THIRTY NINE

19.6K 1.4K 13
                                    

Aku pernah mendengar sebuah kalimat bahwa jangan pernah membuat marah orang yang sabar. Karena marahnya orang sabar lebih berbahaya dan menakutkan daripada fenomena emak-emak sein ke kanan tapi belok kiri.

Selama mengenal dokter Rama, tidak pernah sekalipun aku melihat dia marah sampai seperti ini. Mungkin beberapa kali aku lihat dia marah pada dokter residen yang memang tidak disiplin atau membuat kesalahan fatal. Marahnya pun masih dibatas kewajaran karena memang dia bertanggung jawab penuh pada para dokter residen itu dan juga keselamatan pasien. Tapi, marahnya kali ini entah kenapa tampak menakutkan bagiku.

Sepanjang perjalanan, sejak meninggalkan kafe tadi, lelaki disampingku ini tidak mengacuhkanku. Padahal biasanya dia akan mengajakku bercanda sekaligus mengeluarkan gombalan-gombalan recehnya yang kadang membuatku tertawa. Pandangannya fokus kedepan. Kedua tangannya tampak mencengkeram kemudi hingga otot-otot bisepnya terlihat jelas. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Bahkan seolah tidak menganggap keberadaanku. Laju mobilnya pun berada diatas kecepatan rata-rata. Padahal dia tidak pernah mengendarai mobil ngebut seperti ini.

Aku sendiri merasa sangat ketakutan. Beberapa kali memejamkan mata saat mobil kami menyalip beberapa kendaraan didepan. Kedua tanganku memegang tali tas erat. Bahkan pandanganku mulai memburam menahan air mata yang mendesak keluar.

"Kamu masih ada hubungan apa sama dia?" Tiba-tiba suara dokter Rama memecah keheningan. Dia bertanya tapi pandangannya masih fokus kedepan. Dari samping aku bisa melihat dengan jelas rahang kokoh miliknya tampak mengeras.

"Ng-nggak. Nggak ada hubungan apa-apa. Saya sama Yudha cuma temen kok." Aku tidak bisa mengendalikan suaraku yang mulai bergetar. Setetes cairan bening lolos dari kedua mataku. Buru-buru aku menghapusnya dengan punggung tangan.

Dokter Rama kini menoleh kearahku. Dia menghela napas panjang, lalu memperlambat laju mobilnya hingga akhirnya berhenti ditepi jalan. Dia menyugar rambutnya kasar dengan nada frustasi yang membuatku semakin ketakutan.

Air mataku tidak bisa berhenti keluar. Bahkan aku tidak berani menatap wajahnya. Perlahan, lelaki itu memutar tubuhnya hingga menghadap kearahku. Dengan perlahan, dia menarik tubuhku dalam pelukan. Tangisku bukannya berhenti malah makin menjadi. Dan... Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi yang berbeda dari lelaki ini.

"Sshh... Maaf." Dia mengusap punggungku lembut, tampak berusaha menenangkanku. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungnya yang berdetak kencang. Selama beberapa menit, tangisku akhirnya mereda. Dokter Rama melepas pelukannya. Dia menghapus pipiku yang basah, lalu menatapku dengan raut wajah penyesalan yang sangat kentara.

"Maafkan saya, Bi. Saya cuma takut dia merebut kamu dari saya." Lirihnya pelan membuatku akhirnya mengerti dengan sikapnya yang tiba-tiba berbeda.

Penghianatan di masa lalu mungkin membuat lelaki didepanku ini trauma. Kisahnya dengan Katy, membuatku mau tidak mau akhirnya paham bahwa
Dia tidak ingin lagi dikecewakan.

Aku berusaha tersenyum. Kugenggam tangannya erat, lalu kutempelkan jemarinya yang besar itu kepipiku.
"Mas nggak perlu takut. Kami cuma berteman. Sama seperti saya berteman dengan Bagas, Erik, dokter Dili dan teman lelaki saya yang lain."

"Tapi dia itu suka sama kamu, Bi?"

"Erik juga pernah suka sama saya."

"Itu beda cerita." Dia menghembuskan napas kesal. Entah kenapa melihat dia cemburu buta seperti ini membuatku gemas.

"Apanya yang beda?" Tanyaku menahan tawa geli melihat tingkahnya yang kekanakan. Padahal usianya hampir kepala tiga.

Dia tidak menjawab. Aku tersenyum lembut. Kumainkan jemarinya di tanganku. Kutatap kedua bola matanya, berusaha meyakinkannya. "Mas, perasaan Yudha itu hak dia. Saya nggak bisa melarang dia. Yang jelas saya nggak ada perasaan apa-apa sama Yudha."

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang