Prolog

52 3 0
                                    


Sang Juli Sendu.

Dari 12 kali bulan mengelili bumi dalam satu tahun, putaran ketujuh ini yang paling menyedihkan. Putaran ketujuh ini yang lama sekali lajunya. Seperti melambat, namun seperti hanya aku yang merasakan keterlambatannya. Lihatlah dia di atas sana, mencoba berlama-lama mengelilingi bumi. Semakin lama malah semakin terang, mengambil seluruh kebahagiaanku hanya untuk bersinar.

Bukankah aku hanya meminta satu permintaan bulan? Berputarlah lebih cepat. Biarkan aku melupakan bulan penuh sesak ini. Aku memohon sekali lagi dalam hati.

Pipiku sudah basah lagi. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa para tetua dulu berbohong mengenai air mata yang bisa mengering. Aku sudah membiarkan air mata ini mengambil alih kendalinya sendiri, membiarkan dia, jika ingin keluar maka keluarlah. Aku berharap lautan air mata itu akan tandus juga akhirnya.

Harapan yang sia-sia. Aku tertawa pada diriku sendiri. Di kursi teras belakang rumah ini, aku tertawa miris atas apa yang pernah aku percaya. Aduh bodoh! Bagaimana mungkin aku bisa berpikir bahwa air mata itu bisa mengering.

Perhatianku teralih, melihat rumput taman belakang yang basah oleh embun. Sudah lama aku duduk di sini, dari pukul 9 malam dan sekarang.. emm aku melirik jam tanganku, ahh sudah jam 3 pagi. Padahal saat aku tadi memutuskan melakukan kebiasaanku seminggu ini untuk menghabiskan malam, belum ada embun di rumput-rumput ini. Dia datang tanpa aku sadari. Aku menyeringai mendengar kata bathin ku. Siapa yang sedang aku bicarakan? Tentu saja embun ini. Bukankah?

Aku menarik napas dalam mendengar bisikan hatiku yang paling dalam menjawab pertanyaan itu. Aku memutuskan menarik tubuhku berjalan ke taman, menginjak rerumputan tanpa alas kaki. Embun dan kesejukannya mengirimkan sensasi tak terduga ketubuhku. Perlahan rasa basah itu menyirami keping-keping penutup luka yang beberapa hari ini aku ciptakan di hatiku. Rasa dingin yang mengikutinya perlahan membekukannya. Namun rasa selanjutnya menyerangku tanpa aku bersiap terlebih dahulu. Rerumputan basah mencoba menggelitik hatiku agar tertawa lagi malah tak sengaja menyenggol kepingan-kepingan itu, menjadikan luka itu kembali ternganga. Dan aku tidak bisa membedakan tetes air mata di pipiku dan tetes embun di rerumputan ini.

Aku berlari meringkuk sekali lagi di atas kursi teras. Berhari-hari aku menghabiskan malam di kursi ini. Sejak hari itu, sejak awal bulan ini, malam terasa sangat tidak bersahabat. Dia akan memasuki kamarku dan memasuki hatiku lewat luka yang menganga lalu hanya menambah kekosongan didalamnya. Dan tiap aku mencoba melewati malam-malam itu, melawan tiap serangan yang datang, aku menemukan diriku kalah. Seperti hujan badai datang, siap mengisi lautan air mataku berjuta-juta liter lagi.

Dan disinilah jika kamu mau menemukanku. Di teras rumah sepi karna penghuninya sudah terlelap kecuali aku ini. Aku mencoba menghindari serangan rindu malam itu. Disini? Sama saja, dia masih menemukanku. Setidaknya disini aku tidak punya tempat bersandar yang pas untuk aku menangis. Disini aku tidak punya kenangan yang mengingatkan aku tentang kamu. Di sini aku tidak perlu khawatir membayangkan kau memelukku saat aku aku tidur, karna di sini berbaringpun aku tidak bisa.

***

"Aisyah? Bangun sayang. Sudah pagi." Aku merasa belaian di rambutku. Ahh Bubu. Aku membuka mata dan menemukan Bubu jongkok di depanku menyerngitkan keningnya melihat kantung mataku yang menghitam.

Aku menoleh kearah rerumputan di depanku. Mencoba menarik apa saja untuk mengisi kekosongan hatiku. Embun-embun itu sudah menghilang. Hahah. Kamu datang sebelum aku menyadarinya, membuatku nyaman dan merasakan segar mengisi tiap inchi tenggorokanku, lalu kau, menghilang sebelum aku sempat menyadari kesementaraanmu. Aku tertawa karna aku menemukanmu bahkan di embun rerumputan rumahku. Tawa yang hanya ada dikepalaku, tapi rasanya tubuhku enggan melakukannya, seperti hal itu asing untuk dilakukan.

"Lepaskanlah Aisyah. Relakan apa yang sudah terjadi." Bubu menangkupkan kedua tangannya pada pipiku. Menarik mata dan diriku dari rerumputan. "Kamu mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana Tuhan sudah meciptakan skenario terbaiknya untukmu." Bubu kembali membelai rambutku. "Mungkin sekarang kamu bersedih menanyakan mengapa langit tak membiarkan kamu memiliki dia dalam hidupmu. Suatu hari, jauh setelah kamu melupakan pertanyaan ini, kamu akan menemukan jawaban terbaiknya. Jawaban yang hanya Tuhan persembahkan untuk kamu." Bubu memelukku erat, mengalirkan energi positifnya padaku.

Pagi itu, setelah pagi-pagi lain dia menemukan aku di teras ini dengan sisa air mata di pipiku, Bubu berani mengungkapkan apa yang selama ini ingin dia sampaikan. Pagi itu, Bubu seperti memberi apa yang selama beberapa hari ini aku butuhkan. Pagi itu, aku bertekad melupakan segala kesedihan ini, dan kesedihan adalah nama lain dari kamu.

Kamu.. tidak perlu menemukanku di teras rumah sepi karna penghuninya sudah terlelap kecuali aku ini. Kamu akan menemukan aku di tempat biasa aku berdiri, juga di atas embun rerumputan tanpa takut dia membuka keping-keping penutup luka hatiku. Kamu akan menemukanku dimana aku memiliki hati yang tak terluka lagi..

***

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang