Kencan?

22 1 0
                                    

Emosi dan rasa kecewa Bara tahan dengan merebahkan dirinya diatas bad yang memantukan dirinya ketika Bara membanting badannya. sepatu dan jaketnya masih membalut tubuhnya, Bara mengambil ponselnya yang ada disaku belakang celananya yang ikut terbanting tertindihi tubuhnya.

8 misscalled 2 message

Jari-jari Bara mulai mengeser layar benda pipih itu, Bara sudah menduga siapa yang menelponnya. Sudah pasti Arga, karena Arga yang selalu khawatir ketika Bara membiarkan diri melakukan hal-hal yang menurutnya salah dan beresiko. Lalu Bara juga membuka fitur pesan di ponselnya,

From : Luna, yesterday 20.30 p.m

Bar, besok bisa anter aku ke toko buku nggak?

Sebelumnya mata Bara yang sayu karena mengantuk kembali mengundurkan kelopaknya menjadi bola mata yang bulat dan pupil membesar. Sejujurnya, Bara ingin membalas 'ya, aku bisa lun' tapi janji yang sudah dia katakan kepada Adin itu yang membuat Bara mengatakan,

To : Luna, today 00.20 p.m

Sorry Lun, aku nggak bisa. Next time aja, bakal aku jemput kok. Kalo bisa aku beliin sekalian.

Bara mendesah pelan, pikirannya sekarang lari kemana-mana. Kalah dengan melvin, itu sebuah kekalahan yang sangat menghina bagi dirinya, karena taruhannya bukan apa-apa. Tapi harga dirinya. Bara berusaha menjauhkan imajinasinya ketika dia dijadikan pembantu dengan beralih memikirkan Luna. Kenapa gadis ini yang selalu menari-nari dipikiran Bara, walau memang sudah jelas Luna tak mungkin memikirkannya. Kembali jari-jarinya memencet fitur pesan,

To : Luna, today 00.30 p.m

Malam Luna

Sleep well

I will come your dreams

Setelah menulis ucapannya untuk Luna, Bara tak kuasa menahan kantuk dan lelahnya. Matanya mulai terpejam, tidurnya yang selalu ditemani sepi dan mimpi buruk selalu menemaninya setiap malam. Tak seperti dulu yang selalu mendapat dongengan bersama Arga dari mamanya ketika masih 10 tahun. Tapi itu semua hanya masalalu, menurut Bara masa sekarangnya adalah hanya Bara yang masih merindukan masa lalunya.

^^^

Pagi ini Adin terbangun dengan sambutan sang sinar mentari yang menerobos jendela trasparannya dan juga korden yang menutupinya. Dia menyrengit melihat silauan mentari yang tepat dimatanya seperti lampu LCD gelora sepak bola. Adin perlahan menyangga tubuhnya dan melakukan olah raja kecil ketika bangun tidur, terasa tubuhnya tak begitu fresh untuk hari ini. Dilihatnya jam yang menunjukkan jarum pendek di 08.30, hari ini tanggal merah menjadi alasan untuk Adin bangun kesiangan. Tepatnya disengaja.

"Zar, Zara... sarapan."

Suara terikan khas Dafa ketika dipagi hari membuat Adin menurunkan kakinya menginjak lantai lalu bergegas menuruni tangga demi roti bakar coklatnya.

"Jorok banget sih lo Zar, cuci muka dulu sana!"

Perintah Dafa ketika mendapati Adin dengan rambut acak-acakan dan juga liur yang dia keluarkan dan menjalar di pipinya menyisakan bekas yang menjijikkan.

"Ogah."

Jawab Adin singkat seperti orang yang belum pulih dari masa-masa tidurnya dan nyawanya belum terkumpul sempurna.

Adin melahap nikmat roti bakar buatan Dafa dan ada suara ketokan pintu yang mengharuskan Adin berhenti sejenak mengunyah rotinya.

"Buka sana Daf." Perintah Adin kepada Dafa yang sedang menyiapkan susu coklat untuk Adin.

His EmotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang