TWENTY SEVEN

16.2K 1.4K 9
                                    

Akhirnya hari ini aku kembali bekerja setelah empat hari tergolek tidak berdaya. Kutatap pantulan diriku dicermin, wajahku terlihat tirus dan tubuhku tampak semakin kurus. Sepertinya aku benar-benar kehilangan banyak berat badan, sampai baju dinas yang biasanya terasa pas dibadan kini terasa longgar.

Kuhampiri Kinar dan Bagas yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu dengan Setia menungguku didepan kosan. Mereka tampak berbincang-bincang dengan mbak Putri dan juga mbak Octa.

Semalam, kedua sahabatku itu memaksa ingin menjemput dan mengantarku sampai rumah sakit dengan selamat.  Padahal aku juga biasanya berangkat sendiran. Katanya sih hari ini pengecualian karena aku baru saja sembuh dari sakit dan mereka takut aku tiba-tiba pingsan dijalan. Pasangan itu memang berlebihan, tapi dilain sisi aku sangat bersyukur memiliki sahabat yang sangat perhatian seperti mereka.

"Yuk berangkat." Ucapku setelah memasukkan kunci kosan kedalam tas.

"Udah sehat beneran, Cha?" Tanya mbak Putri.

"Udah mbak. Tenang aja. Udah strong gue." Kataku sambil mengangkat lenganku membentuk gestur memperlihatkan otot-ototku. Mereka tertawa melihatku yang kini sudah bisa bercanda. Tidak seperti kemarin yang katanya bahkan seperti kehilangan nyawa.

Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya kami bertiga berangkat dengan mobil sedan corona milik Bagas. Mobil tua itu menyimpan banyak cerita tentang persahabatan kami bertiga. Bahkan Bagas menolak mati-matian ketika Kinar menyarankan agar dia menjual saja mobil itu dan menggantinya dengan mobil keluaran terbaru.

Bukannya Bagas tidak mampu membeli mobil baru, keluarga Bagas pun bahkan dari golongan menengah keatas, hanya saja seperti yang kukatakan diawal bahwa mobil berwarna merah marun itu punya banyak kenangan. Dan bagi Bagas, kenangan berharga itu tidak bisa ditukar dengan apapun didunia ini.

Mobil Bagas memasuki pelataran parkir rumah sakit. Diantara deretan mobil mewah yang terparkir disana, mobil milik Bagas lah yang paling mencolok.

Sesampainya di rumah sakit, beberapa staff yang kukenal menyapaku dan menanyakan keadaanku yang katanya sempat membuat heboh IGD pagi-pagi. Mulutku bahkan sampai berbusa menjawab pertanyaan yang itu-itu saja.

Kami berpisah dilift. Aku dan Kinar turun di lantai empat, sedangkan Bagas menuju lantai lima, tempat ruang OK.

"Achaaaa... Ih, kangen banget gue. Nggak ada lo nggak rame tau." Sambut April heboh ketika aku baru saja membuka pintu ruang ganti. Fitria, mbak Indi dan teman-teman yang lain bergantian memelukku.

Kubalas pelukan mereka, setitik cairan bening lolos dari mataku. Aku benar-benar terharu, begitu banyak orang baik disekitarku. Meski aku sebatang kara di tanah perantauan ini.

"Kok nangis sih, Cha?" Tanya Kinar yang pertama kali menyadari bahwa aku menangis.

"Gu-gue terharu." Ucapku sesenggukan. Kompak, mereka semua kembali memelukku. Aku bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka yang begitu peduli dan sayang padaku. Seharusnya aku merasa lega dan bahagia, tapi entah kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Hatiku berdenyut nyeri ketika mengingat wajah milik seseorang yang sejujurnya sekuat mungkin berusaha kuhilangkan dari pikiranku beberapa hari ini. Berapa kalipun aku berusaha menolak, tetap tidak bisa memungkiri bahwa darah yang mengalir dari tubuhku adalah juga darahnya.

***

"Kenapa? Makanannya nggak enak ya?"

Suara itu membuyarkan lamunanku, kutarik paksa kedua sudut bibirku sebagai jawaban. Semangkuk sop sehat didepanku terlihat menggugah selera, tapi sayangnya sejak sakit nafsu makanku menurun drastis.

Sepulang dinas tadi aku dikejutkan dengan kedatangan Yudha yang tiba-tiba saja sudah duduk manis menungguku di lobby rumah sakit. Katanya dia ingin mengajakku makan siang sekaligus ada hal penting yang ingin dia katakan. Dan disinilah aku sekarang, di salah satu sudut meja sebuah restoran yang menyediakan khusus makanan sehat. Yudha yang mengusulkan tempat ini, dia bilang aku harus menjaga makanan yang masuk kedalam tubuhku agar tidak lagi tumbang seperti kemarin.

"Emang hal penting apa sih yang mau kamu omongin sampai-sampai muncul dadakan di rumah sakit?" Tanyaku to the point.

Sebenarnya aku agak syok dengan kedatangan Yudha yang tiba-tiba. Pasalnya waktu itu suasana dan kondisi di lobi rumah sakit benar-benar sedang tidak kondusif. Ada pertemuan dokter-dokter obgyn dari seluruh jabodetabek yang kebetulan bertempat di rumah sakit ini. Parahnya lagi, aku bertemu dengan dokter Eza. Dan manusia dengan kadar percaya diri tingkat dewa itu sukses membuatku ingin menenggelamkan diri di samudera pasifik saking malunya.

Yudha tertawa mendengar pertanyaanku, "Habisin dulu makannya."

Aku menghela napas panjang, buru-buru menghabiskan makananku. Dilain sisi aku juga sebenarnya penasaran apa yang akan disampaikan Yudha. Belakangan ini memang sikap Yudha terlihat berbeda. Lelaki itu jadi lebih sering menghubungiku, mengajakku jalan, dan juga menunjukkan sikap ketertarikannya padaku.

Tapi, aku tidak pernah ambil pusing. Yudha adalah teman yang menyenangkan, dia pintar dan baik. Wawasannya luas banget, kalau ngobrol sama dia rasanya aku seperti sedang bersama wikipedia berjalan.

"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" Tanyaku setelah menyuapkan sendok terakhir milikku.

Yudha tampak menghela napas panjang. Raut wajahnya terlihat gusar. "Ehm, sebelumnya saya mau tanya sesuatu hal sama kamu."

"Apa?"

"Rama." Aku menegang seketika saat nama itu disebut. Sejak aku keluar dari rumah sakit, lelaki itu belum menghubungiku sama sekali. Bukannya berharap, hanya saja aku terkadang bingung dengan sikapnya yang ambigu. Terkadang baik dan perhatian, tapi kadang dia juga menjelma menjadi seseorang yang sulit sekali dibaca apa maunya.

"Cha..." Aku tersentak saat jemari Yudha yang dingin kini mendarat di jemariku. Lamunanku tentang dokter Rama lenyap, digantikan dengan perasaan gugup saat kedua manik mata Yudha menatapku lembut. "Apakah ada sesuatu diantara kalian? Maksudku...kamu dan Rama?" Tanyanya ragu-ragu.

Aku cukup terkejut dengan pertanyaan Yudha. Dan ini semua pasti ada kaitannya dengan ucapan dokter Eza tadi siang.

"Dokter yang tadi ketemu dirumah sakit, membicarakan kamu dan Rama. Saya pikir memang ada sesuatu diantara kalian."

Selama beberapa detik aku terdiam. Pikiranku berkecamuk, melayang-layang ke peristiwa yang sering melibatkan aku dengan dokter Rama. Selama ini aku juga sering bertanya-tanya tentang perasaanku pada lelaki itu. Hingga sampai saat ini pun aku sendiri juga tidak tahu apa jawabannya.

"Kenapa?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku. Yudha mendesah panjang. Sebelum akhirnya mengucapkan suatu kalimat yang membuat tubuhku membeku seketika.

"Karena, Saya ingin kamu menjadi kekasih Saya."

***

Dorrr. Yah, dokter Rama keduluan sama Pak Dosen. 😆

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang