Anna masuk ke dalam butik dengan nafas yang terengah-engah. Kebetulan aku sedang tidak berada di ruang kerja, karena suasana butik sedang ramai hari ini. Jadi aku bantu melayani pembeli di butik.
"Eh, Nenek lampir, kalo bertamu itu yang sopan. Ucap salam kek, jangan main langsung nyelonong aja."
"Berisik lu, Banci." Anna mendengus sebal mendengar ucapan Marvin. Matanya menyapu seluruh ruangan, sampai mata itu bertemu dengan mataku, ia melangkah mendekat.
"Kaiaaa..." Ia sedikit berlari ke arahku.
"Kenapa, An?"
"Lo serius nyari WO? Jadi yang Marvin bilang bener, lo mau married?"
Pembeli yang sedang ku layani menatap ke arah kami dengan tatapan terganggu. Dengan sopan aku tersenyum ramah, "maaf ya, Mba." Dengan sigap aku menarik tangan Anna menjauh dari kerumunan untuk masuk ke ruanganku. Setelah sebelumnya tentu saja aku menyuruh salah satu karyawan untuk melayani pembeli tadi yang merasa terganggu dengan kedatangan Anna.
Awalnya hanya aku dan Anna di sana, tapi Marvin malah menyusul untuk masuk ke dalam ruangan.
"Ternyata lo beneran mau nikah ya, Kai? Gue kira lo cuma becanda,"
"Gue mana pernah boong kalo ngomong."
"Ih, kenapa ga pernah cerita ke kita-kita? Inget, lo masih utang cerita lho," Marvin menatapku dengan tajam sembari menunjukku dengan kipas lipatnya.
"Cerita-cerita, lo harus cerita." Kali ini giliran Anna yang menuntut cerita.
"Belum saatnya gue cerita,"
"Terus saatnya kapan?" Anna menatapku sebal. "Nanti, kalo lo udah punya anak?" tambahnya.
"Tau lo, Kai. Lagian kita cuma minta ceritain dia itu siapa dan gimana kalian bisa sampe sejauh ini. Itu aja."
Aku menghela nafas pasrah. "Tapi kalian janji ga akan ngeledek gue soal ini?"
Mereka mengangguk semangat secara kompak.
Nanti atau sekarang sama saja, mereka akan tahu bagaimana hubungan aku dan Romeo.
Dengan sekali helaan nafas, aku mencoba meyakini diri sendiri bahwa ini adalah waktu yang tepat. "Gue dijodohin sama Oma. Dia itu cowo pilihan Oma."
Hening. Tidak ada respon apapun dari Marvin dan Anna, mereka berdua masih menatapku dengan serius dan tatapannya menuntutku untuk cerita lebih jauh.
"Ya, lo berdua tau lah Oma gue itu udah gue anggep kaya Ratu, jadi gue nurut aja dijoodohin sama itu orang. Padahal gue ga ada rasa suka atau tertarik sedikit pun sama dia, tapi gue gatau gimana nolak Oma. Dan yang bikin gue jengkel itu cowo nerima aja lagi dijodohin Oma, jadi, yaudah."
Marvin dan Anna masih diam. Tatapan mereka tidak kosong, jadi aku yakin mereka menyimak ceritaku dengan baik. Tapi, kenapa tidak ada respon?
"Kalian pasti mau ngeledek gue karena gue keliataan desperate banget sampe nerima perjodohan itu. Iya kan?" tuturku mencoba meyakinkan diri bahwa mereka memang benar mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Women's Perspective
ChickLit[Sudah Terbit] Cover ini berbeda dari cover yang diterbitkan. Semuanya dari sudut pandang seorang wanita dewasa. Cover by my self, pic by pinterest: Tahereh Mafi Written in Bahasa. [19- Agustus- 2017] Dilarang keras menjiplak! Akan diupdate...