Satu hari bersama Dafi

128K 8.2K 389
                                    


Pantas saja, salah satu jebakan kencan adalah menonton film horor. Degdegannya jadi abu-abu, gak tau karena filmnya atau memang karena pasangannya.

—Nada—

Semua orang tentu saja terkejut dan juga waswas, karena bukan rahasia umum, atasan muda sering banyak mau dan ambisinya tidak main-main.

Mas Agus berubah lesu. Dia meminum pil pereda nyeri, pasti sakit kepala harus bekerja di bawah atasan yang jauh lebih muda dari dia. Di tambah, harus bekerja di bawah tekanan juga.

Cuma Lala sepertinya yang terlihat senang bukan main. Selepas rapat, Lala kabur ke coffe shop di bawah. Katanya, tadi dia buru-buru jadi tidak sempay membeli kopi.

Kepala divisi kami yang baru, juga cuma sekedar memperkenalkan diri. Baru senin nanti dia bekerja. Hari ini, kantor jadi heboh. Karyawati wanita bersuka cita karena katanya punya pemandangan bagus di kantor. Karyawan laki-laki yakin kalau Arshaka mungkin masuk dengan jalur nepotisme.

"Baru 25 tahun dong," Ben berkata sambil menyender di kubikelku.

"Sumpah?" Wina tidak percaya.

Aku tidak terlalu kaget, karena jelas Arshaka lahir di tahun yang sama dengan aku.

"Lulusan Columbia university sama Melbourne university."

"Sarjana sama magisternya gitu?" aku bertanya.

"No." Tangan Benyamin terkibas di udara.

"Bos kita yang baru, sudah dua kali berturut-turut ambil magister di dua universitas yang berbeda."

Aku takjub. Apa Arshaka tidak punya kegiatan atau dia terlalu gila belajar?

"Tau dari mana?"

"Gue curi dengar informasi di bagian HRD," kata Ben.

"Disana juga heboh banget," katanya lagi.

"Anak yang punya perusahaan kali ya?" kata Wina menebak-nebak.

Aku mengingat-ngingat, rasanya bisnis keluarga Arshaka hanya di bisnis properti dan hotel. Atau mungkin saja, sudah merambah ke bisnis yang lain. Akupun tidak bisa menebak dengan benar.

"Bisa jadi," kata Ben sambil mengangkat bahu.

"Lo lihat gak tadi, bos Dewa saja keliatan segan sama dia." Benyamin berujar dengan yakin. Wina mengangguk-angguk menyutujui.

"Mas mau kemana?" aku bertanya ke mas Agus, yang menenteng laptop.

"Kebawah. Pusing gue. Gak kebayang, gimana kerja di bawah tekanan anak muda," katanya sambil lalu.

******

Aku tidak ingin banyak pikiran, apalagi weekend di depan mata. Setelah sekian purnama, jumat ini bisa pulang lebih cepat adalah suatu mukzijat.

"Baru pulang Neng?" kata pak Anton, dia berujar sambil membuka gerbang untuk aku.

"Iya pak. Mari pak."

Pak anton mengangguk-anggukan kepala. Beberapa kali berbicara dengan Pak Anton, beliau jadi tau kalau aku berasal dari Bandung. Makanya beliau memanggil aku dengan panggilan daerah. Pak Anton sendiri, orang betawi asli.

"Hai, baru pulang?" Suara Dafi mengangetkan aku. Dia sedang berdiri di teras rumahnya sambil menyiram tanaman.

"Iya nih."

"Tumben pulang siang?"

Buat kami, pulang sebelum adzan isya bisa di sebut siang. Padahal waktu jam kerja kami cuma sampai jam lima sore.

JANDA TAPI PERAWAN (JANDA RASA PERAWAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang