usah dimengerti, Sayang. Kau memang perempuan polos dan tidak berdosa." Itu sarkasme. Dirinya benar-benar bingung. Ferly mempermainkan perasaanku sekarang. Tangannya masih setia mengusap pipiku lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Memory (LENGKAP)
Художественная прозаAku selalu membayangkan suamiku selalu ada di sisiku. Sepertinya baru kemarin kita bersama. Tertawa dan berbagi suka. Sepertinya baru kemarin kita mengucap janji suci Tahun terus bertambah, tetapi aku tak pernah bisa menemukanmu. Aku merindukanmu su...