VIII. Titik Ujung

6.7K 313 16
                                    

Aku semakin merasa asing dengan seiringnya waktu yang terus berjalan. Aku tak mengenali sifat mereka lagi sejak saat itu.

Aku terlalu kecil untuk mengartikan semuanya, atau memahami tentang keadaan yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku bisa merasakan. Merasakan sebuah kebohongan besar telah terjadi pada waktu itu.

Seperti topeng, yang mampu menutupi apa yang ada di dalamnya. Dan seperti itulah yang terjadi pada mereka. Menutupi segalanya yang terjadi di dalam rumah dari keadaan luar, yang tidak baik-baik saja menjadi baik-baik saja.

Terekam jelas olehku, bagaimana cara mereka saling meneriakki masing-masing, atau bagaimana cara mereka saling menyakiti, semua masih nampak begitu jelas, sampai saat ini.

Lalu, mengapa mereka menutupi semua itu dengan kebohongan? Bagaimana mungkin mereka dapat berbohong kepada semua orang, jika mereka baik-baik saja? Dan dengan bodohnya, semua orang percaya dengan senyum kebohongan orang tuaku. Senyum pemanipulasi keadaan.

Jika boleh, kalian bisa melihat, senyum ayah dan bunda tidak sampai pada sorot matanya. Yang hanya ada sorot lelah dan kemuakan tentang apa yang sebenarnya terjadi.

***

Seiring dengan berjalannya waktu, sesering itulah ayah dan bunda bertengkar. Namun saat itu.. pertengkaran mereka begitu hebat.

Aku yang saat itu berada didalam kamar begitu kaget setelah mendengar pecahan benda kaca yang begitu keras. Lantas, aku segera keluar dari kamar dan menuju ke sumber suara.

Ku lihat, ayah dan bunda saling meneriaki, lagi. Ayah menampar bunda dengan begitu keras, membuat bunda jatuh tersungkur, ayah terlihat begitu kalap saat itu. Matanya memancarkan emosi yang begitu besar, tak lupa rahang yang juga mengeras.

Aku menangis, menangis dengan keras. Maafkan aku bunda, aku tak berani menolongmu, jeritku dalam hatiku. Maafkan aku yang hanya bisa menjadi penonton setia kalian.

Ya, aku terlalu pengecut saat itu sehingga tak berani menolong bundaku yang disakiti oleh ayahku.

Bunda tidak menyerah, ia bangkit dan mulai membalas dengan pukulan-pukulan lemahnya sembari menyumpah serapahi ayah yang saat itu kembali tersulut emosinya.

Dan saat itu juga, ayah kembali menampar bunda dengan amat keras, menyebabkan sudut bibir bunda berdarah karenanya. Bunda tidak tinggal diam, ia mengambil benda apapun untuk dilempar kearah ayah.

Aku begitu takut saat itu, takut bila bunda menyakiti ayah dan ayah semakin menyakiti bunda.

Ayah yang tidak terima pun, kembali memukuli bunda dan bunda hanya bisa menjerit kesakitan.


Lari dan bersembunyi dibelakang tembok sembari menutup kedua telinga, hanya itu yang bisa ku lakukan.

Aku takut sekaligus benci melihat pertengkaran mereka berdua. Pertengkaran yang selalu membuat mereka lupa akan keberadaan ku di rumah itu, tanpa tahu bagaimana hancurnya perasaan seorang anak ketika melihat kedua orang tuanya saling menyakiti satu sama lain.


Aku benci dengan teriakan mereka. Aku benci dengan suara benda jatuh yang sengaja dilayangkan. Aku benci dengan kekacauan itu. Aku sangat benci dengan pertengkaran mereka.

Sebut saja aku durhaka bila aku menginginkan semuanya berakhir. Kematian, aku pernah berdoa kepada tuhan, agar aku cepat kembali kepadanya, berada di sisinya.


Surga. Aku sering mendengar, di surga kita akan terus merasa senang, tanpa merasakan kesedihan, juga surga adalah tempat yang begitu indah dan menyenangkan, serta apapun yang kita inginkan akan di kabulkan.

Dan disaat itu juga, aku berdoa kepada tuhan, mengucapkan pengharapan-ku, tentang tuhan agar membawaku cepat kembali padanya.

Dengan begitu, saat aku sudah disana, aku bisa berharap agar tuhan mengabulkan semuanya, tentang kembalinya ayah dan bunda saling menyayangi, bukan saling menyakiti. Atau tentang ayah dan bunda agar kembali menyayangi dan memperhatikanku. Bukannya acuh tak menganggap kehadiranku.

Catatan Hati Anak Broken Home | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang