Aku pernah menulis sebuah skenario indah tentang keluargaku. Tentang dimana ayah yang kembali menyayangi bunda dan bunda yang kembali menyayangi ayah. Namun, skenario yang sudah kubuat nyatanya berlainan dengan takdir yang datang.
***
Saat itu, sudah hampir 2 minggu aku tidak pernah mendengar pertengkaran mereka lagi. Ini karena ayah yang mengatakan jika ia mendapatkan tugas di luar kota. Sedangkan bunda, ia tetap tinggal di rumah, namun sibuk dengan segala urusan di butiknya.
Jujur saja, aku sedikit lebih tenang saat itu. Tak ada lagi teriakan-teriakan memekakkan telinga, tak ada lagi suara benda pecah, dan tak ada lagi jeritan tangis bunda atau cacian dari ayah.
Setidaknya, aku lebih tenang.
Namun, kehampaan itu masih ada. Tak ada lagi mereka yang memperhatikanku. Bukankah seharusnya mereka memenuhi kebutuhan materil dan non materilku?
Tak apa, aku sungguh telah sangat terbiasa yah, bun. Dengan tak ada pertengkaran kalian saja sudah membuatku merasa lebih baik saat itu, meskipun saat itu sesungguhnya aku juga mengharapkan yang lebih.
Sering aku bertanya-tanya. Begitu sibuk kah kalian hingga harus meninggalkan ku sendirian? Begitu sibuk kah kalian hingga harus bibi yang merawatku ketika aku sakit? Apa sebegitu sibuknya kalian hingga tak ada lagi waktu untuk merawatku?
Namun sekali lagi, aku tak apa.
***
Hampir 3 minggu sudah ayah pergi ke luar kota. Tepat di hari sabtu malam minggu, ayah pulang, dengan bibi seumuran mama dan tak lupa perutnya yang buncit.
Bibi itu bergelayut manja di lengan ayah. Aku tidak menyukainya. Ku putuskan untuk menghampiri mereka.
Aku bertanya pada ayah 'Siapa bibi itu, yah?' namun ayah hanya diam. Aku memperhatikan bibi itu dengan tatapan risih, ingin sekali aku menarik dia dari ayah. Namun, aku terlalu takut pada ayah.
Hingga, suara pintu yang buka membuat ku mentorehkan kepala. Ku lihat bunda dengan wajah lelah memasuki rumah. Kaget. Bunda begitu kaget saat melihat ayah dengan bibi itu.
Mata bunda menyiratkan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan, namun saat itu bunda begitu kuat di waktu bersamaan.
Ia menarikku dalam dekapannya, tidak membiarkan aku melihat ke arah ayah dan bibi itu. Bunda juga menutup kedua telingaku dengan tangannya.
Suara bunda begitu tegas saat itu, sehingga aku masih mampu untuk mendengarnya.
Mereka berbicara tentang suatu hal yang tak kumengerti. Namun aku masih mengingatnya dengan begitu jelas. Ketika ayah mengatakan kata 'Cerai' kepada bunda.
Tubuh bunda begitu tegang ketika kata itu di ucapkan oleh ayah. Bundapun masih tetap diam, terdiam kaku.
Hingga ayah dan bibi itu melenggang pergi keluar rumah. Tanpa ucapan selamat tinggal untukku. Aku mulai berpikir jika 'Ayah ternyata bisa sejahat itu sampai melupakanku dengan bunda'.
Dan pikiranku terbuyarkan ketika mendengar isakkan kecil dari bunda, ku dongakkan kepalaku dan untuk pertama kalinya, kulihat bunda menangis.
Saat ku lihat bunda menangis, dada ku begitu sesak, aku ikut sakit karenanya. Bukan sakit karena luka fisik, namun luka batin.
Kami terus menangis, menangis dalam diam. Tak ada lagi isakan, hanya sebuah keheningan yang tercipta. Kami berdua larut dalam sebuah kesedihan dengan saling berpelukan, seolah takut bila salah satu dari kami akan menghilang nantinya.
Dan dengan kehancuran ini. Aku menemukan fakta baru, ketika bunda mengatakan jika saat itu hanya tersisa kami berdua, tak ada lagi ayah yang satu rumah dengan kita.
Karena bunda berkata, jika ayah akan tinggal bersama dengan bibi yang tadi di samping ayah.
***
Bukankah dengan begitu, tak ada lagi mereka yang saling menyakiti? tak ada lagi mereka yang akan meneriaki satu sama lain? tak ada lagi aku yang ketakutan akan pertengkaran mereka? dan tak ada lagi mereka yang berpura-pura seolah mereka baik-baik saja?
Tuhan, lalu bagaimana denganku? apa ayah akan melupakanku? apa aku akan tidak mempunyai ayah?
Tuhan, apakah aku melupakan permohonanku agar 'keluargaku kembali seperti yang dulu, kembali menjadi keluarga yang harmonis'? apa aku benar melupakannya?
Tak apa Tuhan, aku tetap berterimakasih padaMu. Karena-Mu ayah dan bunda sudah tak saling menyakiti lagi.
Biarkan kehancuran ini membawa ketenangan untuk kami. Untuk ku, untuk bunda, dan untuk ayah.
The End
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hati Anak Broken Home | ✔
RandomIni aku, si anak Broken Home, yang terlahir di keluarga yang utuh, namun tumbuh bersama kehancuran.