WAITING -6

53 3 1
                                    

Devina berjalan melewati koridor sekolah dengan tergesa-gesa tanpa menghiraukan tatapan seluruh siswa yang menatap nya heran.

Ia sudah tak tahan kali ini. Rasanya ia ngin pergi menghilang saja dari dunia ini sekarang. Tapi itu mustahil. Sejujurnya sekuat-kuat nya seorang perempuan, ia hanyalah manusia biasa yang penuh dengan segala kerapuhannya. Begitu juga dengan Devina. Ia rapuh sekarang. Ia merasa bahwa ia tak pantas mendapatkan hati Devian.

Kaki nya melangkah entah kemana. Membawa dirinya pergi dengan segala rasa sesak di dada. Lalu ia melewati kelas 10-B tanpa sengaja ia melihat Devian sedang bertekuk lutut di depan seorang perempuan sambil membawa bunga.

Sesak.

Satu kata yang ia rasakan saat ini. Ia tak bisa menahan air matanya. Cemburu? Tentu. Tapi apa hak nya?. Ia bukan siapa-siapa Devian. Bahkan mungkin, di anggap teman saja tidak.

Lagi-lagi semua orang menatap nya heran. Melihat nya berlari dengan air mata yang memenuhi wajah nya. "Gue benci lo Devian" ucap nya membatin.

Devina melangkahkan kaki nya ke tempat di belakang kelas 12. Pohon beringin. Disana memang sangat lah sepi. Mungkin tak ada yang bisa mendengar teriakan disana.

Devina menangis sesenggukan di sana. Merutuki diri nya yang bodoh yang masih saja mengharapkan Devian.

"Arghhhhhhh!!!!" Teriak Devina sambil terisak

"Gue bodoh!"

"Dia bukan buat gue, kenapa gue masih aja ngarepin dia!!"

"Gue benci dia, gue benci semua orang"

Tangis Devina berhenti beberapa detik, saat ia merasa ada yang memeluk nya dari belakang. Lalu ia kembali menangis.

"Jadi lo benci gue?" Tanya pria itu

"Lo boleh nangis sesuka lo"

"Lo jangan gini dong na"

"Gue ada buat lo, gue siap jadi pendengar lo, lo jangan kayak gini, masih banyak cowok lain diluar sana, kalo lo emang beneran cinta, kejar dia, perjuangin dia, lo lelah? Berhenti. Lo gak pantes diginiin"

"Athayaa" ucap Devina sambil  terisak. Ia berbalik membalas pelukan Athaya

"Lo jangan nangis lagi, lo ga boleh gini, plis, senyum. Gue ga bisa liat lo nangis" ucap Athaya sambil menghapus air mata Devina.

"Karna gue sayang lo" sambung Athaya membatin

Devina mengangkat kepalanya. Memandang wajah Athaya dari bawah. Lalu menarik seulas senyum.

"Makasih, ya" Devina kembali memeluk Devina.

"Sama-sama na"

***
Bel pulang sekolah berdering. Menandakan seluruh penghuni nya harus kembali ke habitatnya.

"Lo pulang sama siapa ya?" Tanya Devina kepada yaya-Athaya. Sekarang Devina memanggilnya dengan sebutan yaya.

"Sama Devian lah"

"Maksud gue naik apa? Mobil lo udah bener?"

"Udah dong, udah di depan, udah dibawa sama montir nya"

"Oohh, yaudah gue pulang dulu ya, lo hati-hati, bye"

"Bye, lo juga hati-hati, jangan nangis dijalan ntar ga fokus bawa mobil"

"Iyaaa"

Lalu Devina berjalan menuju parkiran. Masuk ke mobilnya, dan mengendarainya menuju rumah.

***
Diperjalanan, keheningan menyelimuti mobil Athaya dan Devian. Devian yang biasanya akan ribut membahas hal yang tak penting dengan Athaya, kali ini beda. Athaya hanya menjawab semua perkataan Devian dengan dehaman.

"Lo kenapa sih bang?" Tanya Devian

"Kenapa apanya?"

"Ditanya malah balik nanya"

"Hm"

"Dari tadi ham hem ham hem mulu lo"

"Serah"

"Gue capek diginiin, gue capek dikacangin, gue capek gak dihargain"

Mobil mereka masuk ke pekarangan rumah, sebelum turun, Athaya menjawab perkataan adiknya.

"Berarti lo ngerasain jadi cewek yang udah merjuangin lo dan gak lo hargain"

Setelah mengucap kan kalimat itu, Athaya turun. Dan Devian terdiam di tempat.

"Gue salah apa?" Gumamnya dan cepat-cepat turun sebelum ia dikunci di mobil oleh Athaya.

"Assalamualaikum, Devian pulang"

"Waalaikumsalam" jawab Sandra-mamanya Devian dan Athaya

"Bunda masak apa?" Tanya Devian

"Bunda bikin pasta, udah sana ganti baju, trus makan"

"Iya nda iya"

Devian pergi ke kamarnya di lantai dua. Mengganti baju nya dan kembali turun ke lantai satu. Disana sudah terlihat Athaya duduk di meja makan bersama Sandra.  Ayahnya masih di kantor.

Devian duduk di sebelah Athaya. Sebelum itu, ia menggeplak kepala Athaya dengan buku pelajaran yang ia bawa dari kamar yang memiliki ketebalan mencapai 350 halaman.

"Sakit bego" ujar Athaya

"Bodo"

Setelah itu, dilanjutkan dengan makan siang. Tak ada yang mengeluarkan suara satu pun saat makan. Setelah makan, Athaya langsung pergi ke kamarnya.

"Bun, abang ke kamar dulu"

"Iya"

"Eits, tumben lo langsung ke kamar, biasanya nonton dulu" tanya Devian heran

"Bukan urusan lo!" Setelah itu Athaya pergi meninggalkan Devian.

"Abang kenapa sih bun?" Tanya Devian kepada bundanya

"Gak tau tuh"

"PMS kali ya"

"GUE BUKAN CEWEK KAMPRET!!" teriak Athaya dari lantai dua.

"Hehe"

***

WAITINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang