Saat itu ayahku masih berada di Bali. Aku dan bunda hanya tinggal berdua saja. Rumah yang sebelumnya sudah sepi menjadi lebih sepi.
Tak ada kecupan singkat di dahi dari ayah untukku sebagai pengantar tidur. Meskipun seringkali aku sudah tertidur saat beliau melakuan itu, namun aku tau, hampir setiap hari beliau melakukannnya.
Terkadang aku sering melihatnya, meskipun hanya pengelihatan samar karena mataku terkalahkan oleh rasa kantukku yang berat.
Bunda? Ia juga terkadang melakukannya.
Jujur saja, kedekatanku dengan bunda tak sebegitu dekat dengan ayah.Namun, aku tetap menyayanginya, amat menyayanginya sama seperti aku menyayangi ayah.
***
Hari itu sama seperti hari sebelumnya.
Aku bangun, beranjak dari tidur untuk ke kamar mandi membersihkan diriku. Lalu bersiap untuk pergi ke sekolah.Sebelum itu, aku sempatkan untuk sarapan terlebih dahulu. Ya, sekali lagi aku hanya sarapan seorang diri, namun yang berbeda tak ada sticky note penyemangat dari bunda, aku terheran.
Walaupun terlalu sering untukku mendapatkan kata penyemangat yang sama di setiap harinya, tak biasanya bunda melupakan itu.
Tak kuhiraukan lagi.
Aku segera beranjak dari meja makan dan bergegas untuk pergi kesekolah.***
Aku pulang dari sekolah dengan lelah. Tak biasanya, kulihat bunda sudah berada di ruang keluarga dengan raut muka yang tak bisa ku baca.
Ada apa dengan bunda? Tanyaku dalam hati. Segera aku menuju ke tempat dia berada.
Aku yang bingung pun mulai bertanya. Pertama kali, tak ada jawaban. Kedua kali, masih sama. Hanya hening yang kudapatkan. Aku mulai cemas dan takut.
Dan ketiga kalinya aku bertanya, aku mendapatkan jawaban, namun bukan jawaban yang ingin aku dengar.
Ia berteriak di depanku. Memandangku dengan tatapan tajam. Ia marah kepadaku.
Aku takut, mataku mulai berkaca-kaca.
Tak ada tatapan menyesal dari sorot matanya. Hanya ada tatapan tajam yang ia berikan padaku, sebuah tatapan risih akan keberadaanku.
Aku menangis, menangis dengan keras. Sebelum pada akhirnya, ia menyuruhku untuk pergi dari tempatnya.
***
Aku yang sebelumnya mengurung diri di kamarpun beranjak turun karena mendengar suara ayah di bawah.
Aku yang sangat senang akan kepulangannya pun langsung menghampiri dan memeluknya dengan erat. Ia membalas pelukanku. Nyaman, aku merasa sangat nyaman dan menenangkan.
Aku begitu rindu dengannya, ayahku.
Belum sempat aku meminta oleh-oleh dari ayah, bunda datang dengan mimik muka marah seperti yang sebelumnya.
Aku pun takut, aku mulai meringkuk di belakang ayah. Bunda tak menghiraukanku. Aku bergetar, aku ingin menangis, lagi.
Aku ingin sekali bertanya pada ayah, mengapa bunda marah? Apa yang salah? Apa aku melakukan kesalahan? Aku bingung dibuatnya. Aku tak mengenal bunda saat itu.
Ayah yang mungkin juga bingung bertanya pada bunda. Namun, tak kusangka bunda malah menampar pipi kiri ayah. Aku terkejut. Bukan, aku sangat terkejut saat itu.
Kulihat mata bunda menyorotkan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang tak ku mengerti mengapa.
Begitupun dengan ayah, yang sebelumnya, matanya menyorotkan kehangatan berubah menjadi tatapan dingin menusuk dengan gigi yang mengerat bergemeletuk.
Aku masih mendengarnya dengan jelas, ayah bertanya kepada bunda, mengapa bunda menampar ayah.
Bunda menjawab dengan suara serak tertahankan, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Mengapa kamu selingkuh di belakang ku? Dan siapa wanita ini? Kamu berani menghianatiku, mas?" Seraya melemparkan beberapa lembar foto.
Dapat ku lihat, ayah memeluk perempuan lain di foto itu. Aku tak mengerti, apa yang dimaksud dengan selingkuh? dan siapa wanita itu?.
Aku terlalu kecil saat itu. Aku hanya menatap mereka dengan raut bingung dan takut. Ku alihkan pandanganku dari bunda, mulai menatap ayah. Kaget. Aku bisa merasakan ayah kaget dengan pertanyaan bunda dan menatap foto itu dengan raut yang tak bisa kubaca.
Ayah hanya diam. Aku tak tau mengapa. Bertepatan dengan itu, bunda mulai menjerit dengan keras.
Aku yang sudah takutpun mulai menangis dan berlari kepojok ruangan. Ayah yang sebelumnya hanya berdiam juga mulai berbicara menenangkan bunda.
Bunda terus berteriak, ayah yang tersulut emosinyapun saat itu juga ikut berteriak dengan keras. Rumah yang sebelumnya tentram pun berubah mencekam.
Pertengkaran mereka terus berlanjut, berujung dengan perabotan rumah yang saling dilempar untuk meluapkan emosi masing-masing.
Bunda dan ayah terlihat kacau, teramat sangat kacau seperti keadaan rumah saat itu. Aku? Aku hanya bisa meringkuk sendirian di pojok ruangan.
Ayah dan bunda seperti tidak mengingat akan keberadaanku. Mereka melupakanku.
Ayah, bunda, tidak taukah kalian? Saat itu, putri kecil kesayangan bunda dan ayah menangis meringkuk takut menyaksikan pertengkaran kalian berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hati Anak Broken Home | ✔
Ngẫu nhiênIni aku, si anak Broken Home, yang terlahir di keluarga yang utuh, namun tumbuh bersama kehancuran.