Sudah hampir 5 bulan berlalu, namun ayah dan bunda tetap berada di pendirian mereka masing-masing.
Semuanya bertambah kacau. Mereka menjadi lebih sering bertengkar, baik pertengkaran kecil maupun besar.
Aku mengetahuinya, teriakan mereka begitu keras dan memekakkan telinga, bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?
Ketakutan. Itu yang selalu terjadi ketika aku melihat dan mendengar mereka ketika bertengkar. Menangis meringkuk memeluk tubuhku sendiri, hanya itu yang bisa kulakukan.
Jika bukan aku yang peduli pada diriku sendiri, lalu siapa yang akan peduli padaku?
***
Akhir-akhir itu, ayah dan bunda hampir bertengkar setiap harinya. Mereka saling berteriak satu sama lain, tak segan-segan ayahpun sering menampar bunda. Tak lupa, perabotan rumah sering dilayangkan.
Semua begitu kacau saat itu. Mereka bertengkar hebat. Bahkan, bibi yang saat itu belum pulangpun tak berani melerai mereka. Bibi hanya memelukku dengan erat, menutupi telingaku, menyembunyikan pandanganku.
Aku yang sudah tak tahan saat itupun melepaskan diriku dari pelukan bibi. Berlari menuju ayah, berusaha menariknya agar tak menyakiti bunda. Aku tak mau bundaku di sakiti oleh siapapun, termasuk ayahku sendiri.
Namun aku tetaplah seorang anak kecil, tubuhku tersentak, kepalaku terbentur benda tumpul, dengan samar aku melihat luka-luka kecil yang berdarah akibat serpihan kaca. Lalu, semua menggelap.
Dengan begitu, aku bersyukur karena tidak perlu melihat pertengkaran mereka lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hati Anak Broken Home | ✔
RandomIni aku, si anak Broken Home, yang terlahir di keluarga yang utuh, namun tumbuh bersama kehancuran.