Rabu, 8 Februari 2018.
Ika akan selalu mengingat hari ini. Hari ketika cintanya direnggut, hatinya tercabut dari tempatnya. Tak ada air mata di wajahnya, tak akan pernah ada lagi air mata yang tertumpah untuk cinta ini. Cinta yang diperjuangkannya dengan segenap jiwa, kini hampir tak pantas lagi disebut miliknya. Isakan Ibu yang duduk di belakangnya terasa begitu pilu. Cukuplah air mata Ibu mewakili segala rasa sakit yang Ika rasakan.
"Pemohon belum hadir? Kita tunggu 15 menit lagi ya, Bu."
Ucapan Panelis Pengadilan Agama menyadarkan Ika dari lamunannya. Ika hanya mengangguk. Ia tidak tahu di mana calon-mantan-suaminya berada, Ika tidak berniat mencari tahu. Ika hanya ingin pria itu hadir segera, dan menyelesaikan semua urusan mereka. Lebih cepat lebih baik. Agar tak perlu lagi ada mimpi buruk yang menghantui dalam tiap detik hari-harinya. Ika membalikkan badan hendak menenangkan sang ibu, tetapi kemudian di sanalah pria itu. Pria yang tujuh tahun terakhir menjadi cintanya. Pria yang menjadi kekasihnya sejak masa kuliah. Pria yang kemudian memperistrinya saat mereka masing sama-sama merintis karier. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya. Pria yang akan segera menjadi mantan suaminya.
Ika buru-buru memalingkan wajah kembali karena tak ingin bertatap mata dengan Ali. Terakhir kali Ika bicara dengan Ali adalah waktu yang paling menyakitkan dari seluruh proses ini. Hari ketika Ika memutuskan untuk keluar dari rumah mereka karena Ali tidak lagi mau memperjuangkan cinta mereka. Setelahnya tak pernah ada lagi tatap mata, tak ada sapaan, bahkan di mediasi dan sidang pun Ika hanya ingin bungkam.
Ali melenggang ditemani Abah dan Mama. Meski tadi ia tak ingin datang ke sidang ikrar talak itu, Abah menariknya dari atas kasur, memaksanya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan semua yang telah dimulainya. Mama tak berhenti menangis sepanjang pagi, mungkin air matanya sudah mengering, karena Ali tak lagi mendengar isaknya sejak mobil mereka berhenti di depan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ali menggandeng tangan Mama, memperhatikan wajahnya yang lelah. Mungkin Mama juga sama enggannya berada ditempat ini. Mama begitu menyayangi Ika, bahkan hampir memujanya. Ali mengantar Mama duduk, yang kemudian disusul oleh Abah yang segera duduk di samping sang istri. Ali menghampiri Sari, kemudian mencium tangan ibu mertuanya yang tengah terisak.
"Silahkan duduk, Bapak Ali Fahrezi." Panitera mempersilahkan Ali duduk. "Saya akan panggilkan para Hakim agar persidangan dapat segera dimulai."
Panitera persidangan meninggalkan ruangan dari pintu di belakang meja hakim, sesaat kemudian ia kembali masuk bersama tiga orang berpakaian seperti toga. Semua orang di dalam ruangan berdiri.
"Silahkan duduk," ucap Hakim Utama.
"Baiklah, hari ini kita akan melakukan sidang ikrar talak yang akan dilakukan oleh pemohon Bapak Ali Fahrezi terhadap termohon Ibu Malaika Zianisa." Panitera membacakan jadwal sidang yang sudah diketahui oleh semua orang.
Hakim mengetukkan palu sebagai tanda dimulainya persidangan. Hakim membacakan keterangan persidang terlebih dulu, lalu akhirnya bertanya, "Bapak Ali Fahrezi, Saya selaku hakim hendak menanyakan untuk terakhir kalinya, apakah setelah persidangan terakhir Bapak berubah pikiran tentang perceraian ini?"
Ali terdiam cukup lama sebelum berujar pelan, "Tidak."
"Baiklah. Ibu Malaika Zianisa apakah ada permintaan untuk melakukan sidang tambahan, atau permohonan pembatalan sidang, atau mengajuan pembagian harta gono-gini?"
"Tidak, Yang Mulia." Ika menjawab dengan yakin.
"Baiklah. Pemohon dan Termohon telah yakin untuk melanjutkan sidang sesuai dengan jadwal hari ini, Sidang Pembacaan Ikrar Talak. Bapak Ali silahkan berdiri dan ikuti saya mengucapkan ikrar talak."
Ali berdiri. Sepatah demi sepatah ikrar talak itu keluar dari mulut Ali, dituntun oleh salah seorang hakim. "Saya Ali Abrar Fahrezi bin Ahmad Latif Fahrezi menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri saya Malaika Zianisa binti Lukman Jusuf."
Dengan itu jatuhlah talak satu Ali terhadap Ika.
Kehancuran hati Ika tidak akan pernah mampu digambarkan.
Sidang selesai dalam sekejap. Hakim membacakan hasil sidang, mengetuk palu tanda berakhirnya sidang, dan meninggalkan ruangan. Semua duduk terdiam, detik seakan berlalu dengan sangat lambat. Ali berdiri dan berjalan mendekati Ika. Namun, Ika lebih cepat. Ia berdiri dan meninggalkan ruangan sidang itu.
"Maafkan Ika ya, Nak."
Isakan ibunya masih terdengar oleh Ika. Entah apa yang selanjutnya mereka bicarakan, Ika tidak ingin mendengar suara Ali lagi. Ika tak ingin mengetahui apapun tentang pria itu. Ika hanya ingin pergi sejauh-jauhnya dari mantan suami dan semua rasa sakit yang menyesakan dadanya.
___
Thanks for reading... aku tunggu masukan dan kritinya yaa...
Btw, chapter ini dan yang sebelumnya adalah epilog dari keseluruhan cerita. Terjadi 4 tahun sebelum saat ini. Jadi tunggu Next chapter ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang pada Pelukmu
Romance(GANTI JUDUL | Judul sebelumnya: Back Into Love) Hidup kerap menawarkan kesempatan kedua. Namun, bagaimana jika kesempatan kedua itu datang ketika dua insan telah saling melupakan? Bagaimana jika kesempatan kedua itu hadir dan hanya mengingatkan ten...