Kembali ke Jakarta

915 114 6
                                    

Ika meletakkan tasnya di atas meja, menyalakan komputer, kemudian duduk untuk memunggu komputer menyala sambil menyesap susu cokelat panasnya. Mungkin Ika adalah satu-satunya makhluk di gedung ini yang tidak menyukai kopi. Sesuatu yang selalu dianggap aneh oleh kebanyakan rekan kerjanya. Kopi seolah menjadi asupan terpenting bagi banyak orang, terutama orang-orang yang bekerja tak kenal waktu seperti di industri advertising ini. Kopi pagi adalah kewajiban di awal hari. Gelas-gelas kopi itu akan semakin bertumpuk di atas meja jika sedang lembur.

Sedangkan bagi Ika, susu panas dan air putuh sudah cukup untuk membuatnya terjaga sepanjang malam menyelesaikan pekerjaannya. Kebiasaan ika ini juga yang dulu membuat mesin cokelat panas itu hadir di pantry kantor. Karena seringnya lebur dengan para bos untuk rapat, semua memperhatikan kebiasaan Ika yang menyeduh susu coklatnya sendiri. Kemudian suatu hari viola... mesin susu coklat panas itu bertengger cantik di pantry, bersebelahan dengan mesin kopi. Oh tentu saja, itu adalah hadiah dari salah satu brand yang juga menjadi klien perusahaannya. Tapi paling tidak keberadaan mesin itu membuat Ika lebih mudah untuk merefil energinya.

Satu persatu karyawan datang dan menghampirinya. Menanyakan kabarnya setelah sepuluh hari cuti dan memberikan report terbaru atas pekerjaan mereka. Tapi Niken belum terlihat batang hidungnya. Mau tak mau Ika memang menantikan kehadiran sahabatnya itu, meski ia tahu bahwa hari ini Niken pasti akan melakukan interogasi atas foto Jabal Rahmah dan keberadaan Ali di foto itu.

"Ikaaaaa...," jerit Lilo sambil menghampirinya.

"Masih pagi udah jejeritan, ntar demit pada bangun," canda Ika.

"Ih, baru pulang umroh mulut tetep jahara si nyonyah!" Lilo memukul tangan Ika dengan majalah yang ada di genggamannya. "Sehat lo? Mana oleh-oleh buat gue?"

"Alhamdulillah, sehat. Ada tuh di mobil, nanti gue minta tolong OB deh ambilin sekalian pas meeting."

"Gilingan! Baru masuk udah ngajakin meeting. Libur dulu keleeess, Nyah."

"Boleh kok libur. Tapi bonus juga libur ya." Ika menaik-turunkan alis matanya.

"Ih, ampun deh ah. Jauh-jauh ke Arab ga ilang juga penyakitnya."

"Penyakit apaan? Emangnya gue penyakitan."

"Iyee! Penyakit lo tuh namanya workaholic, and you know what, itu lebih berbahaya dari pada alcoholic." Lilo mendengus kesal dan meninggalkan ruangan Ika.

Ika hanya bisa tertawa melihat kelakuan temannya. Lilo adalah pekerja paling berdedikasi, hanya saja dia punya caranya sendiri dalam bekerja. Lilo hampir tak pernah bekerja di mejanya sendiri. Selalu ada meja orang lain, meja ruang meeting, atau meja kantin yang dipakainya untuk bekerja. Tapi di manapun Lilo berkerja, yang perlu Ika ketahui adalah semua pekerjaannya selalu selesai tepat waktu dengan hasil yang dikagumi oleh banyak orang. Lilo adalah seorang genius di bidangnya.

Kriing... Kriing...

Telepon kantor berbunyi.

"Hallo," ucapnya seraya mengangkatnya.

"Ika, kamu sudah masuk." Terdengar suara Ivan Rodlin.

"Oh, Pak Ivan. Iya, saya sudah masuk," sahutnya.

"Welcome back," ucap Ivan. "Oh ya, saya tunggu kabarnya ya tentang pitching Unilever. Harusnya hari ini kan ya kita dapat kabarnya?"

Ika melirik tanggalan meja di samping komputernya. "Iya. Seharusnya hari ini kita dapat infonya, Pak."

"Oke. Catch you later."

Telepon terputus dan Ika meletakan kembali gagang telepon.

Ika mengecek email kantor yang tadi sempat tertunda karena kehadiran Lilo. Membalas beberapa email dari klien dan mengirimkan pesan kepada seluruh timnya untuk mengingatkan tentang meeting yang tetap diadakan jam 10 pagi ini. Ika melirik jam tangannya. Setengah sepuluh. Masih ada waktu 30 menit lagi. Ika mengangkat telepon untuk menghubungi sekretaris untuk meminta salah satu OB ke ruangannya.

Pulang pada PelukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang