Part 1: Tangan kecil

11 3 0
                                    

"Kau bercanda?!" teriak seseorang murka didepan sana. Jenderal besar itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan tuannya.

"Itu memang benar Yang Mulia, Pangeran keluar disaat bulan purnama." serunya mengulang perkataan yang sempat ia serukan, rahang Raja mengetat menahan emosi yang menggelegak minta dikeluarkan.

"Dia melakukannya lagi, sudah yang keberapa kalinya ini. Bawa dia padaku!" sang Jenderal mengangguk patuh, ia pamit untuk memohon keluar dari suasana mencekam yang dibuat Rajanya.

🌺

Angin berusaha menelusup pada yukata tipis yang membalut tubuh sintalnya, bibir merah ranum itu bersenandung ria. Tangan kecil seputih salju itu sedang sibuk menggosok baju, menguceknya hingga sampai pada saat ia memerasnya. Tatapan cemburu terlihat dari sisi kanan dan kirinya, sembari mencibir lalu kemudian tertawa. Menutupi kekurangan seseorng adalah dengan mengatakan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain.

"Kau melihatnya, dia seperti wanita penghibur dengan kain tipis. Dia pikir dia cantik. Bau sake dari para pria masih bisa aku cium dari jarak yang begitu jauh."

"Kau benar Yolanda, dia seperti itu karena ingin menarik para pemuda untuk dibawa kepada ranjang usangnya. Kasian."

Salahkan jika gadis itu berkata 'sudah biasa' dan atau mungkin 'sudah terbiasa' cibiran keras-keras dilontarkan dari anak-anak gadis yang sedang saat itu juga mencuci bersamanya. Sedangkan tatapan para pria seolah memujanya, mencandunya atau bahkan pada fantasi liar para pria barulah benar yang dikatakan para gadis tentang dirinya.

Curi-curi pandang, menatap terang-terangan, atau sekedar modus menyapa gadis itu. Lagi-lagi gadis itu akan berucap 'sudah biasa'. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan, mungkin sekarang yang dilakukan Hana hanyalah diam. Itu yang terbaik.

Selesai mencuci, ia mengangkat tinggi-tinggi rambut panjang berwarna hitam mengkilap, menggelungnya lalu kemudian diberi kansha sederhana dengan bunga lotus putih mencolok pada ujung tangkainya, peninggalan almarhumah Ibunya.

Disaat ia sedang membawa bakul berisi cucian bersih, saat itu juga datang laki-laki tampan dan gagah. Anak pimpinan desa, yang Hana yakin sudah dirinya tolak dengan baik-baik. Mendengarkan, tersenyum dan pergi menurutnya adalah penolakkan halus yang baik. Tapi mengapa pria ini malah kembali datang.

"Hei..kau terlihat cantik seperti biasanya." basa-basi seperti biasa sebelum melakukan hal gila. Pikir Hana. Para tatapan gadis yang sedang mencuci, semakin menatap kebencian dan kebengisan kepada gadis muda yang tidak lain adalah Hana.

"Ada apa?" tanya Hana mencoba ramah, meski jujur ia sudah muak melihat wajah pemuda tampan didepannya. Yang menurutnya semakin lama dilihat akan membuat perutnya mual dan memuntahkan isi perutnya.

"Akan ada rombongan dari kerajaan, mau melihatnya bersamaku?" tawar Sei, atau biasa dipadanggil Si oleh penduduk desa. Senyuman pesona yang sama sekali tidak mempan untuk gadis didepannya. Bahkan ia rela memesan baju dari jauh-jauh hari pada penjahit terkenal, bangun pagi hanya untuk merapihkan rambut serta membuat tubuhnya wangi.

Banyak cara untuk pemuda itu mencuri hati Hana, mulai dari mengirimkan berpuluh-puluh bunga mawar dengan puisi sastra indah, makanan manis, baju mahal atau bahkan Sei rela memberikkan nyawanya. Sedangkan gadis itu hanya berkata "Tolong kembalikkan pada pemiliknya!" hingga hadiah-hadiah manis itu datang kembali kerumahnya.

"Aku ingin, hanya saja pekerjaan begitu banyak sehingga aku tidak bisa untuk sekedar menengoknya." tatapannya beralih pada baju berkilau didepannya, aroma parfum wewangian tercium hingga terasa menyengat. Rambut panjang pria itu mengkilap seperti memakai satu lusin rempah-rempah hanya untuk rambutnya.

The Flower SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang