8. Profesional

27.3K 1.7K 41
                                    

Karena hari ini adalah hari sabtu, dan butik juga tutup, jadi aku tidak pergi bekerja. Biasanya aku akan menghabiskan waktu di Mall dengan Anna dan Marvin, atau Mama. Tapi, kali ini aku memilih untuk diam di rumah. Rutinitas setiap sabtu, yaitu jogging sudah ku lakukan tadi pagi. Bahkan aku lanjut pilates setelahnya di Rumah.

Saat jam dinding sudah menunjukan pukul dua siang, aku mulai gusar. Sms tentang tempat bertemu dengan Barra belum ku lakukan karena aku tidak tahu dimana tempat yang nyaman untuk kami bertemu. Aneh, tidak biasa-biasanya aku bingung menentukan meeting point.

Mataku tidak bisa berhenti melirik jam dinding. Pikiranku penuh tentang bayangan Barra. Bagiamana jika mereka benar-benar adalah orang yang sama? Apa yang harus aku lakukan jika memang itu benar?

Sebenarnya, aku tidak pernah ada masalah dengan mantan-mantanku sebelumnya. Karena sebelum Barra, aku terakhir pacaran saat masih SMA kelas satu. Setelah itu aku melajang sampai semester akhir kuliah. Aku bertemu Barra di tempat magang, ia ada di posisi IT saat itu, dan aku di bagian desain produk.

Jurusanku saat kuliah memang bukan fashion design, hanya di desain biasa. Kemudian saat penjurusan yang lebih spesifik, aku mengambil desain produk. Karena saat itu aku ingin bekerja di kantor produksi. Tapi ternyata aku lebih senang gambar baju atau gaun di kertas. Karena Oma adalah tukang jahit, ia mencoba menjahit salah satu desainku dan rupanya baju itu laku. Dari situ aku mulai mendesain dan Oma yang bagian menjahit. Itulah awal karierku sebagai desaigner dimulai.

Jika kalian bertanya, aku dapat uang darimana untuk beli bahan? Aku bekerja di kantor produksi saat itu, dan gaji yang ku sisihkan ku gunakan untuk beli bahan rancanganku sendiri. Setelah sudah banyak orang yang datang untuk memintaku mendesain pakaian, aku berhenti bekerja dan mulai mendirikan butik kecil di pinggir jalan.

Kembali ke Barra. Kenapa aku sangat takut dan gugup bertemu dia? Karena setelah putus dengan Barra, aku tidak pernah menggandeng pria lain sampai sekarang. Kecuali, Marvin. Alasanku meminta putus darinya karena saat itu Barra malas dan ia pengangguran. Barra kena PHK dari pengurangan karyawan di kantor. Aku mendukungnya dan mencoba selalu berada di sampingnya saat itu, tapi hal ini malah membuatnya malas-malasan dan seolah tidak berniat mencari pekerjaan. Karena aku selalu membantunya dalam hal finansial saat itu.

Aku memang bukan tipe wanita yang senang disuapi uang oleh pasangannya, tapi aku tidak suka pria dewasa yang pengangguran. Karena aku sangat pekerja kerasa, aku tidak mau pasanganku bertolak belakang. Walaupun gajinya kecil, aku sangat menghargai pria yang memilki pekerjaan dan apapun itu profesinya. Sungguh.

Sebenarnya aku masih mencintai Barra saat itu, sangat. Tapi, sikapnya membuatku lama-lama gerah. Jadi aku memutuskan untuk berpisah. Dan semenjak saat itu, kami lost contact. Aku bahkan tidak pernah dengar kabarnya dari teman-teman. Namun, aku tidak juga berpikir bahwa ia sudah mati. Karena jika Barra benar sudah mati, maka akan ada yang memberi kabar padaku. Benar kan?

Jarum jam terus berputar, sama dengan pikiranku yang terus mencari dimana tempat bagus untuk menjadi spot pertemuanku dengan Barra.

Tiba-tiba saja sebuah kafe di pusat perbelanjaan muncul di pikiranku. Tempat ramai yang cocok agar suasana tidak terlalu canggung nanti. Iya benar, kafe itu sangat cocok. Kaia memang pintar.

Women's PerspectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang