3; we do fun in Dufan

82 9 8
                                    


"Adam dam dam dam dam" Amel berteriak berulang-ulang saat Adam sedang bermain gitar di sofa ruang tengah. Saat ini mereka sedang berada di rumah Amel, menunggu Bang Rangga pulang. Setelah masa PMS nya lepas Amel seperti biasa, receh tak tertahankan. Sedari tadi ia terus tertawa terbahak-bahak. Adam memandang Amel dengan muka flat, dalam hatinya ia ber-istighfar. Amel saat sedang PMS atau saat hari-hari biasa jauh lebih mengerikan saat hari-hari biasa. Tertawa tanpa henti. Dasar sinting.

"Eh masa yak Dam, tadi kan gua ada mapel or. Terus suruh lari tuh. BENTARR. Gua ngakak dulu" Baru beberapa kata, sudah tertawa lagi. Adam lelah. "Tawa lo teros, ampe mampus. Kesel gua Mel. Mau mati aja rasanya" Adam salah ucap, hal tersebut malah membuat Amel tertawa jauh lebih keras lagi.

"Oke oke Dam. Udah selesai ketawa gua. Terus kan suruh keliling komplek sekolah kan. Nah si Abida tuh mau beli minum tuh di sebrang jalan. Terus gua sm Karen nunggu dia tuh. Udah beli tuh dia udah mau kearah kita-kita lagi tuh. Eh pas lagi jalan ada anjing lepas. Demi Allah Dam gua ngakak. Trs kan dia kan pendek gitu Dam, terus dia gabisa nyeberang jalan kan emang. Sumpah Dam mukanya panik parah Dam. Ngakak setengah mampus gua Dam ya Allah. Terus begonya lagi dia bukannya nyeberang malah lurus lari sambil teriak-teriak. Terus dia manjat tiang listrik tau gak" Amel menceritakan sambil terbahak-bahak. Menceritakan penderitaan orang lain merupakan sikap tidak terpuji.

"Terus akhirnya Abidanya gimana?" Adam mulai tertarik dengan cerita tidak jelasnya Amel. Dia tertawa.

"Akhirnya ada nenek-nenek gitu ngusir anjingnya. Terus dia di sebrangin jalan. Gatau malu emang si Bida, orang mah nyebrangin nenek-nenek ini dia yang di sebrangin nenek-nenek. Kalo lo liat langsung gimana kejadiannya lo bakal ngakak Dam."

Adam tersenyum menanggapinya. Amel memang selalu tertawa, ia murah senyum. Tetapi beberapa anak laki-laki di sekolah beranggapan Amel judes. Bertepuk sebelah tangan.

"Dam, kan kita sekarang masih canda-canda gajelas gini kan Dam. Terus kalo tiba-tiba kita berubah gimana. Salah satu dari kita bikin kita berubah, misalkan ada kejadian yang merubah sesuatu atau waktu yang tak rela. Idih gila lo Mel bahasa lo"

"Tua amatsi cil" Adam tertawa sambil mengacak-acak rambut Amel. Ia tidak ingin membahas topik yang Amel bawa-bawa, karena baginya Amel penting jadi ia tidak mau memikirkan hal seperti itu. Omongan doa bukan? Jika terus dibahas sama saja terus mendoakan. Tapi alasan kuat apa yang membuatnya beranggapan bahwa Amel penting? Kenapa dia benar-benar tidak ingin jauh dari Amel. Dia tidak seperti ini kepada teman lainnya. Ah, hanya Amel teman perempuannya. Maka dari itu dia tidak ingin jauh dari Amel. Lagipula dia hanya menganggap Amel sebagai adiknya, ingin selalu menjaganya. Untuk saat ini Adam hanya ingin menganggap adik, tapi kedepannya dia tidak ingin menyebut Amel sebagai adik lagi.

Setelah Rangga, abang Amel pulang, Adam pamit untuk pulang. Saat itu Amel sudah tertidur di kamarnya setelah Adam pindahkan dari sofa ke kasur kamarnya, ia ketiduran.

Adam pulang dari rumah Amel sekitaran pukul sebelas malam, hampir tengah malam. Ia tidak fokus mengemudi, ia memikirkan pertanyaan Amel tadi. Bagaimana jika ia harus jauh dari Amel? Mengapa ia terus memikirkan pertanyaan konyol dari Amel? Apa dia memiliki rasa lebih? Pemikiran konyolnya membuat ia menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ia menyukai Amel. Amel hanya teman yang dia anggap sebagai adik. Hanya adik.

"Adek dari mana aja? Kok baru pulang?" Baru saja Adam membuka pintu rumah, Bundanya sudah bertanya. Bundanya menunggunya pulang, hingga selarut itu.

"Dari rumah Amel Bun, Ayah sama Bundanya keluar kota. Abangnya pulang kuliah malem, aku gatega ninggalin dia sendirian dirumah. Kalo ada apa-apa gimana? Kasian kan Bun, apalagi Amel anak perempuan, masih manja juga."

TRIPLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang