Washington D.C, Amerika Serikat
"Sini kopermu aku yang bawa." Kata Kelana yang berdiri di sebelahku. Aku menggelengkan kepala.
"Nggak usah. Aku masih mampu bawa sendiri." Jawabku. Aku mendengar helaan napas panjang dari mulutnya.
Memang, sejak aku tahu bahwa dia bukanlah Damar, aku mulai jaga jarak. Aku jadi merasa asing dengannya. Kami jarang berkomunikasi kecuali penting. Bukannya aku dendam. Sejujurnya aku berusaha mengontrol hatiku. Hatiku yang seharusnya untuk Damar bukan untuk Kelana.
"Marah berkepanjangan nggak bagus, Al." katanya lemas. Sebenarnya aku malas untuk menanggapi Kelana, hanya saja aku perlu meluruskan persepsinya yang tidak benar sama sekali.
"Aku nggak marah, Kelana." Kataku. Kami sedang jalan, tapi aku melihat dia malah berhenti jalan. Aku menoleh ke arahnya dengan wajah kesal.
"Ayolah, bisa lebih cepat? Koperku bukannya nggak berat." Omelku padanya. Kelana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Makanya jangan sok kuat." Bibirnya terangkat membentuk seulas senyum. Senyuman jahil yang lama tidak kulihat. Kemudian Kelana mengambil alih koper yang kubawa ke tangannya. Kelana santai sekali. Dia tidak membawa barang banyak selain tas ransel kempes yang aku yakini isinya tidak banyak.
"Aku tahu kamu capek. Capek hati, capek pikiran, capek fisik juga." kata Kelana padaku. Tidak bisakah dia berhenti perhatian padaku?
"Ini pertama kalinya kamu memanggil nama asliku." Kata Kelana. Apa sehebat itu bagi Kelana ketika aku memanggil namanya pertama kali? Tanpa kusadari pipiku memanas mendengarnya. Gawat, dia tidak boleh memergokiku lagi. Alhasil, kuputuskan untuk mengusap-usapkan telapak tanganku lalu menempelkan ke pipi.
"Wah, dingin sekali disini." Komentarku sambil berusaha menghangatkan diri. Kelana menatapku, kemudian ekspresinya seperti keheranan.
"Pipimu memang selalu memerah ya kalau kedinginan?" tanyanya. Aku terpaksa bilang iya demi melindungi harga diriku. Sekarang dia malah membenahi syalku tanpa sungkan. Apakah perhatian benar-benar menjadi kebiasaannya? Aku merasakan pipiku semakin panas saja.
"Kamu mau ngopi dulu?Sekalian menghangatkan diri. Pipmu sudah semakin merah. Aku jadi khawatir. Kebetulan ada Starbucksdisini." Ajaknya. Lucu sekali melihatnya mengira kalau pipiku memerah karena kedinginan. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Kami memutuskan untuk duduk di meja paling pojok. Ada Kelana yang memesan kopi dan aku yang memesangreen tea latte. Kalaudilihat-lihat, Kelana tinggi sekali. Seperti sekarang ini, bahkan ketika dia sedang duduk bersama aku tetap merasa seperti kurcaci jika dibandingkan dengannya. Mungkin tingginya sekitar 186. Jauh sekali dari tinggi Damar. Eh, tapi bisa aja kan Damar tingginya juga bertambah? Pertumbuhan tinggi badan laki-laki kan selalu tidak terduga.
Damar. Bagaimana keadaan dia sekarang? Aku khawatir sekali dengan perkembangannya. Aku sangat tidak sabar untuk segera menjenguknya. Kuharap, jika itu mukjizat dia bisa terbangun begitu aku datang.
"Kamu pasti khawatir dengan keadaan Damar." Kata Kelana memecah keheningan. Aku menatapnya, tetapi tidak menjawab.
"Damar itu kangen berat sama kamu." Kata Kelana.
"Dari dulu sampai terakhir kami akur, tidak satu pun waktu dia lewatkan untuk curhat denganku mengenai kamu. Alice yang manis lah, Alice yang jago basket, Alice yang nulis, Alice yang pintar bernyanyi. Alice yang pintar. Damar sering bilang kalau kamu cewek idamannya. Damar juga cerita kalau dia sudah sukses dan merasa sudah pantas bersanding denganmu, dia bertekad untuk kembali ke Indonesia dan mengambil hatimu." Kata Kelana. Aku berusaha menahan air mataku. Jangan sampai kamu menangis di hadapan Kelana lagi, Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Untukku
Romance"Aku jamin, semua cerita ini akan berakhir bahagia. Kita semua pasti bisa tersenyum. Aku, Damar, kamu, bahkan Lucy. Kita pasti menemukan akhir yang bahagia. Jadi untuk sementara ini, jangan banyak mengeluh karena terluka." Katanya. Aku mengangguk la...