After Three Years

1.5K 256 21
                                    

"Ali, ayo cepat. Nanti kita terlambat sampai di bandara." Suara nyaring Mama terdengar dari arah parkiran.

"Iya, Ma," sahut Ali. "Aku pamit dulu, ya, Bah. Nanti setelah pulang umroh pasti aku sama Mama ke sini lagi." Ali mengelus nisan di atas makam Abah.

"Cepat, Ali. Nanti keburu macet jalanannya." Kembali terdengar suara Mama memanggilnya.

Ali memasang kembali kaca mata hitamnya demi menghindari sinar matahari yang begitu cerah. Dia pun berjalan menghampiri Mama yang sudah menunggunya di dalam mobil. Padahal tadi Mama lah yang meminta agar merek mampir dulu ke makam Abah sebelum berangkat ke bandara. Sekarang malah Ali yang disuruh buru-buru. Ali masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.

"Ayo, jalan."

"Sabar sedikit kenapa, Ma. Bawel banget, sih. Untung aja sayang, kalo enggak udah aku tinggal Mama di sini," ledek Ali.

"Coba aja kalau berani, durhaka nanti kamu," sahut Mama sambil tertawa.

Mama begitu menyayangi Ali. Meski Ali bukan anak tunggal, tapi ia adalah anak laki-laki satu-satunya, anak yang diharapkan akan memberikan keturunan untuk meneruskan nama keluarga mereka. Namun, perceraiannya dengan Ika tiga tahun lalu seolah menghapus semua harapan akan berlanjutan nama keluarga mereka. Ali seolah tidak tertarik lagi untuk menikah, terlalu nyaman dengan kesendirian dan kariernya.

Mama melirik Ali yang sedang serius menatap jalanan dan berkata, "Jangan lupa nanti di sana minta jodoh, ya, Al."

"Jodoh mah urusan gampang, Ma. Kalau udah waktunya nanti juga dateng," sahut Ali tanpa menoleh ke arah Mama.

"Tapi harus didoain juga, Al." Mama mengelus pipi Ali.

"Iya, iya. Nanti di sana Ali berdoa biar dapet jodoh. Mama nggak sekalian minta Ali doain biar dapet jodoh?" canda Ali.

"Kamu ini!" Mama mencubit perut Ali.

"Aduuhhh... Aduuh! Sakit loh itu, Ma. Aku lagi nyetir ini. Nanti kalau nabrak gimana?"

"Lagian kamu ini udah tua masih jahil aja, godain Mama terus."

Ali menarik tangan Mama dan menciumnya.

Sejak kepergian Abah, Ali tidak bisa membiarkan Mama tinggal sendiri. Ali memutuskan menyewakan rumahnya dan kembali tinggal di rumah Mama, sebulan setelah meninggalnya Abah. Meski sibuk, Ali merasa keberadaannya di rumah membuat Mama jauh lebih tenang dan tegar dalam menerima kepergian sang suami. Lagi pula tidak mungkin jika Nia yang harus menemani Mama. Dengan seorang anak balita yang sedang aktif-aktifnya, ditambah kondisinya sekarang yang sedang hamil muda, adiknya itu tidak dalam kondisi fit untuk mengurus Mama. Lagi pula sebagai anak laki-laki, sudah merupakan kewajibannyalah untuk mengurus orang tua.

Suara adzan ashar terdengar dari handphone Ali.

"Jam berapa ini?" tanya Mama.

"Tiga lewat lima belas."

"Subhanallah. Cepet nyetirnya, Habibi. Ketinggalan pesawat nanti kita," seru Mama. "Kamu sih tadi lama banget di makam."

"Tenang aja, Ma. Paling setengah jam lagi kita udah sampe. Jam setengah lima kan kita berangkatnya?"

"Iya, tapi kan harusnya jam setengah empat kita sudah kumpul di bandara. Untung saja koper-koper sudah diantar ke travel kemarin."

"Sabar aja, nggak akan ketinggalan rombongan kok, Ma."

Ali memacu mobilnya lebih cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ali memacu mobilnya lebih cepat. Mama mengucapkan istigfar sepanjang jalan. Setiap kali jalanan menikung atau saat mereka mendahului mobil lain Mama berseru 'Allahuakbar!'. Ali hanya tersenyum mendengar pekikan Mama yang panik, sambil berusaha untuk berkonsentrasi dengan laju mobilnya.

Tidak sampai 30 menit kemudian Ali sudah menurunkan mamanya di terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Ali menuju tempat parkir inap untuk menitipkan mobilnya, besok pagi supir Nia akan mengambil mobilnya untuk dibawa ke rumah mereka. Setelah memarkir mobil dan membawa tas ranselnya, Ali menaiki shuttle bus untuk segera menyusul Mama di terminal 2.

"Nah, itu dia tuh. Ali." Mama yang berada di tengah rombongan berseru sambil melambaikan tangan ke arah Ali.

"Nggak terlambat kan, Ma?" tukas Ali.

"Iya. Sudah sana kamu laporan dulu ke Ustad."

"Iya." Ali berlalu dari kumpulan ibu-ibu menuju ustad pembimbing umrohnya. "Assalamulaikum, Ustad Achmad." Ali menepuk pundak sang ustad.

"MasyaAllah, Bang Ali. Waalaikum salam warohmatullah," seru Ustad Achmad sambil menyambut uluran tangan Ali. "Sampai juga akhirnya. Alhamdulillah nggak macet ya?"

"Iya, Ustad. Alhamdulillah," sahut Ali.

"Ya sudah, kita tunggu sebentar lagi ya. Semua rombongan tadi sudah dibantu check in oleh petugas. Kita tinggal tunggu rombongan keluarganya Pak Syahroni aja ini, setelah itu kita langsung ke ruang tunggu." Ustad Achmad menjelaskan.

"Na'am, Ustad. Jazakumullah khair."

Mama memanggil Ali ketika melihatnya berjalan menjauh dari Ustad Achmad, ternyata Mama sedang video call dengan Nia. Ali berpamitan untuk berangkat umroh, sekaligus mengingatkan Nia tentang mobilnya yang harus diambil besok. Adiknya, seperti biasa, sedang bercucuran air mata karena harus melepaskan Mama berangkat umroh tanpa dirinya. Nia yang tidak sedang hamil saja sudah cukup dramatis, selalu gampang sekali menangis dan terharu, ditambah hormon kehamilannya membuat level dramanya semakin menjadi-jadi. Adik kecilnya yang cengeng itu kini sudah berada di tangan yang tepat. Nia beruntung mendapatkan Haikal yang begitu mencintainya dan memujanya seperti seorang ratu. Hidup mereka lengkap dengan hadirnya Kei, dan akan segera semakin sempurna dengan keberadaan anak kedua mereka yang diperkirakan lahir akhir tahun ini.

Seandainya saja dulu Allah berbaik hati mempercayakan anak di rahim istrinya, mungkin saat ini Ali juga bisa memiliki keluarga yang sempurna dan bahagia seperti Nia.

Ali menghela napas berat. Berusaha mengenyahkan kekecewaannya akan takdir yang memisahkan ia dengan perempuan yang sangat dikasihinya. Tiga tahun, lima bulan, sebelas hari, tapi ternyata kepedihan itu masih saja terasa.

Takdir Allah memang kadang tidak sesuai dengan keinginan umatNya, tapi ia percaya ada kebaikan di balik semua cobaan yang dialami. Semoga saja. Paling tidak Ali berharap Ika bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya, pendamping yang menerima semua kekurangannya, dan dapat mencintainya lebih dari cinta Ali kepadanya.

 Paling tidak Ali berharap Ika bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya, pendamping yang menerima semua kekurangannya, dan dapat mencintainya lebih dari cinta Ali kepadanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pulang pada PelukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang