Chapter 5.1

9 1 0
                                    


Abdurrahman Arif Haadi. Entah bagaimana setelah perkenalan di mushola (lagi) itu, aku jadi semakin sering melihat dia di sekolah. Seperti tiga hari yang lalu, aku yang sedang ingin ke toilet yang melewati sanggar seni sedang melihat dia yang sedang bermain gitar di dalam sanggar. Samar-samar aku dengar dia menyanyikan lagu Michael Buble berjudul Home. Lagu itu terdengar berbeda di nyanyikan oleh dia, tapi tetap sama indahnya.

Ada yang lebih parah daripada semakin sering melihat dia. Adalah lebih sering melihatnya tersenyum padaku. Seperti setelah aku kembali dari toilet dan mataku yang dengan tidak terkendali kembali menoleh ke dalam sanggar melihat dia yang juga melihatku sambil tersenyum lebar. Dia tersenyum lebar dengan masih terus memainkan gitarnya sama buruknya dengan cinderella yang melihat pangeran datang ke rumahnya untuk mencoba sepatu kaca.

Gila!

Kemarin, aku hampir saja tersandung melihat dia sedang bermain bola dengan teman-temannya di lapangan sekolah. Dia dengan baju olahraga sekolah yang merupakan seragam paling aku benci itu bahkan terlihat menggemaskan menggunakannya. Keringat yang bercucuran di kepala sampai wajah dan ikut membasahi bajunya itu membuatku ingin berlari dan memberinya tissue detik itu juga. Untung saja Rain dan Bulan cepat menyadarkan aku bahwa kami akan ke parkiran untuk mengambil buku.

Sial-tidak-sialnya sekali lagi mataku dengan tidak bisa dikendalikan menoleh sekali lagi juga ke arahnya dan dia melakukan hal yang sama, membawa sepatu kaca dan memintaku untuk mencobanya. Haahhhh!! Sekali lagi dia datang dengan sepatu kaca itu lalu memintaku untuk mencobanya, maka akan aku lempar sepatu kaca itu ke muka putri salju agar tidak bisa memakan apel pemberian ibu tirinya. Aduhhh. Aku semakin gila. Geramku.

***

Hari ini pada jam istirahat aku mampir ke sanggar. 2 hari ini aku tidak melihat keberadaannya dimanapun. Tidak bertemu dia berarti tidak ada yang datang dengan sepatu kaca dan memintaku mencobanya. Dan seketika aku merasakan betapa bahagianya cinderella waktu itu, dan betapa sedihnya aku sekarang tidak melihatnya lagi. Bahhhh..

Aku mengambil gitar yang kemarin dia gunakan. Berarti ini gitar sekolah. Aku mencoba memetiknya. Terakhir kali aku memainkan gitar beberapa bulan yang lalu. Saat masih dengan kak Alaka. Dia suka sekali bermain gitar, dan karena dia aku bisa memainkan gitar. DAN KENAPA JUGA AKU PERLU MEMIKIRKANNYA.

Aku mengeluarkan handphone dari saku rok, mulai mencari chord gitar lagu Michael Buble berjudul Home yang kemarin dia nyanyikan. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana waktu itu dia bernyanyi. Suaranya bagus, aku suka. Kalau dia sudah mengeluarkan single lagu, mungkin aku akan menjadikan lagunya menjadi lagu favorit dalam hidupku. Kalau single, kalau taken mah aku buang. Hahaha. Seketika aku tertawa sendiri mendengar penyimpangan penyataan yang aku pikirkan.

"Kamu suka lagu ini?"

Aku menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati dia sedang berdiri bersandar di pintu sanggar. Seperti entah sudah berapa lama berdiri di sana. Dengan refleks aku berdiri dan melupakan gitar yang sedang aku pangku, sehingga gitar itu jatuh dan menambah keterkejutanku.

"Maaf.. Aku. Kaget." Dia melangkah maju ketika aku mengambil gitar yang jatuh itu.

"Kamu bisa main gitar?" Dia mengambil kursi dan meletakkannya berhadapan dengan kursiku.

"Sedikit bisa." Dan jawaban ini bukan hanya membuat pangeran membawa sepatu kacanya a.k.a senyum, tapi juga membuat pangeran membawa ribuan sepatu kaca khusus untukku, alias dia tertawa. Dan itu tawa paling renyah dan gemas yang pernah aku lihat.

"Belum pernah mainin lagu ini ya?" Aku menggeleng.

Dari tadi aku jengah berada di sini. Bagaimana tidak. Dia mengajari aku memainkan gitar untuk lagu Home Michael Buble ini. Itu berarti ada sentuhan tangan yang akan dia berikan setiap menunjukan kepadaku kunci lagu ini. Padahal sebenarnya, jika dia hanya mengatakan saja chord-nya, maka aku sudah bisa sendiri mengetahui dimana aku akan meletakkan jariku. Tapi apa daya, aku mau. Aduh. Gila.

And I'm surrounded by
A million people, i
Still feel alone
Let me go home,
I miss you, you know..

Ketika aku sudah mengingat chord lagu ini, dia meminta aku untuk memainkannya dan dia yang bernyanyi. Aku mengiringinya bernyanyi, dan sejauh ini semua berjalan baik. Sampai dia menyanyikan lirik itu sambil menatap tepat di mataku, tanpa berkedip dan menghindar ketika aku menatapnya kembali. Setelah dua hari ini tidak bertemu, sejujurnya memang itulah yang juga sedang aku rasakan. Aku rindu. Hah??. Seketika aku seperti kalah perang. Telak sekali. Aku langsung lupa chord selanjutnya apa, petikan gitarku meleset entah kemana dan aku hanya bisa menunduk. Merutuki kebodohanku.

Untungnya bel berbunyi tepat waktu dan menyelamatkan aku dari rasa malu ini.

"Bel. Emm Aku masuk kelas dulu." Aku meletakkan gitar di tempat semula dan segera keluar dari sanggar. Sekitar 2 meter dari luar sanggar, aku baru ingat sesuatu yang aku lupakan. Aku segera kembali ke dalam sanggar. Dia sedang yang menatap ke arah pintu langsung bertetap muka denganku. "Bye." Iya. Itu yang aku lupakan. Dia tersenyum lebar dan aku segera berbalik menutupi senyumku juga. Ini mirip seperti kejadian waktu aku ke rumah topeng.

***

Setelah hari itu, semua berjalan biasa. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya dan ketika kami saling pandang, dia akan memulai dengan tersenyum dan aku akan membalas senyumnya. Setiap hari. Entah itu bertemu di mushola, atau saat aku lewat sanggar, atau saat dia sedang main bola, atau bahkan saat aku yang entah dengan alasan apa lewat di depan kelas dia.

Pernah suatu hari, aku ingin ke toilet, dengan rela nya memilih toilet yang jauh agar bisa lewat di depan kelas dia. Demi melihat wajahnya, tersenyum, dan aku membalasnya. Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap harinya, dan akan terasa mengganjal jika sehari terlewatkan. Namun saat itu, dia juga tidak ada di kelasnya. Entah mengapa ada perasaan kehilangan hanya karena tidak melihat dia hari ini.

Setelah keluar dari toilet, seseorang menabrakku. Dengan suasana hati seburuk ini, ingin sekali aku meneriaki orang ini karena tidak melihat jalan. Tadinya. Sebelum aku melihat ternyata yang menabrakku itu adalah dia. Dan perasaan itu seperti 180 derajat berubah. Aku malah senang sekali ditabrak oleh dia.

"Aisyah."

"Eh Rahman." Aku suka saat dia mengucapkan namaku.

"Maaf ya. Tadi buru-buru." Aku tersenyum dan mengangguk. "Mau kek kelas?" Aku mengangguk sekali lagi. "Yok bareng." Aku mengangguk lagi. ASTAGAA. Apa aku cuma bisa mengangguk.

Kami berdua berjalan bersama menyusuri lorong sekolah menuju kelas. Tidak ada suara, tidak ada obrolan. Seperti kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tidak tahu dia, tapi aku hanya bisa berusaha keras memikirkan apa yang ingin aku tanyakan agar bisa mengobrol. Tapi tidak satupun aku pilih karena yang terlintas hanya "Kenapa senyum kamu manis banget ya?" atau "Aku suka kita jalan berdua gini" atau "Aku nyaman di dekat kamu." Bahhhh.

Dia mengantar aku menuju kelasku walaupun sebenarnya kami harus melewati kelasnya terlebih dahulu. Padahal sudah ada guru. Dan aku mendapati diriku tersanjung atas perlakuan itu. Ya ampun kenapa baperan banget gini sih.

"Aku ke kelas dulu." Dan untuk kesekian kalinya permirsa. Aku mengangguk.

Aku masih memperhatikan punggung itu mulai menjauh. Dan sekitar 1 meter dari pintu kelasnya, dia berbalik dan membuat aku kelabakan karena ketahuan masih memperhatikan dia. Dia tersenyum dan..

"Bye."

Kami sama-sama tersenyum sambil setengah tertawa.

***

Hanya seperti itu. Aku dan Rahman. Tidak ada hubungan lebih jauh. Hanya tidak sengaja bertemu, bertatap muka, dia mulai dengan senyum super manisnya, dan aku membalas senyum itu.

Setiap hari. Kecualilibur.

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang