Laju air mata semakin kencang berderai. Membias pedih mengiris hingga relung hati. Bukan tanpa sebab raga kembali tertumpah duka. Bukan tanpa arah jiwa kembali terpecah belah. Entitas bernamakan masa lalu membelenggu, membuat butir-butir kekuatan melemah kemudian tandas tak bersisa.
Ye Rin menundukkan kepala. Memukul-mukul kemudi melampiaskan segala lara yang kian menganga. Luka mengering kini harus terbuka, seakan diiris kembali bahkan lebih dalam adanya. Ia berstagnasi. Seakan hilang di antara detik-detik di mana suara berat paling ia rindu mengetuk gendang telinga.
Menyapanya. Menyelipkan panggilan akrab tergerus eksistensi zaman.
Tangan gemetar itu menyentuh sisi bawah dashboard. Membuka laci penyimpanan sekadar menemukan botol kecil berisi pil-pil yang masih penuh sesak. Mengeluarkan dua di antaranya dari sana. Menelan bulat-bulat tanpa bantuan air.
Pikiran Ye Rin masih terpecah belah. Ingin menganggap ilusi namun pedih terasa menelusup bahkan lebih jauh dari dugaan. Ingin menganggap angin lalu namun ucapan keluar dari bibir seakan membiarkan dirinya kembali berkubang rasa bersalah.
Rasa bersalah membiarkan sang ayah tak diberi kesempatan membela keadaan. Tak diberi kesempatan berkonversasi lebih dari sekadar gumaman rasa kecewa.
Dan sebelum netra terpejam erat karena reaksi obat, Ye Rin sempat berujar, "Maafkan aku, Ayah."
***
Min Yoon Gi lekas mengemudi. Menginjak pedal gas kuat-kuat, merepetisi umpatan dalam dua detik sekali. Entitas yang jadi prioritas telah pergi hampir setengah jam lalu. Dengan duka membara tercetak jelas di kedua netra.
Yoon Gi tidak mampu sekadar mengejar lebih awal sebab objek penyebab rasa sakit meminta perhatian. Menginvasi otak selama beberapa menit. Bersamaan kalimat yang terasa begitu menyayat hati.
"Bahagiakan putriku, Yoon Gi. Aku tahu tidak benar meminta ini padamu karena ia hanya ingin membuatmu menjadi perantara saja. Tapi kumohon, turutilah permintaan itu selama itu bisa membuatnya bahagia. Aku telah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik untuk istri dan anakku sendiri."
Sistem kerja otak Yoon Gi mendadak lumpuh. Terhenti sebab kata demi kata tercerna bagai jarum penusuk. Sesal kemudian melingkupi, membuat kepal-kepal tangan memutih seiring derap langkah Ryu Se Joon menghilang dari hadapan.
Sepeninggal pria itu Yoon Gi hanya mematung. Mengukuhkan eksistensi tidak peduli. Lalu tangannya bertindak tanpa sempat dicerna otak. Mencari kontak nama Ye Rin, menghubungi tiap-tiap kali meski tanpa respon. Yoon Gi mengumpat, menyumpah serapahi kaki yang enggan bergerak selama lima menit terakhir.
Dan kemudian ia berakhir di sini; mengemudi, tanpa ampun mengulang kata sial. Berkelok-kelok mencari titik biru berkedip pada ponsel. Ia menekan pedal rem. Memicing netra guna memastikan Mazda putih metalik adalah kepunyaan Ye Rin.
Kaki-kakinya terjalin, berlari mengikis jarak. Menggedor-gedor jendela, tak kuasa membangunkan si wanita yang kini menelungkup kepala di atas kemudi. Yoon Gi semakin berang, intensitas umpatan dalam kepala semakin banyak terjelang. Hingga ia memutuskan mendobrak pintu, semakin teriris kala menemukan Ye Rin tidak sadarkan diri.
***
Dalam lamat-lamat dingin menelusup, Seok Jin menatap hampa sepasang cincin perak tanpa tahta dalam wadah beludru. Menggeram napas berat. Membiarkan otak berkelana bersama mesin-mesin waktu tak kasat mata hingga menemukan sepenggal memori sore bersalju dengan sang terkasih di sana. Saling berbagi kehangatan lewat pelukan mesra. Saling merapat seakan tanpa sadar sutradara sudah mengatakan berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dreams (M)
FanfictionRyu Ye Rin mencari kebahagiaan sementara Min Yoon Gi mencari kepuasan. Lalu bagaimana jika mereka bertemu dan membuat satu proposisi? Inspired by The Proposition © Katie Ashley