4. A Wound

152 12 1
                                    

Getirnya sebuah luka, tak akan terjawab hanya dengan sorotan mata

***

Lutut Fay sudah lemas dan tubuhnya dipenuhi keringat, tapi tidak ada tanda-tanda permainan voli akan berakhir. Pak Yoga, guru olahraganya masih asyik meniup peluit sebagai isyarat agar murid-muridnya terus melanjutkan permainan.

Pada jam olahraga hari ini, Pak Yoga mengajarkan teknik permainan bola voli. Setelah memberikan arahan singkat mengenai permainan tersebut, Pak Yoga membagi kubu cowok dan cewek menjadi masing-masing dua tim. Setiap kubu akan melakukan pertandingan secara bergantian. Untuk kubu cowok, mereka sudah menyelesaikan permainan. Sekarang giliran kubu cewek yang bertanding.

Selama pertandingan berlangsung, Fay tidak berhentinya mengumpat. Dia kesal pada Bian, karena setiap kali mendapatkan bola, cewek itu selalu melakukan lemparan ke arahnya. Fay yang tidak pandai bermain voli dan tidak suka olahraga, jelas jadi kalang kabut setiap menerima muntahan bola dari Bian yang berbeda kubu dengannya. Kalau saja Pak Yoga tidak meneriaki Bian untuk membagi bola pada anak yang lain, dijamin cewek itu tidak akan berhenti menjadikannya bulan-bulanan.

Ana mendapat giliran memukul bola selanjutnya, dari tim Bian. Cewek itu yang paling payah dalam memukul bola. Meskipun Fay benci olahraga, tapi dia nggak sepayah Ana saat memukul. Benar saja, sesaat setelah memukul bola, benda bundar itu melambung tinggi hingga keluar lapangan voli, dan mendarat mulus ke lapangan futsal.

Fay yang posisinya paling dekat dengan pintu keluar mendapat tugas mengambil bola.

Keadaan lapangan futsal juga tampak ramai karena sedang digunakan oleh kelas dua belas yang sedang jam olahraga. Itu juga yang membuat Fay mengurungkan niatnya untuk masuk ke lapangan. Bola terjatuh dekat salah seorang kakak kelas yang duduk di sudut lapangan futsal.

Dari luar Fay menyapa kakak kelas itu, namun sepertinya dia sedang melamun hingga tak mendengar suara Fay.

"Permisi, Kak," Fay meninggikan volume suaranya. Barulah cowok itu menoleh. "Bisa minta tolong ambilin bola?" dia menunjuk bola yang berada di dekat cowok itu.

Untuk beberapa detik cowok itu menatap bola yang dimaksud Fay. Cowok itu lalu memungut bola, melemparkan bola ke atas hingga benda itu menyeberang jaring. Semua dilakukannya tanpa sepatah kata pun.

Fay menangkap sigap. "Makasih, Kak."

Cowok itu tidak merespon, dia hanya menatap Fay datar.

Baru disadarinya, kakak kelas yang mengambilkannya bola itu adalah cowok yang beberapa hari lalu pergi bersamanya ke ruang guru, saat dia membantu Bu Gina membawa buku-buku ke ruang guru. Si ekspresi datar, si ketua osis, gumamnya dalam hati.

Saat tanpa sengaja bertatapan dengan mata cowok itu, Fay tertegun, manik pekat milik cowok itu kembali menyedot perhatiannya, sama ketika di ruang guru tempo hari. Berbanding terbalik dengan wajahnya yang datar, matanya terlihat begitu kelam. Sesaat Fay terdiam memandangi cowok itu.

Fay mendengar suara Pak Yoga memanggilnya, cewek itu segera masuk ke lapangan dan melempar bola pada kubu Bian. Ketika telah berdiri di posisinya semula, seperti ada magnet yang menariknya hingga dia kembali menoleh ke lapangan futsal, tepatnya ke arah cowok itu berada.

Begitu banyak hal yang bicara di mata cowok itu, tapi yang menarik perhatian Fay, mata itu menggambarkan kesepian dan terluka yang sangat jelas.

Fay nggak tahu kenapa matanya nggak ingin berpaling atau mengarah ke tempat lain. Kedua matanya seolah telah terkunci rapat-rapat di sana.

Samar-samar Fay mendengar suara desingan angin mendekat cepat ke arahnya. Lama-lama desingan angin itu semakin jelas dan dekat. Tiba-tiba Fay menjerit kesakitan, bersamaan dengan itu sebuah bola menerjang kepalanya dengan bebas.

Cewek itu meringis mengusap kepalanya, sambil memerhatikan teman-teman kelasnya yang mulai tertawa ke arahnya. Waktu melihat tawa Bian yang paling keras, Fay langsung tahu siapa pelaku yang melempar bola voli itu.

Fay menatap Bian dengan muka merah menahan marah. Biancaaa!!!

***

Fay baru sampai di kantin dan mencari-cari keberadaan Bian. Cewek itu mengedarkan pandangannnya. Kantin saat itu cukup ramai, padahal jam istirahat belum juga tiba. Ada dua kelas yang saat itu sedang jam olahraga, kelas sepuluh dan kelas dua belas, sepertinya hampir semua penghuni di dua kelas itu menjadikan kantin sebagai peraduan mereka setelah jam olahraga selesai.

Fay meggerutu pelan karena tidak berhasil menemukan sahabatnya itu. Harusnya tadi dia langsung ke kantin saja, tidak perlu kembali ke kelas  untuk mengambil uangnya yang tertinggal. Dia bisa meminjam uang Bian lebih dulu.

"Fay!"

Cewek itu menoleh ke sumber suara saat mendengar namanya dipanggil. Ana, melambaikan tangan kepadanya.

Fay mendengus pelan. Pantas saja dia tidak melihat Bian atau teman-temannya, mereka duduk di meja paling pojok, jauh dari pintu masuk. Cewek itu langsung bergegas menghampiri. Dia nggak sadar salah satu tali sepatunya terlepas dan terinjak langkahnya sendiri, tubuh Fay oleng dan nyaris terjatuh kalau saja tubuhnya nggak menabrak orang di depannya. Orang itu menangkap salah satu tangannya, untuk menahan tubuhnya agar nggak terjatuh.

"Sori," Fay menegakkan tubuhnya. "Thanks," tambahnya sekilas tanpa benar-benar memerhatikan orang di depannya, lalu segera berjongkok untuk mengikat tali sepatunya. Cewek itu merutuk, kenapa juga nih tali sepatu pake acara lepas segala, kalau tadi sampai jatuh dia pasti bakal jadi tontonan gratis dan sudah pasti bakal ditertawakan. Malunya pasti jakpot banget. Cukup sekali hari ini jadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. 

Fay berdecak sekilas. Syukurlah ada orang ini yang menolongnya terhindar dari keapesan. Saat Fay mendongak untuk melihat penolongnya, cowok itu berlalu dari hadapannya. Fay memutar kepalanya mengikuti langkah cowok itu tanpa sempat melihat wajahnya. Fay memandangi punggung cowok itu yang menjauh.

Sudahlah, tadi dia juga sudah berterima kasih.

Setelah tali sepatunya terikat dengan aman, Fay kemudian menuju ke tempat Bian berada.

***

Sebelum mengganti kaos olahraganya, Abid pergi ke kantin untuk membeli minuman. Sebenarnya tadi dia tidak ingin bermain futsal, tapi Galih memaksa untuk digantikan, dengan terpaksa akhirnya Abid mengiyakan.

Ketika akan meninggalkan kantin, tiba-tiba Abid mendengar seseorang berteriak memanggil sebuah nama. Nama yang akhir-akhir ini menyisakan tanda tanya besar di benaknya. Abid mengedarkan pandangannya mencari sumber suara berasal. Suasana kantin yang cukup ramai, membuat Abid kesulitan menemukan asal suara itu.

Abid mengamati setiap meja di kantin, memerhatikan gelagat yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Tiba-tiba, dari arah belakang seseorang menabraknya. Abid berbalik, saat dilihatnya tubuh cewek itu oleng, refleks tangannya memegangi  lengan cewek itu, menahannya agar nggak terjatuh.

"Sori," kata cewek itu. "Thanks," katanya lagi tanpa menoleh kepadanya, lalu berjongkok.

Abid mengamati penjuru kantin, kembali mencari apa yang belum ditemukannya sebelum cewek itu menabraknya. Nihil. Abid nggak menemukan petunjuk apa pun.

Tatapannya tertumpu pada cewek yang sedang berjongkok di depannya. Cewek itu sedang mengikat tali sepatu. Abid berdecak samar, tali sepatu itulah yang menjadi penyebabnya kehilangan petunjuk itu.

Didengernya cewek itu pun berdecak.  Entah kenapa Abid merasa kesal mendengarnya. Kenapa cewek itu keliatan marah, seharusnya di sini dialah yang marah, gara-gara kecerobohan cewek itu dia kehilangan sebuah petunjuk. 

Abid ingin menegur tapi sesaat kemudian dia tersadar, ini terlalu berlebihan, buat apa marah untuk hal sekecil ini. Akhirnya diputuskannya untuk segera pergi dari sana.

***

Back to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang