Hampa

588 90 23
                                    


"Pak... Pak Ali." Seseorang melambaikan tangannya di depan wajah Ali.

Ali tersadar dari lamunannya. "Eh, Mo. Ada apa?"

"Tadi saya bilang buat acara Pagi Pagi besok udah confirm tambahan bintang tamunya Reza Rahardian, Pak," ucap Momo, salah satu casting assistance yang bertugas di acara Pagi Pagi.

"Oh iya, oke kalau gitu. Thanks ya, Mo," sahut Ali.

"Pak Ali nggak jadi pulang?" tanya Momo.

"Jadi. Ini lagi beres-beres." Ali bergegas memasukan barang-barangnya ke dalam tas ransel, meraih hp dan kunci mobilnya. "Terima kasih ya, Mo. Kalau sudah nggak ada kerjaan lagi kamu juga pulang aja ya."

"Iya, Pak."

Ali meninggalkan gedung kantornya. Beberapa orang menyapanya dalam perjalanannya menuju mobil. Ali tak terlalu memperhatikan, hanya membalas sekilas dengan anggukan kepala. Setelah meletakan ranselnya di kursi belakang, Ali menstarter mobil dan menyalakan radio. Ada terlalu banyak hal yang lewat dalam benaknya, dan semuanya berpusat pada sesosok perempuan yang tak pernah diduganya masih terus menjadi penghuni hatinya.

Tok Tok...

Sebuah ketukan di jendelan mobilnya membuat Ali terlonjak. Ali menurunkan kaca jendelanya setelah melihat siapa yang berdiri di sisi mobilnya.

"Hey, Mas," sapa Ali.

"Sehat kamu, Li?" tanyanya.

"Alhamdulillah sehat, Mas."

"Kerjaan lagi banyak?" tanyanya lagi.

"Ah enggak kok, Mas. Biasa aja," jawab Ali.

"Kalau belum terlalu fit istirahat aja dulu satu dua hari, jangan terlalu dipaksa. Kita kan juga ngerti kamu habis umroh sama ibu kamu, pasti capek."

"Enggak kok, Mas. Saya baik-baik aja."

"Bagus deh kalo gitu. Ya sudah, sana pulang. Hati-hati, jangan bengong."

Mas Tama, salah satu bosnya, menepuk bahunya dan berlalu. Berberapa hari belakangan ini banyak sekali orang yang menhingatkan Ali untuk berkonsentrasi dan jangan bengong. Banyak yang menanyakan kondisi kesehatan Ali sejak dia mulai masuk kerja. Padahal bukan badannya yang tidak sehat. Isi kepalanya lah yang sepertinya sudah agak tidak waras.

Ali mengemudikan mobilnya memecah jalanan Jakarta yang padat. Berusaha sekuat tenaga untuk memusatkan pikirannya pada jalanan dan bukan kembali memikirkan perempuan yang mungkin tak pernah memikirkannya.

Satu setengah jam setelahnya, keceriaan Ali muncul karena sebuah wajah kecil melambai-lambai ke arah mobilnya yang sedang memasuki garasi. Ali memarkir mobilnya, mengambil ranselnya dan bergegas menerjang tangan kecil yang menunggu pelukan.

"Abah Ali ama banet cih pulannya. Aku udah tungguin dali tadi." Anak kecil cadel itu naik ke dalam gendongan Ali sambil mengeluarkan jurus omelannya.

Ali tertawa. "Abah kan kerja. Cari uang biar bisa beliin kamu kereta lagi."

"Jangan beli kereta lagi deh, bosen banget aku ngerapihin kereta di kamarnya Zaid," omel Mia.

"Tuh, masa kata Mama, nggak boleh Abah beliin kamu kereta," Ali pura-pura terkejut sambil berbisik kepada Zaid.

"Janan bilan-bilan cama Mama." Bocah kecil itu meletakan jarinya di depan mulut Ali sambil balas berbisik.

Mereka tertawa.

"Zaid ayo turun dulu. Abah masih capek tuh. Biarin Abahnya ganti baju dulu," seru Mama dari arah ruang makan. "Cepet ganti bajunya, abis itu langsung makan ya, Al."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pulang pada PelukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang