•04• ARES OHH ARES

16 8 0
                                    

"Dia akan pulang akhir pekan. Dia bilang, uangnya habis dan lebih baik kalau dia yang datang ke sini. Aku tidak habis pikir dengan anak itu. Apa keputusanku mengindekoskannya itu salah?"

"Dia akan baik-baik saja. Dia hanya belum tahu papanya kembali."

"Dia memang belum tahu. Bagaimana dia bisa tahu kalau selama ini papanya pergi tanpa kabar dan pulang tanpa memberitahu."

"Sudah kubilang, aku kehilangan jejak dan memulai semuanya dari nol. Untuk kalian semua."

Menjemukan. Mereka selalu saja bertengkar, padahal ini baru beberapa hari setelah papa pulang. Seperti yang dia bilang di atas, papa menghilang saat menumpangi pesawat tempur, saat terjadi perang, entah di mana. Yah, kalian bisa menebak siapa itu papaku.

Pesawatnya jatuh di padang pasir. Sebelum menyentuh daratan dan meledak, papa terlempar dari pesawat. Seluruh awaknya mati terbakar-kecuali papa dan salah satu rekannya. Bertahun-tahun tidak memberi kabar. Papa bahkan sudah mahir bahasa Mesir. Dia membuat suatu usaha-walaupun papaku tidak pernah berkuliah bisnis-tapi usahanya cukup maju, sehingga dia bisa membeli tiket untuk pulang ke tanah air, dan menemui keluarganya.

"Kau meninggalkan mereka saat tumbuh. Anakmu menjadi tidak karuan dan kau bilang masih tidak apa-apa?"

Kedua kali, kubilang ini menjemukan.

Topik yang mereka bahas tidak jauh-jauh dari keluarga kami. Ralat, tapi dia memang anggota keluarga kami. Maksudku, dia kakakku. Namanya Ares.

Sesuai namanya, Ares tidak pernah berhenti untuk berperang. Perang dalam hal ini adalah tawuran dan semacamnya. Hidup diantara dua perempuan membuatnya senang berkelahi, berkelahi dengan temannya maksudku. Apa tidak sekalian saja namanya diganti menjadi Hades, Luficer, Voldemort, atau Sauron. Mereka jauh lebih mengerikan dibanding Ares dan nama itu tepat ditujukan untuk kakakku.

"Ares akan pulang, dan kau, cobalah untuk diam. Aku jadi tidak perlu repot-repot pergi ke dokter telinga setelah mendengar ocehanmu."

Sebenarnya yang diucapkan papa itu ada benar dan tidaknya. Benarnya, pama dari tadi terus menyalahkan papa dan mengatakan bahwa kedatangan Ares patut diantisipasi. Tidak benarnya, pama itu marah dan mengajaknya berdebat, bukannya mengoceh. Mama cenderung memiliki suara berat, tidak seperti mama-mama diluar sana yang bersuara cempreng-yang lebih pantas disebut perusak gendang telinga dibanding suara manusia.

Lupakan tentang suara mama. Kedatangan Ares malah membuatku berpikir.

🕛🕛🕛

Sabtu siang, sepulang sekolah. Aku melihat Ares menyandarkan tubuhnya ke pagar. Cuaca amat terik hingga aku menyimpulkan dia bisa kepanasan dan gosong jika terus-terusan di situ. Mengetahui aku datang, Ares menegakkan tubuhnya dan menghampiriku, lalu menjulurkan tangannya. Aku mengernyit? Apa yang dia minta padaku? Uang? Minta saja sana pada mama atau papa. Eh, Ares belum tahu papa pulang.

"Apa?" tanyaku sedikit ketus. Ingat, hanya sedikit.

Ares berdecak, "kuncinya mana?" kalau dalam keluarga kami semua menggunakan bahasa formal, hanya Ares yang tidak.

"Aku yang akan membukanya." jawabku. Ares berdecih, tapi nampaknya dia setuju-setuju saja. Aku membuka pagar rumah, lalu membuka pintu rumah menggunakan kunci. Ares hanya mengikutiku di belakang dan sesekali menngatakan, "lama amat lo!" atau, "lemot banget sih lo!"

Pertama kali yang kami lihat setelah membuka pintu adalah,

Papa yang berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Kemudian hal kedua yang kulihat adalah Ares yang tampak terperangah. Terkejut, sedih, marah, rindu, dan bahagia, yah, kalau prediksiku tidak salah sih.

"Apa kau tidak ingin memeluk papamu?"

Walau awalnya gengsi, tapi akhirnya Ares memeluk papa. Aku menganggapnya wajar-wajar saja. Yang aneh adalah, kenapa pintu dikunci kalau papa ada di dalam rumah? Apa mama se-protektif itu?

🕛🕛🕛

"Biar kutebak, kalian tidak akur satu sama lain kan?"

Aku hanya mengangguk ketika Waktu bertanya. Mengenai hubunganku dengan Ares sebagai saudara kandung.

"Oke, memang bukan hal yang baik, tapi apa yang bisa kulakukan? Hanya saja, buat dirimu sebaik mungkin. Waktu tidak selamanya berbuat baik padamu. Jadi, pikirkan imbal baliknya."

Aku mengangguk lagi. Mengungkit tentang saudara, aku jadi makin merasa bersalah.

🕛🕛🕛

Liburan akan menyenangkan jika dihabiskan dengan tidur seharian-dan tentunya tanpa teriakan-teriakan seperti sekarang. Oh, kapan sih aku bisa merasa tenang?

Brakk!

Ares membanting pintu kamarku. Aku terkejut setengah mati.

Rasa terkejutku berubah menjadi rasa takut kala melihat wajah Ares merah padam. Napasnya memburu. Dia mendekatiku secara perlahan seperti predator yang hendak menangkap mangsanya. Tunggu, dimana Waktu?

"Kenapa harus elo sih?"

Aku? Memangnya ada yang salah denganku?

"Cuma karena gue sedikit lebih nakal dari lo, kalian buang gue gitu aja? Apa itu takdir? Namain gue Ares supaya gue bandel dan diasingkan? Sedangkan lo mendapat semua kata dalam nama lo? Ini nggak adil! Kalau waktu berputar, gue harap, gue nggak punya adik-"

"HEI!"

Bugh!

Entah benar entah tidak, tapi Ares menoleh ketika Waktu berteriak sebelum menggebok wajah Ares.

Itu,

Itu tadi,

Sungguh di luar dugaan.

🕛🕛🕛

"Gue nggak nyangka. Elo nyelundupin manusia di kamar lo."

Maksudnya, Waktu?

"Manusia? Siapa maksudmu?"

Ares menyeringai singkat lalu menunjuk Waktu di sudut ruangan.

"Cakep juga ternyata."

Aku mendengus. Dasar Ares, dia tidak pernah berubah.

Waktu tidak tersenyum, atau merona, atau apalah itu-dia hanya mencibir Ares dengan kelakuan ganjennya.

"Apa kau bisa menyimpan ini?" tanyaku.

Ares celingak-celinguk melihat tanganku. Dia pikir aku mau memberinya apa? Aku cuma ingin dia menyimpan rahasia ini, bukannya menyimpan salah satu barangku-aku sangat tidak sudi untuk itu.

"Maksudku, apa kau bisa menyimpan rahasia ini? Tentang dia? Aku akan menuruti permintaanmu, apapun." kataku sembari menunjuk Waktu yang-masih saja-berada di sudut kamar.

Dari wajahnya, Ares tampak menimang-nimang. Mungkin kalau aku jadi dia, aku langsung menyetujuinya-kecuali kalau dia ingin berbuat licik padaku.

"Oke, deal. Dan jaminannya, semuuuaa permintaan gue, lo turutin."

Ohh ya ampun. Sepertinya keputusanku ini salah.

🕛🕛🕛

Cerita ini gue buat.





























Udah, itu aja.

The Magic Of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang