Dua bulan yang lalu
Remembrance...
***
"Apa nggak bisa nunggu beberapa hari lagi setelah aku balik dari Soho? Kita bisa berangkat sama-sama ke sana," Abid tetap berusaha memengaruhi keputusan Aline. Di wajahnya masih menyiratkan keberatan yang kentara. Tampak tidak rela membiarkan gadis itu berangkat seorang diri dengan perjalanan jauh menuju Petta.
Aline menggeleng pelan.
"Bener nggak apa-apa kok. Aku sendiri aja. Lagian, jauh sebelum ini, aku udah pernah melewati perjalanan ini tanpa kamu lho." Aline mengingatkan sambil bercanda.
Abid masih kelihatan tidak rela.
"Aku nggak bisa menunda lagi, Bid. Liburan sebentar lagi selesai. Kalo nanti udah kelas dua belas, pasti bakalan sibuk banget. Aku takut nggak punya waktu lagi. Setelah bertahun-tahun, aku ngerasa ini adalah waktu yang tepat." Gadis itu bicara dengan pandangan yang menerawang jauh.
"Tapi ini bukan perjalanan satu atau dua jam, Al."
Tawa Aline berderai. "Kadang kamu suka terlalu protective deh."
Helaan panjang keluar dari mulut cowok itu.
"Atau... kamu yang nggak bisa jauh-jauh lama dari aku," godanya.
Segaris senyum kecil tersungging di wajah Abid, sebelah tangannya refleks mengusap kepala Aline. "Oke, tapi selalu kontak aku ya." Katanya akhirnya, itu pun diucapkannya dengan berat hati.
"Sip, bos." Gadis itu melirik jam di dinding. "Kalo gitu aku pulang, ya."
Abid menengok ke arah jendela.
"Kayaknya mau hujan. Pulangnya nanti aja."
"Aku harus cepat pulang. Kak Andini mau pake motornya."
"Dia pasti ngerti kamu belum bisa pulang sekarang kalo cuacanya begini."
Aline menoleh ke arah Abid sambil tersenyum senang. "Kamu tahu kan, aku nggak pernah mempermasalahkan soal cuaca."
"Tapi aku iya, Al."
Aline tersenyum. "Kalo gitu, semoga aja aku udah sampai di rumah sebelum hujan," katanya, padahal di dalam hati, berharap hal yang sebaliknya.
Setelah memberikan kecupan ringan, Abid mengantarkan Aline sampai ke depan pintu.
"Berteduh dulu kalo hujan, Al," Abid mengingatkan sebelum motor gadis itu berlalu dari hadapannya.
Aline mengendarai motornya dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi.
Dalam perjalanan pulang, langit tampak mendung. Tidak sampai lima menit, hujan deras langsung turun. Jalan terlihat lengang dari pengendara motor karena mereka memilih berteduh. Tapi tidak dengan Aline, dia tetap melajukan motornya di tengah-tengah hujan. Di bawah guyuran hujan Aline justru tersenyum senang. Momen indah seperti ini kenapa harus dilewatkan?
Aline sengaja memperlambat kecepatan motornya. Dalam sekejab saja bajunya sudah basah kuyub. Dia begitu tergila-gila pada hujan. Walau saat itu tubuhnya bergetar karena hawa dingin, Aline tidak peduli, ia terus melajukan motor. Tetesan-tetesan hujan telah melenakan seluruh inderanya.
Keadaan jalan yang lengang membuat Aline terlarut oleh suasana. Ia memejamkan mata, merasakan betul-betul air hujan yang menyentuh ke kulitnya. Terasa tenang dan begitu damai.
Tetapi, keterlenaan itu juga yang menghilangkan keawasannya pada kemudi motor dan keadaan sekitar. Aline tidak menyadari berpuluh meter di depannya seorang anak kecil baru saja lengah dari pengawasan sang Ibu, berlari menerobos hujan ke arah jalan.
Ketika motornya melaju semakin dekat. Suara lengkingan teriakan membahana. Aline terkesiap. Kedua matanya terbuka.
Aline tersentak terkejut sekaligus panik saat melihat seorang bocah berlari menerobos hujan tepat di depannya. Tanpa perhitungan sedikit pun, Aline membelokkan motornya ke sisi kanan untuk menghindari bocah itu.
Bocah itu selamat, dan langsung ditarik menjauh oleh ibunya. Tapi nahas bagi Aline, usaha untuk menghindar itu justru menimbulkan masalah baru baginya. Di ruas kanan, dari arah berlawanan, sebuah mobil sedang melaju kencang.
Aline tidak sempat berpikir apa-apa. Rasa terkejut akibat kejadian sebelumnya masih melanda, masih meninggalkan shock yang menghilangkan kewaspadaannya. Lampu bagian depan mobil itu berkedip-kedip, mengirimkan peringatan padanya. Aline tersadar.
Mobil itu semakin dekat. Dekat. Lalu, semuanya terjadi dengan begitu cepat.
Pasrah, Aline memejamkan matanya.
Rem terdengar berdecit keras, usaha yang dilakukan mobil untuk menghindar, tetap tidak bisa mengelak ketika akhirnya moncong mobil itu menghantam keras motor dan pengendaranya.
Aline bisa mendengar suara dua benda keras saling berbenturan dengan suara yang memekakkan, lalu ia pun merasa tubuhnya seperti terhempas kemudian melayang. Dan tak lama sekejab itu berdentum ke tanah.
Aline tak merasakan apa-apa. Sekejab seperti mati rasa. Perlahan Aline membuka kedua matanya, ia melihat sekelilingnya kabur. Matanya tak bisa melihat terfokus. Di saat itulah ia mulai merasakan nyeri menyerang sekujur tubuhnya. Nyeri luar biasa yang membuatnya ingin menjerit sekuat-kuatnya.
Sakit yang amat sangat. Sampai rasanya ia tidak sanggup lagi untuk membuka kedua mata. Seiring itu memori dalam otaknya berputar melakukan kilas balik dalam kehidupannya dengan cepat. Wajah orang-orang yang disayanginya silih berganti muncul di matanya yang sebelumnya hanya bayangan putih. Ibu, Ayah, Opa, Andini, Abid, Klara, wajah mereka semua muncul. Lalu wajah ibunya kembali hadir. Ibunya tersenyum kepadanya, dengan sangat lebar dan penuh sayang. Dalam bayangan itu ibunya mengulurkan kedua tangan, tanpa ragu Aline menyambutnya.
Tiba-tiba rasa sakit hebat yang sempat dirasakannya hilang. Aline tak merasakan apa pun lagi. Selanjutnya... semuanya menjadi abu-abu, buram. Lalu, lamat-lamat hanya kegelapan yang terlihat. Pekat. Hingga hilang tak berbekas...
***
Acara pemakaman sudah selesai, namun seorang cowok masih saja lekat memandangi pusara di depannya tanpa keinginan untuk beranjak dari sana. Cowok itu memandang dalam sunyi. Tetapi tak ada yang tahu, gemuruh hebat tengah terjadi dalam dirinya. Sebuah penyesalan melingkupi hati dengan sempurna.
"Sepertinya mau hujan, kita pulang, ya," sebuah suara segera mengembalikan kesadaran cowok itu.
Tatapan cowok itu semakin lekat tertancap pada nisan yang bertuliskan nama seseorang yang begitu dekat di hatinya. Sedikit pun matanya tak berkedip, seolah tak ingin pergi meninggalkan raga yang telah tertimbun di bawah sana seorang diri.
Sentuhan halus singgah di pundak cowok itu. Dia kemudian menoleh dan mengangguk kepada Andini yang berdiri di belakangnya.
Keduanya berjalan bersisian meninggalkan pemakaman tanpa sepatah kata pun.
Langit tengah diselimuti awan hitam. Sepanjang hari itu matahari sama sekali tak mau menampakkan jati dirinya. Hari nampaknya ikut berduka, merasakan kehilangan yang sama. Kehilangan senyum seseorang, juga tawanya yang tak akan pernah terlihat lagi.
Yang membawa pergi cinta seseorang. Yang meninggalkan sejuta pedih di relung terdalam.
Selanjutnya... dia hanya mampu terkenang di hati orang yang ditinggalkannya...
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Love
Teen FictionTELAH TERBIT. SUDAH BEREDAR DI TOKO BUKU SELURUH INDONESIA. Kepergian kekasih bisa membuat seseorang seolah jauh dari perputaran dunia. Kosong. Sepi. Begitulah hari-hari tersisa bagi ia yang patah hati, begitu juga Abid. Meski sang kekasih sudah la...