Aku terbangun dan mendapati diriku tertidur dalam posisi yang sama, yaitu duduk di sebelah Damar sambil memegang tangannya. Kulirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan malam hari. Ah, aku lapar sekali.
"Sebentar ya, Damar. Aku mau cari makan dulu."
Lorong rumah sakit lebih sepi di malam hari jika dibandingkan dengan siang hari. Suasananya menakutkan seperti di film horror. Aku berharap ada seseorang lewat di depanku, supaya aku tidak perlu merasa sendirian dan terancam. Ku putuskan untuk mempercepat langkahku. Nanti kalau sudah sampai di lobi aku telepon Kelana.
Tiba-tiba, aku mendengar dari belakang langkah kaki berjalan menuju ke arahku. Dalam keadaan sunyi begini, hal seperti bisa sangat menakutkan bahkan untuk membuatku parno. Ku putuskan mempercepat langkahku, tapi suara itu juga semakin cepat melangkah, seperti sedang mengejarku. Sampai kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku, aku berteriak. Seseorang berpakaian serba hitam memojokkanku di tembok dan membekap mulutku. Bahkan aku dapat merasakan hangat napasnya menerpa wajahku. Aku tidak berani melihat wajahnya jadi aku memutuskan untuk menutup rapat mataku. Takut-takut yang kulihat wajah penuh darah, gigi-gigi tajam, atau paling buruk seseorang yang tidak memiliki bola mata. Aku menoleh ke arah sepatunya, kakinya masih berpijak di lantai. Artinya bukan hantu, ya?Aku memberanikan menoleh ke arah wajahnya. Yang kudapati malah Kelana yang sedang menatapku.
"Kelana?" kataku terbata. Kakiku lemas. Kukira dia hantu. Hampir saja aku jatuh kalau saja Kelana tidak menahan badanku.
"Kamu ini kenapa sih, Al? Teriak-teriak kayak habis lihat hantu." Aku berusaha membetulkan posisi berdiriku.
"Aku kira kamu hantu." Jawabku jujur tanpa melihat ke arahnya.
"Wah, apakah aku semenakutkan itu?" tanyanya tidak percaya. Aku hanya meringis.
"Habisnya, kamu mengikutiku seperti penguntit. Berhubung lorong disini menyeramkan, aku jadi parno hantu." Ujarku.
"Dan juga, tolong jangan pakai boots seperti ini, bikin parno aja." Pintaku sambil menendang sepatunya.
"Hati-hati, Nona Alice. Ini boots lebih mahal dari gajimu selama sebulan." Katanya. Aku hanya mencibir. Diam-diam aku melihatnya tersenyum. Gila kali dia.
"Sebenarnya aku mau mengajakmu makan malam di luar. Kamu tertidur seharian ini dan aku yakin kamu kelaparan." Aku hanya mendengarkan tanpa merespon.
"Di dekat sini ada beberapa rumah makan dan food truck yang lumayan enak." Dia menatapku, menanti jawaban dariku. Sementara aku sibuk berpikiran antara dosakah aku pada Damar kalau pergi makan malam bersama Kelana, sementara Damar mendekam di dalam ruang ICU. Belum sempat menemukan jawaban, Kelana sudah meraih pergelangan tanganku dan menyeretku.
"Kamu lama, Al. Aku udah lapar banget. Aku juga nggak makan dari tadi tahu." Dumelnya.
"Salah siapa nggak makan?" sergahku.
"Aku jarang lapar di malam hari. Kalau aku sudah makan tadi, nggak bisa ngajak kamu makan sekarang." Katanya jujur tanpa melihat ke arahku. Kami masih berjalan dalam kondisi dia menggapit tanganku erat. Entah kenapa jantungku berdegup kencang. Aku merasa ini semua nggak benar. Harusnya jantungku tidak berdetak untuk Kelana. Harusnya jantungku berdetak untuk Damar.
"Ini nggak bener!" teriakku tiba-tiba. Kelana berhenti lalu menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat sedikit kesal.
"Apalagi sih, Al?" tanyanya kesal.
"Aku rasa ada yang nggak benar disini. Ada yang nggak seharusnya terjadi." Kataku.
"Aku tahu kalau kamu benci sama aku. Kamu nggak suka sama aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Untukku
Romansa"Aku jamin, semua cerita ini akan berakhir bahagia. Kita semua pasti bisa tersenyum. Aku, Damar, kamu, bahkan Lucy. Kita pasti menemukan akhir yang bahagia. Jadi untuk sementara ini, jangan banyak mengeluh karena terluka." Katanya. Aku mengangguk la...