SPECIAL CHAPTER THE END OF SALYA II: THE DREAM

500 18 0
                                    

Ilustrasi: Pengangkatan Salya (kiri) sebagai panglima pasukan Korawa. Ilustrasi dari kitab Mahabharata terbitan Gorakhpur Geeta Press.


"Kakak Sumantri!" panggil seseorang pada diri Salya yang sedang bermimpi. Salya menoleh, dilihatnya sesosok raksasa bertubuh mungil seperti anak kecil, berlari dengan gembira menghampirinya. Setelah dekat Salya pun dipeluk dengan erat dalam kerinduan yang sangat seperti sepasang saudara yang telah lama berpisah.

Salya tidak mampu bergerak sesuai kemauannya, justru dia malah balas memeluk erat pula sosok itu. Mulutnya pun bergerak sendiri dan berkata, "Adik Sukrasana, akhirnya kau bisa menemukanku."

Setelah puas berpelukan, Sukrasana, sang raksasa mungil berkata, "Kak Sumantri sangat hebat, aku sudah mendengar cerita bahwa kakak telah diangkat menjadi Patih di kerajaan ini oleh Prabu Arjunasasrabahu. Semua berkat jasa-jasa kakak dalam membantu menyelamatkan kerajaan dan calon istri sang Prabu dari serangan musuh-musuhnya."

"Terimakasih, adikku Sukrasana. Semua berkat doamu dan doa orang tua kita," sahut Salya, yang dipanggil Sumantri oleh Sukrasana itu. "Sedangkan bagaimana kabarmu?"

"Aku juga mendapat anugerah dari Dewata, dikatakan berkat hatiku yang bersih dan tulus, aku diberikan ajian Candrabirawa yang hebat dan sakti. Ajian ini bisa memanggil seorang raksasa dalam bentuk halus yang sakti luar biasa. Raksasa ini akan bersemayam dalam tubuh dan memperkuat kesaktian. Namun ajian ini lebih cocok untuk kakak, akan kuberikan kepada kakak agar kakak semakin sakti dan mampu mengalahkan musuh seberat apapun," ujar Sukrasana.

"Aku tidak mau, adik. Aku tidak mau ada raksasa dalam tubuhku..." jawab Salya.

Sukrasana terdiam, lalu ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat sedih mendengar perkataan Salya.

"Mengapa kakak tidak menyukai raksasa? Bukankah aku ini raksasa, tetapi sebagai adikmu aku selalu menyayangi kakak dan berusaha untuk berbakti sekuat tenaga kepada kakak?" isak Sukrasana, sambil menutup mukanya dengan kedua tangan penuh kesedihan.

Sumantri alias Salya pun merasa kasihan lalu memeluk Sukrasana kecil yang sedang menangis itu. Namun tiba-tiba sosok Sukrasana yang kecil membesar dalam pelukan Salya, bahkan lebih besar dari Salya dan berubah menjadi seorang raksasa yang sangat dikenalnya, yaitu ayah mertuanya, Resi Bagaspati.

"Ananda Narasoma..." sapa Resi Bagaspati dengan menyebut nama kecil Prabu Salya.

Salya tertegun menatap sang mertua, lalu menjawab sambil berlutut, "Ayahanda Bagaspati, salam sembah dari putramu."

"Narasoma, kau memang ksatria yang baik, bahkan salah satu yang terbaik," ucap Resi Bagaspati. "Tetapi kau harus tahu, bahwa kita hidup dalam bayang-bayang karma masa silam."

Narasoma alias Salya termenung. Resi Bagaspati pun melanjutkan.

"Di kehidupan yang lalu kau adalah Sumantri, dan aku adalah Sukrasana. Kita kakak beradik, namun akhirnya terpisahkan karena kita saling memaksakan kehendak. Kau ingin menjadi ksatria sejati, sedangkan aku ingin menjadi adik yang selalu dekat denganmu.

Lalu di kehidupan ini, kita berjumpa lagi sebagai menantu dan mertua, namun tetap berusaha memaksakan kehendak masing-masing. Pada akhirnya aku mengalah dan merelakanmu untuk didampingi putriku, Dewi Pujawati, sekaligus memberikanmu ajian Candrabirawa."

Salya masih termenung, namun mulai mengerti makna yang diceritakan oleh Resi Bagaspati.

"Dan esok hari," lanjut Resi Bagaspati, "Kita akan bertemu lagi, Narasoma, untuk yang terakhir kalinya dan kini giliranmu untuk mengalah, mengalah untuk kemenangan kita bersama yang telah tertunda sekian lama, Narasoma."

Salya menengadah menatap wajah ayah mertuanya penuh makna, lalu berkata, "Aku mengerti, ayahanda..."

Tiba-tiba muncul pula sosok-sosok di sekeliling mereka berdua, ayah dan ibu Salya, Prabu Mandrapati dan Dewi Tejawati. Salya pun bangkit dan memeluk kedua orangtuanya itu satu per satu dengan penuh kerinduan.

"Kakak Narasoma..." sapa satu sosok lagi yang muncul dengan membawa dua bayi kembar di pelukan tangan kanan dan kirinya.

Salya sangat merindukan suara itu, suara adik perempuannya, Dewi Madrim, yang datang menghampiri Salya didampingi oleh suaminya, Prabu Pandudewanata.

"Lihat kedua bayi kembar ini, kak. Mereka sangat tampan dan menggemaskan, bukan?" ucap Dewi Madrim penuh kegembiraan. "Ayo kak, gendonglah mereka!"

Salya pun menggendong satu persatu bayi kembar itu, yang tentu saja adalah Nakula dan Sadewa. Kedua bayi itu pun kini ada di pelukan kanan dan kiri Salya.

"Mereka memang sangat tampan tapi sorot matanya seindah matamu, adinda Madrim," ucap Salya bahagia. Dewi Madrim dan Pandu Dewanata pun tersenyum mendengarnya.

"Aku titipkan kedua bayi ini padamu, kakak. Jagalah mereka baik-baik agar tetap sehat dan selamat," ucap Dewi Madrim sambil mengecup pipi Salya. "Cuma semalam ini saja, besok kita akan berjumpa lagi..."

"Sampai besok..."

Satu persatu sosok yang ada di sekeliling Salya, orang-orang terdekat dan tersayangnya itu pun akhirnya mengucapkan salam perpisahan dan menghilang satu per satu, meninggalkan Salya dan sepasang bayi kembar dalam gendongan tangannya, Nakula dan Sadewa.

Dan mimpi Salya pun berakhir. Dia terbangun, dan waktu pun sudah menjelang dini hari. Mata Salya berkaca-kaca setelah mengalami mimpi yang begitu mengharukan. Kemudian ditatapnya sang istri, Dewi Pujawati yang masih terlelap. Wajah cantik sang istri masih kentara kendati sudah dimakan usia. Dikecupnya dengan mesra kening sang istri, sebagai ucapan selamat tinggal.

Salya bangkit dari ranjang, lalu bersiap diri untuk menghadapi perang. Dengan perlahan dan tanpa suara, dipakainya baju perang kebanggaan dengan dipersenjatai berbagai pusaka andalan. Sang panglima perang Hastina yang terakhir, tak beberapa lama kemudian pun sudah siap memimpin bala tentara di padang Kurusetra demi menentukan pemenang perang Bharatayudha!

MAHACINTABRATA: SPECIAL CHAPTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang