EIGHT

20.2K 1.8K 16
                                    

"Dokter ngapain disini?"

Sepertinya suaraku yang entah kenapa terdengar ketus itu mengagetkannya. Dokter mesum itu mendongak, matanya membelalak lebar sambil berdiri dari posisinya. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku menautkan kedua alisku bingung melihat sikapnya. Agak risih sebenarnya.

"Ngapain sih? Ngeliatinnya gitu banget." Refleks aku menutup bagian dadaku dengan kedua tanganku. Aku trauma dengan perlakuannya dulu, saat kita pertama kali bertemu.

Dokter mesum itu berdecak kesal. Menatapku skeptis sembari berkacak pinggang.

"Saya nggak bakal nafsu sama kamu, Bila. Saya cuma mau mastiin kamu baik-baik saja setelah insiden kejebur kemarin. Saya cari--"

"Bisa nggak dokter berhenti panggil saya dengan nama itu." Potongku cepat. Aku tidak tahan lagi dengan panggilan itu. Panggilan yang mengingatkanku tentang masa kecilku bersama Papa yang terlanjur menorehkan luka mendalam dihatiku.

"Kenapa? Bukannya itu memang nama kamu."

Aku mengacuhkan dokter mesum itu. Tidak berniat menjelaskan alasanku padanya. Aku malas mengingat-ingat hal yang menyakitkan itu.

Aku mencari-cari kunci kamar kosan disaku celana jeansku. Kubukan pintu kamar itu, harum aroma lavender menyambut Indra penciumanku. Aku berjalan memasuki kamar kosku, dokter mesum itu mengekor dibelakangku. Dia menatap serius ruangan pribadiku yang untung saja sudah kubereskan. Seolah tempat yang baru dilihatnya adalah benda peninggalan jaman purba.

Kamar kosku ini lumayan luas dibanding kos yang lain. Ada dua ruangan yang terpisah oleh sekat dinding. Bagian depan adalah ruangan kecil yang biasanya kupakai untuk menerima tamu. Sedangkan bagian belakang adalah tempat dimana aku mengistirahatkan seluruh tubuhku setelah lelah beraktivitas. Dikosanku ini, dapur hanya ada satu. Letaknya di paling ujung. Meski penghuni kosanku perempuan semua, dapur umum itu jarang terpakai. Mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali aku pergi kesana.

Aku melempar tas dan juga kertas lembaran skripsiku dimeja. Lalu merebahkan tubuhku di kursi kecil diruang tamu. Kupejamkan mataku sejenak. Meredam pening yang kurasakan sejak tadi.

"Kamu darimana? Kenapa nggak bilang kalau hari ini shift malam?"

Kubuka mataku perlahan, melirik kearah dokter mesum itu yang kini duduk dikursi sebelahku sambil menatapku intens.

"Memangnya saya harus selalu laporan sama dokter." Aku berjalan kebelakang, mengambil beberapa botol air mineral yang memang sengaja kusiapkan bila ada teman-temanku yang mampir kemari. Kuberikan padanya minuman itu yang langsung diteguknya hingga tersisa setengah.

"Haus banget ya, dok?" Tanyaku menyindir.

"Saya nungguin kamu disini dari jam tiga. Saya haus dan juga lapar."

Lah? Siapa juga yang nyuruh dia nungguin di depan pintu? Lagipula kalau lapar kan tinggal beli saja makanan di warung depan yang berjejer-jejer itu.

"Dokter ada perlu apa mencari saya?"

"Ini perintah dari Mama dan juga perempuan medusa yang sejak pagi terus meneror saya."

Aku mengernyitkan dahiku bingung. Perempuan medusa siapa yang di maksud dokter mesum ini?

Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun suara dering ponsel lelaki didepanku ini menginterupsi.

"Nah kan, baru saja disebut namanya udah nelpon lagi."

Aku menatap dokter mesum itu kepo. Tampak dia me-loud speaker panggilan teleponnya. Dan begitu aku mengenali suara diseberang telepon yang terdengar berteriak kencang, aku pun sadar siapa yang dimaksud dengan perempuan medusa itu.

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang