Chapter 3.1

17 1 0
                                    



"Oh" Hanya itu yang keluarkan setelah aku tidak lagi tersedak bakso yang aku makan.

"Are you okay?" Tanya Bulan yang merasa aku tidak baik-baik saja saat dia menyebut nama orang yang ingin sekali aku tendang itu.

Hmmp.. aku mengangguk. "Mungkin dia sedang libur semester" Aku menjawab asal kemungkinan yang terjadi bila seseorang bisa menemukan dia di sini.

Melihat aku yang tidak nyaman dengan pembahasan ini, Bulan dan Rain tidak melanjutkan obrolan tentang kak Alaka. Bulan dan Rain mengalihkan pembicaraan ke acara perkenalan angkatan. Setelah menyelesaikan makan bakso ini kami kembali ke kelas. Tidak ada kejadian spesial yang terjadi setelah hal itu.

***

Sial! Sial! Aku menggerutu setelah bangun dari tidur. Gara-gara Bulan yang membahas tentang kak Alaka kemarin, aku memimpikan kak Alaka tadi malam. Ini benar-benar mimpi buruk yang paling romantis yang pernah aku dapat.

"Hey!" Aku sedikit kanget ketika dia menyapaku yang sedang berada di depan tendaku. Dia melangkah mendekat kepadaku saat melihat aku tidak merespon sapaannya. Melihat dia melangkah aku langsung mundur satu langkah sampai aku menyadari tidak ada yang perlu aku takutkan karena berada di tempat ramai. Iya, aku tidak bisa menjelaskan kenapa aku sedang berada di sebuah perkemahan.

"Katanya mau ketemu kalau aku pulang" dia mengatakan itu lembut, terlalu lembut hingga hanya aku yang bisa mendengar. Dia menarik tanganku dan menggenggamnya, aku yang masih shock bertemu dengan dia di sini, hanya diam dan membiarkan dia menggenggam tanganku seperti dulu.

"Aku lupa aku pernah bilang begitu" jawabku menetralkan perasaan kagetku. Aku masih membiarkan tanganku digenggam olehnya.

"It's okay. Yang penting sekarang kita ketemu" dia mengeratkan genggamannya hingga membuat aku tersadar sepenuhnya dari shock bertemu dia. "Aku sudah persiapkan sesuatu buat kamu. Ayo ikut aku" Dia menarikku ke arah sudut hutan tempat kami kemah ini.

Tiba-tiba kejadian yang sebelumnya sore menjadi malam hari. Aku melihat beberapa pohon di pasang papan sehingga kita bisa duduk atau baring di atasnya, seperti rumah pohon tapi tidak beratap dan berdinding. Beberapa lampu juga menggantung di pohon lain. Lampu itu menggantung seperti ember pada katrol. Dia menarikku ke arah pohon yang berada di sudut. Kak Alaka mengambil salah satu lampu, menariknya ke tempat tujuan kami. Katrol kecil itu berputar-putar mengeluarkan bunyi gesekan, mengulurkan kabel yang melilit sehingga lebih panjang saat di tarik.

Sekali lagi aku tidak tahu bagaimana lampu yang di pegang olehnya tiba-tiba berubah menjadi lilin. Dengan penerangan dari lilin aku bisa melihat beberapa pohon menyangga papan setinggi lututku. Di atas papan itu terbentang karpet. Di atasnya ada beberapa makanan dan lilin-lilin kecil. Romantis sekali. Aku bahkan bisa mengingat bagai mana senangnya aku.

"Sini naik" Tiba-tiba dia yang masih berada di sampingku sudah duduk di atas karpet sedang mengukurkan tangan menyuruhku ikut naik. Aku menerima uluran tangan itu dan ikut naik. Aku tidak ingat bagaimana bisa makanan dan lilin di sana menghilang menyisakan aku dan dia berdua. Bahkan tiba-tiba tempat itu memiliki dinding. Aku berada dalam pelukan kak Alaka sambil menikmati indahnya bintang-bintang di atas sana.

"Aisyah.. Aisyah.." Tiba-tiba suara Bu Sinta terdengar sedang mencari aku yang hilang dari tenda perkemahan. Aku rasa juga ini memang bukan tempat yang di sediakan sekolah. Seketika bulu romaku berdiri. Aduh bagaimana jika aku ketahuan di sini. Bisa-bisa Bu Sinta mengira aku macam-macam dengan dia.

Di tengah kecemasanku aku akhirnya terbangun. Ternyata bukan Bu Sinta yang memanggil namaku, tapi Bubu. Bubu membangunkanku untuk sekolah pagi ini. Sial! Sial! Aku menggerutu. Aku bahkan masih merasakan detak jantungku yang tidak beraturan karena mimpi ini. Bagaimana mungkin ini bisa menjadi mimpi romantis tetapi akan aku golongkan menjadi mimpi burukku. Aku segera mengusir semua ingatan tentang mimpi ini karena harus buru-buru bersiap ke sekolah karena aku sudah terlambat bangun.

***

"Aduhh" Rain teriak melihatku baru datang dari pintu kelas. "Tumben datangnya mepet." Aku yang merasa diledek hanya tersenyum malu menanggapi Rain. Seketika aku ingat penyebab keterlambatan aku pagi ini.

"Gara-gara kamu nih." Aku meletakkan tas di atas meja sambil menoleh ke arah Bulan. Bulan yang merasa dituduh kaget dan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk untuk mengkonfirmasi apakah benar dia yang aku tuduhkan. Aku mengangguk.

"Gara-gara kemarin kamu ngomongin dia, aku jadi kebawa mimpi." Aku mengeluarkan buku Biologi yang akan diajar pada jam pertama. "Gila!" Aku geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya dia hanya muncul dalam mimpi aku aja sudah buat hidup aku berantakan."

Rain dan Bulan yang mendengar ceritaku hanya tertawa mendengar keluhanku tentang mimpi semalam. "Memangnya mimpi gimana?" Bulan yang merasa tertarik bertanya. Aku menoleh kebelakang, memutar kursiku, lalu mencondongkan tubuhku bersiap untuk bercerita. Aku menceritakan secara keseluruhan mimpi yang masih aku ingat.

"Gitu ceritanya.." Aku menoleh ke arah Rain dan Bulan bergantian setelah menceritakan mimpiku semalam. "Aku benar-benar merasa itu mimpi buruk paling romantis seumur hidupku." Astaga. Ini yang ketiga kalinya aku mengatakan itu. Dua kali pada diriku sendiri dan satu kali pada mereka.

"Emang kamu masih cinta ya sama dia?" Deg. Rasanya jantung aku berhenti 2 detik setelah pertanyaan itu dilontarkan oleh Rain.

Aku hanya menggeleng. Aku lihat wajah Rain masih menunggu jawaban yang jujur dari diriku. Aku juga melihat Bulan yang terlihat kaget dengan pertanyaan Rain namun tidak menutupi bahwa dia juga ingin tahu. Selama ini mereka hanya mendengar ceritaku saja tentang siapa kak Alaka, tanpa tahu bagaimana sekarang aku kepadanya. Bulan jelas tahu sekali bagaimana dulu aku yang masih kelas 3 SMP tergila-gila dengan kak Alaka. Mungkin pernah sekali dua terbesit di dirinya ingin menanyakan apakah rasaku pada kak Alaka secepat itu menghilang.

Aku mencoba memikirkannya sekali lagi. Bagaimana? Bagaimana perasaanku padanya?. Aku melihat lagi Bulan dan Rain bergantian. Mereka terlihat masih menunggu. Aku berpikir lagi. Bagaimana? Ayo jawab Aisyah jawab!. Sekali lagi aku menoleh ke Bulan dan Rain. Rain masih menungguku sedangkan Bulan sepertinya sudah putus asa. Untuk apa juga dia memaksakan jika aku tidak ingin menjawab atau membahasnya.

Aku melihat Bulan mencoba membuka mulutnya untuk mencari topik lain untuk dibicarakan. "Sebetulnya tidak." Aku mendengar suaraku sayup terdengar. "Sebetulnya tidak." Ucapku lagi dengan lebih jelas. Yah. Hal seperti ini harus dikatakan dengan yakin. "Kenapa juga aku harus masih mencintai orang yang jelas sekali tidak pernah mencintai aku." Aku menjelaskan dengan lebih yakin. Kedua tanganku terpaut di jari-jarinya, seperti seluruh jari-jariku saling menguatkan. "Tapi kadang.." Aku menggantungkan kata-kataku. Kadang aku merasa berbeda. "Aku masih merasa terganggu dengan keberadaan namanya yang sering melintas tanpa permisi di pikiranku, atau ketika orang menyebutkan namanya, aku benar-benar risih. Juga saat aku berada di tempat yang sangat identik sekali dengan dia. Aku merasa ingin marah setiap itu terjadi." Tanpa aku sadari aku menjelaskan ini sambil menerawang jauh ke sudut belakang kelas.

Rain mengulurkan tangan untuk menggenggam kedua tanganku yang terpaut di atas meja mereka. "Mungkin kamu hanya belum memaafkan dia." Aku menoleh ke arah Rain. "Nanti, setelah kamu bisa memaafkan dia atas semua yang sudah dia lakukan, kamu akan biasa saja menghadapi nama dia yang melintas. Kamu bahkan tidak akan peduli dengan itu." Rain tersenyum kepadaku. Dia mencoba memberi kekuatan.

Aku mengulum senyumku. Rain selalu dewasa dengan apa yang dia berikan kepada kami. Dia selalu mengerti apa yang kami butuhkan saat seperti ini. Seharusnya yang pantas jadi anak Bubu itu Rain. Aku cekikikan di dalam hati memikirkan hal itu.

***

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang