Chapter 9: Small Talk

8.1K 690 104
                                    

Malam pukul dua dini hari. 

Belok kanan, lurus sepanjang jalan, melewati bangunan-bangunan yang sudah mematikan lampunya dan gedung yang membisu.

Forth memacu mobilnya kencang, disebelahnya terdapat Beam tengah terlelap menyandar pada kaca—sesekali kepalanya terantuk, membuat Forth pada akhirnya menurunkan kecepatan.

Hari ini seperti yang sudah direncakan sepekan lalu mereka akan pergi menuju Chiang Rai, malam keakraban mahasiswa tehnik akan berlangsung esok hari, dan untuk menghindari kemacetan maka mereka memutuskan untuk pergi kelewat subuh.

Sepasang kelerengnya bergulir. Dalam diam Forth menatap Beam yang tertidur dalam posisi terlihat tidak nyaman. Bokongnya menempel di kursi sementara kepalanya terkantuk-kantuk. Poninya terurai menutupi kening—tadi sebelum pergi Beam mengeluhkan kalau dirinya meriang.

Yang sialnya dijawab Forth dengan cengiran khas yang terpantri disana, "Beam meriang? merindukan kasih sayang?" Satu jitakan mantap diberikan untuknya.

Ada satu kebiasaan yang mulai Forth sadari akhir-akhir ini; mengamati wajah orang-orang ketika tidur.

Well, Forth memang suka mengamati wajah orang-orang ketika tidur, itu dilakukan semata-mata karena penasaran. Seperti contohnya Lam, posisi tidurnya selalu sukses membuat Forth tergelak. Menjadi mahasiswa tehnik dan hazer pasti sangat melelahkan, hingga ia bisa tidur dengan posisi di mana saja dan kapan saja—ia bahkan pernah ketiduran ketika makan malam. Atau juga merenggut seperti bayi dengan wajah tersembunyi di balik guling. Ketika Forth memotretnya diam-diam dan menunjukkannya pada Lam yang sedang terjaga ia langsung dihadiahi timpukan.

Dan diantara wajah tidur semua orang yang pernah ia lihat, wajah tidur Beam Baramee adalah wajah terdamai yang pernah Forth lihat. Pemuda itu tidur dengan tenang, kelopak mata menutup dan bibir mengatup. Rambut hitamnya mencuat ke sana-sini, meskipun itu tidak mengurangi ketampanannya—justru sebaliknya, wajah Beam menjadi sejuta kali lebih seksi. Forth tertawa tanpa suara.

"Saat terjaga atau tidak pun, Beam tetap tampan, na." Pemuda itu membenarkan posisi kepala Beam. Forth menangkup wajahnya dengan sebelah tangan, sebelah tangannya masih memegang kemudi, ia tersenyum damai. Deru napas Beam terdengar sangat jelas—dan sangat lembut. Seandainya para wanita yang dahulu pernah berkencan dengan Beam ada di sini, mereka pasti sudah memerah melihatnya yang begitu menggoda.

"Forth senang sekali," gumamnya pelan. Kini tangannya mengelus pipi sang dokter, "Berada satu mobil serasa berada satu atap jika seperti ini."

—sebenarnya teman-teman satu panjinya selalu bertanya-tanya, "Apa yang membuatmu jatuh cinta pada Dokter Beam?"

Pertanyaan itu membuatnya menyadari sesuatu, entah itu kenalan atau pun temannya selalu mengatakan kalau Forth terkadang bebal, sulit diatur, hiperaktif, dan galak. Terlepas dari semua prestasinya—tidak, Forth tidak sedang berusaha menyombong, dia hanya mencoba membandingkan. Mereka berkata kalau ia menyukai sebuah tantangan. Pemuda itu menyukai sesuatu yang sulit digapai.

Literally Beam right?

—semakin ku kejar semakin kau jauh.

Berkat Beam, Forth sadar bahwa dunia tidak berputar dengan dirinya sendiri sebagai poros. Pernah dirinya begitu keras hati. Jujur, eksistensi Beam membuatnya terjun bebas dan memaksanya tertatih. Sekarang ia belajar untuk mendekatkan diri dengan sang bumi. Percuma ia melambung terlalu tinggi jika sakitnya terjatuh tak mampu ia antisipasi.

Forth mengakui kalau ia itu sedikit bebal, sedikit susah diatur, sedikit hiperaktif, dan sedikit galak—Hei! ia bukan galak ia hanya tegas! oke, galak, tapi kan itu hanya saat ia menjadi head hazer saja.

After That NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang