TWENTY NINE

15.1K 1.4K 19
                                    

Mimpi buruk yang belakangan terjadi padaku seolah menjadi nyata. Budhe Ratna, kakak Mama yang ada di Surabaya semalam tiba-tiba menelepon ke ponselku. Budhe memberi kabar mengejutkan yang membuatku akhirnya tidak bisa memejamkan mata sampai pagi.

Papa jatuh sakit. Papa terkena stroke dan sudah hampir satu minggu dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Kata budhe, Papa sudah bolak-balik keluar masuk rumah sakit sejak satu Bulan ini. Budhe tidak berani meneleponku karena tahu bagaimana hubunganku dengan Papa selama ini. Budhe juga dulu sangat marah sama Papa, bedanya kini budhe sudah mau memaafkan Papa sedangkan aku belum.

Kata budhe, selama sakit Papa selalu menyebut namaku dan ingin sekali bertemu denganku. Papa bahkan sampai memohon pada budhe supaya memberikan kontakku padanya. Tapi, budhe sudah pernah berjanji padaku untuk tidak sekalipun memberitahu tentangku, tentang seorang anak yang pernah dilukai dan ditinggalkannya. Sampai akhirnya kondisi Papa semakin memburuk, dan wanita yang dulu menjadi orang ketiga dalam keluarga kami pun pergi meninggalkannya begitu saja. Persis seperti apa yang dulu pernah dilakukan Papa pada kami.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah Budhe memberikan kabar itu. Disatu sisi aku bersyukur karena akhirnya Papa mendapatkan apa itu yang dinamakan 'karma'. Tapi dilain sisi, aku juga merasa sebagai anak yang durhaka. Aku merasa bersalah, hatiku tercubit dan perlahan aku menyadari sesuatu hal. Bagaimanapun juga, Papa adalah seseorang yang sangat kusayangi dulu. Darah yang mengalir dalam tubuhku adalah juga darahnya. Mungkin inilah arti dari ucapan mama di mimpiku belakangan ini.

Setelah semalam berpikir, akhirnya aku meredam segala ego dan rasa dendam yang selama ini menguasai diriku. Aku menyerah. Aku rindu Papa dan aku ingin menebus semua kesalahanku selama ini. Kuputuskan untuk berangkat ke Surabaya hari ini juga selepas dinas pagi. Aku sudah meminta izin pada bu Merlin, kepala ruanganku. Dan aku juga sudah berpamitan pada Kinar dan juga teman-temanku yang lain.

Kinar yang tahu persis bagaimana masalahku, berkali-kali memberikan dukungannya padaku. Dia bilang, semoga aku tidak terlambat. Dan mendengar perkataannya, ketakutan mendadak menguasai diriku. Aku takut jika apa yang dikatakan Kinar memang benar. Aku takut waktu tidak berpihak padaku. Dan aku takut kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

Aku menghela napas panjang. Semua perlengkapan yang kubutuhkan sudah kumasukkan kedalam koper berukuran sedang. Tiket pesawat yang tadi dipesankan oleh Kinar sengaja kupisah, kuletakkan di tas pinggang kecil bersama dengan dompet dan juga ponsel agar mudah diambil.

Setelah memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal, aku buru-buru membereskan kamar kosku yang agak berantakan sambil menunggu Bagas dan Kinar yang ngotot ingin mengantarku sampai ke bandara. Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul empat sore, masih ada waktu tiga jam sebelum pesawatku berangkat. Untung saja jarak ke bandara juga tidak terlalu jauh.

Aku menghela napas panjang. Kepalaku rasanya dipenuhi wajah-wajah papa dan mama. Sampai suara-suara ribut diluar membuyarkan pikiranku. Aku buru-buru beranjak sambil membawa koper dan menyampirkan tas kecil di pundak. Mataku membulat begitu melihat sosok seorang lelaki yang sudah beberapa hari ini menjauhiku tanpa sebab tengah berdiri ditengah-tengah Bagas dan Kinar.

"Do-dokter Rama? Ngapain disini?" Mataku bergantian menatap ke arah Bagas dan Kinar, meminta penjelasan. Tapi kedua sahabatku itu hanya kompak mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Saya mau ikut kamu ke Surabaya."

Mataku melotot sempurna mendengar ucapannya yang datar. Aku sendiri tidak bisa membaca sorot mata dan juga raut wajahnya yang tenang itu.

"Saya cuma mau memastikan kamu selamat sampai disana. Jakarta-Surabaya itu jauh. Saya khawatir."

Otakku masih mencerna ucapan dokter Rama. Setalah beberapa hari menghilang, kenapa tiba-tiba dia menemuiku dalam keadaan seperti ini. Seolah-olah sebelumnya tidak terjadi apa-apa.

Sebelum aku sempat menjawab tiba-tiba Bagas sudah mengambil alih koper ditanganku, dan Kinar menarik tubuhku mengikuti langkah dua orang lelaki yang berjalan lebih dulu menuju mobil sedan corona yang terparkir dihalaman kosan.

Setelah berpamitan dengan ibu kos, akhirnya kami semua berangkat menuju bandara. Dan usut punya usut, setelah aku bertanya-tanya kenapa tiba-tiba dokter Rama muncul didepanku dan ingin ikut denganku ke Surabaya, ternyata Bagas dan Kinar lah yang mengatur semuanya. Bahkan kedua sahabatku itu juga yang memesankan tiket dokter Rama.

Awalnya aku keberatan dokter Rama ikut, tapi sekeras apapun aku menolak, lelaki itu tetap kekeuh dengan kemauannya. Aku menyerah dan aku sudah tidak mau lagi ambil pusing. Kuhela napas panjang, pesawat yang kunaiki perlahan meninggi. Kembali wajah papa terbayang-bayang di antara gumpalan awan. Seperti apa kondisi Papa sekarang? Apakah Papa masih tegap dan tegas seperti dulu? Apakah senyum Papa masih setampan dulu? Sejujurnya, jauh dilubuk hatiku yang terdalam, aku merindukan sosoknya. Diam-diam, segala doa kupanjatkan untuk kesembuhan Papa. Semoga saja papa bisa pulih seperti sedia kala. Semoga saja aku tidak terlambat memperbaiki semuanya. Ya. Semoga saja semuanya baik-baik saja.

"Kamu nggak tidur, Bi?" Suara itu menyentakkan pikiranku. Aku menoleh ke samping, ke arah lelaki yang sejak tadi memperhatikan setiap gerak-gerikku. Sorot matanya menatapku lembut.

Tanpa sadar aku menggigit bibirku gugup. Dengan perlahan, dibawanya kepalaku ke pundaknya. Diraihnya jemari kananku dalam genggamannya, seolah menenangkanku. Mendadak bulu kudukku meremang, seolah ada arus listrik yang mengalir tiba-tiba, mendebarkan jantung yang kini sudah tidak lagi bisa kuredam saat sebuah kalimat meluncur bebas dari bibirnya.

"Semua pasti baik-baik saja. Kamu tidur ya."

***

Perjalanan Jakarta-Surabaya memang terasa singkat jika lewat jalur udara. Aku mengerjap beberapa kali setelah tangan besar milik dokter Rama membelai lembut pipiku. Aku tidak tahu kenapa dengan mudahnya aku bisa terlelap di pundak lelaki itu, mungkin karena semalam aku memang tidak bisa tidur.

"Udah mau sampai." Katanya sambil tersenyum lembut yang lagi-lagi membuat kesadaranku melayang.

"Maaf dok. Saya ketiduran." Ucapku tidak enak hati. Dia pasti capek menopang kepalaku yang bersandar dibahunya. Belum lagi tanganku yang aku tidak tahu bagaimana ceritanya tau-tau saja sudah merangkul lengannya, menjadikannya seolah guling.

"Nggak apa-apa." Ucapnya sambil tersenyum lagi. "Maafkan saya ya."

Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba meminta maaf padaku.

"Maaf untuk apa dok?"

"Untuk sikap saya kemarin. Saya akui saya salah. Saya memang sengaja menjauh dari kamu belakangan ini."

Aku terkejut dengan pengakuannya. Mendadak hatiku berdenyut nyeri. Jadi dokter Rama memang sengaja melakukannya. Tapi, Apa alasannya dia menjauh dariku? Apa aku punya salah?
"Kenapa?" Tanyaku lirih.

"Saya pikir kamu berpacaran dengan Yudha."

Apa? Kenapa begitu? Apa dia cemburu?

"Saya dan Yudha tidak ada hubungan apa-apa dok. Dia memang menyatakan perasaannya, tapi saya belum memberikan jawaban saya." Ucapku memberikan klarifikasi agar lelaki didepanku ini tidak salah paham.

Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku repot-repot menjelaskan hubunganku dengan Yudha. Rasanya aku hanya takut. Aku takut kalau dokter Rama menghindariku lagi dan menghilang tiba-tiba dari pandanganku seperti yang terjadi beberapa hari kemarin.

"Iya saya tahu. Maka dari itu maafkan sikap kekanakan saya. "

Aku tersenyum geli melihat raut wajahnya yang tampak menyesal dan begitu frustasi. "Dokter nggak salah kok."

Mendadak senyumnya berkembang. Raut wajahnya kembali ceria.
"Jadi, saya masih punya kesempatan kan?"

***

Haloooo. Gue kembali. Ada yg kangen? 😘 Maaf ya yg udah nungguin cerita ini lama bgt. Gue usahaain cerita Rama-Bila ini tamat Bulan depan. Dan udah ada draft buat cerita selanjutnya sih. Tetep pantengin aja drama gengsi-gengsian dua tokoh ini.

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang