Rona dalam Hujan

113 8 9
                                    

Beera.
Langkah kakiku menapaki hamparan koloni butiran-butiran pasir maupun gumpalan-gumpalan tanah basah. Pandanganku menyapu fenomena-fenomena kecil yang tak sempat terdefinisikan. Awan kelabu mengarakku menuju perbatasan, perbatasan antara waktu ini dan waktu yang akan datang. He...he... aku senang, kekelabuan ini menandakan akan turunnya hujan, hujan yang selalu ku nanti dan ku rindui kehadirannya, karena ku cinta hujan.

Gerimis

Seperti layaknya ribuan busur panah beramai-ramai menghujam bumi, bukan kelembaban dan amisnya simbahan darah para korban, melainkan kelembaban dan aroma tanah yang basah, sangat natural. Perasaan yang sangat menyenangkan untuk merasakan setiap sentuhan ribuan butiran air yang ditumpahkan dari langit dan menekuni kuasa Tuhan yang sangat besar dalam memindah bentuk dan tempat setiap hal dengan sangat mudah.
Aku memejamkan mata, mencoba merasakan semua alunan nada yang tercipta oleh tumpahnya tangis langit, begitu mempesona. Alunan natural tanpa komando yang begitu abstrak, membuai ku untuk terus bergerak membentuk suatu komposisi tindakan pembebasan ekspresi. Inilah caraku berzikir, mengingat kuasa Illahi. Puas, aku mengambil barang-barang bawaanku yang ku letakkan begitu saja di pendopo taman, tidak banyak orang, aku tak merasa sekalipun khawatir meninggalkan barang-barangku di sini. Aku menemukan sepucuk kertas ikut berkoloni dengan barang-barangku, bukan milikku, ada tulisan berbunyi:

"Sebegitu Cintakah Kau Pada Hujan?"

Aku hanya tersenyum simpul mengetahui bentuk tulisan tangan yang kecil dan rapi berjajar-jajar mengikuti garis bantu. Aku meraih ponsel dan mengetikkan satu kalimat:
Dasar Penguntit!!!
Dan tertawa kecil.

͏
Hari berikutnya, siang ini hujan tak turun. Aku kembali mengunjungi taman kota untuk menangkap hal lain, hal baru, menikamati suasana sendiri tanpa mengenal orang lain. Aku menyiapkan diri dengan beberapa buku bacaan dan mulai menyibukkan diri dengan rumus-rumus fisika Hukum Newton tentang gravitasi yang menyebabkan air hujan jatuh ke bumi bukan ke langit. Percepatan gravitasi, potensial gravitasi, energi kinetik yang secara akal-akalan ku masukkan dalam pendapatku mengenai percepatan jatuhnya butir air hujan, kekuatannya dalam menghantam tubuh dan air akan terpecah indah.
"Hai."
Aku menoleh dan melempar senyum, sosok lelaki atletis menghampiriku dengan senyum sumringahnya.
"Tumben ke sini, Yu," tanyaku.
"Aku rindu ronamu, Bee,"
aku tersipu.
"Tanpa menunggu pun kau telah memberikannya sebagai obatku."
"Kau ini!!" Aku melempari nya dengan buku yang ku bawa.
Kami berdiskusi mengenai banyak hal. Sekali- kali dia mengungkit aktivitas gilaku, menari-nari di tengah taman sendirian waktu lalu, dan mengomentarinya.
"Aku juga menyukai hujan"

Hari berikutnya, kami membuat janji temu di taman kota, melakukan diskusi kembali yang sebelumnya tema disearch dulu. Aneh memang. Dari rumah, aku sudah melihat glagat akan turun hujan. Aku memendam suka ria. Aku berjalan kecil sambil berla-la-la li-li-li lu-lu-lu mengikuti irama pijakan yang menyentak ketika ku pijak.

Hujan turun

Aku mulai berlari-lari senang, memejamkan mata dan memohon-mohon dalam hati karena katanya waktu doa yang ijabah salah satunya saat turun hujan, saat rahmat dari langit turun.
Aku melihat punggung Yu dan menghampirinya. Tangannya menengadah, menikmati tetesan air hujan yang mengena telapak tangannya.
" Terkadang perasaan ini seperti jatuh hati." Dia menyelatuk.
"Maksudmu, kau jatuh cinta pada hujan sampai benar-benar berfikir hujan adalah perempuan manis sepertiku."
Dia hanya tertawa, tawanya lepas. Kami berlari-lari seperti anak kecil menerobos lebatnya ribuan butir air yang turun ke bumi.
"Aku selalu merasa tenang, saat melihat rona wajahmu yang seperti ini." Dia menunjuk mukaku. Aku menahan tawa, sampai seperti:
"Tomat ranum," lengkapnya.
Kami tertawa bersama dan saling berjanji dalam hati masing-masing untuk berbagi perasaan di suka maupun duka.

HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang