SPECIAL CHAPTER: THE END OF SALYA

1K 21 0
                                    

ilustrasi: Salya menjadi kusir kereta Adipati Karna untuk menghadapi Arjuna .


Perang Bharatayudha tampaknya sudah mendekati akhir. Hampir seluruh ksatria andalan yang diandalkan oleh Hastina telah gugur satu persatu. Mulai dari panglima perang terhebat, Maharesi Bisma Yang Agung, akhirnya gugur setelah berhadapan dengan ksatria wanita, Srikandhi. Kemudian Resi Dorna yang mahasakti, gugur setelah ditipu muslihat oleh Pandawa dan dibunuh oleh Drestajumena, sebagai pembalasan dendam sahabat Resi Dorna sekaligus ayahnya, Prabu Drupada. Terakhir hari ini, sang sahabat sejati dan tangan kanan Prabu Duryudana, Adipati Karna yang paling setia pun akhirnya gugur setelah berhadapan dengan rival abadinya, Arjuna sang panengah Pandawa.

Malam ini, Prabu Duryudana tengah termenung sendirian di dalam tenda Hastina, di padang Kurusetra. Matanya tampak sayu dan pasrah, mulai putus asa. Terbayang semua orang terdekatnya yang pada malam pertama perang Bharatayudha memenuhi tenda ini. Maharesi Bisma, Resi Dorna, Adipati Karna, juga adik tersayangnya Dursasana, juga semua ksatria andalannya yang lain kini telah tiada. Kemenangan yang pada awalnya sangat meyakinkan akan diraih kini ternyata telah memudar harapannya.

Kemudian datanglah pamannya sekaligus patih Hastina, Arya Sangkuni, disertia saudara-saudara Duryudana, Kurawa yang tinggal berjumlah lima orang dari tadinya seratus orang. Lalu tiba pula Aswatama, putra mendiang Resi Dorna. Duryudana menatap orang-orang di sekelilingnya, yang juga hanya terdiam dan termenung, karena semuanya menyadari bahwa kekalahan perang bahkan ajal sudah di depan mata. Namun dirasa, masih ada yang kurang dan belum hadir.

"Paman Sangkuni, kemana ayahanda Salya?" Duryudana menanyakan keberadaan ayah mertuanya itu.

"Sepertinya beliau ada di tendanya, ananda prabu," jawab Sangkuni.

Duryudana termenung sejenak, lalu berkata, "Tolong jemput beliau, pamanda. Bagaimanapun beliau masih di Kurusetra dan berada di pihak kita."

"Baik, ananda prabu," jawab Sangkuni lalu pergi menjemput Prabu Salya.

Tak lama datanglah Prabu Salya ke dalam tenda Hastina, dengan wajah yang cerah dan senang, tanpa ada rasa kesedihan atau pun ketakutan akan kekalahan perang. Duryudana yang melihat ekspresi senang wajah Prabu Salya lalu bertanya.

"Ayahanda Prabu, tampaknya ayahanda merasa gembira dengan kekalahan yang kami derita dalam perang ini?"

Prabu Salya tertegun sejenak, lalu menjawab lugas, "Dari awal aku memang tidak perlu risau akan hasil dari perang Bharatayudha ini. Siapa pun yang menang aku tidak mempersoalkannya, karena Pandawa adalah keponakanku, dan kau, Duryudana adalah menantuku. Jadi siapa pun yang menang, aku tetap gembira dengan hasilnya."

"Tetapi sebagai seorang ksatria bukankah ayahanda harus membela kami hingga titik darah penghabisan atau dipanggil sebagai pengecut?" pancing Duryudana.

"Apa katamu?" Prabu Salya pun naik pitam.

"Sabar, kanda Prabu," ujar Sangkuni berusaha menenangkan Salya. "Mohon maklumi kondisi ananda Duryudana yang sedang kalut dan berduka setelah ditinggal para saudara dan sahabatnya."

Prabu Salya mendelik pada Sangkuni sambil membentak, "Tutup mulutmu, Sangkuni! Kalau bukan karena segala provokasi dan hasutan yang keluar dari mulutmu itu maka perang Bharatayudha ini tidak akan terjadi dan kita semua bisa hidup dalam damai!"

Situasi di dalam tenda pun menjadi panas dan hening. Akhirnya Duryudana meminta maaf dan berkata, "Aku mohon maaf atas perkataanku, ayahanda Prabu. Kalau begitu ananda mohon saran untuk langkah kita selanjutnya. Apa yang harus kita lakukan?

Prabu Salya sebenarnya masih kesal, tetapi akhirnya dia pun berkata, "Menurutku, kau segeralah berdamai dengan Pandawa, ajak mereka berunding, kembalikan Indraprasta. Mereka pasti menerima karena mereka orang baik yang tidak serakah seperti kita-kita ini! Biarlah aku yang berbicara pada mereka."

Duryudana termenung lama memikirkan perkataan Salya. Lalu berkata, "Tidak mungkin aku akan melakukan hal itu, ayahanda! Aku akan menanggung malu seumur hidup dan arwah para saudara dan sahabatku yang gugur di perang ini akan mengutukku!"

"Bagus! Kalau begitu memang ksatria sejati, bukan seorang pengecut yang lari tunggang langgang dari medan perang!" ujar Prabu Salya, sambil melirik pada Aswatama yang baru saja dilihatnya di pojok tenda.

Aswatama, putra Resi Dorna itu baru kembali dari persembunyiannya malam ini. Dia semula hendak membalas kematian ayahnya akibat tipu muslihat Pandawa, namun justru secara pengecut dia lari dari peperangan saat berhadapan dengan Bima. Mendengar sindiran pedas dari Prabu Salya, Aswatama pun merasa gerah dan emosi. Lalu dia pun memancing di air keruh dengan berkata, "Wahai kanda Prabu Duryudana, menurut hemat saya tidak ada gunanya memohon saran pada Prabu Salya."

Prabu Duryudana menatap Aswatama sambil bertanya, "Apa maksudmu, Aswatama?"

"Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Prabu Salya mencurangi kita dan menyebabkan Adipati Karna kalah dari Arjuna. Setiap Adipati Karna hendak membidik, beliau sebagai kusir kereta justru malah menyentak-nyentakkan kudanya sehingga sasaran Karna seringkali meleset," ujar Aswatama.

Prabu Salya pun kembali naik pitam dan membentak Aswatama, "Apa katamu, pengecut?! Orang sepertimu ini justru yang memalukan kita semua, sesuai aturan dan jiwa ksatria, orang yang lari dari medan perang harus dipenggal kepalanya! Biar aku yang melakukannya padamu sekarang juga!"

Suasana justru semakin panas dan Duryudana kembali harus menengahi pertikaian tersebut, dengan berkata, "Sabarlah, ayahanda, aku juga tidak percaya bahwa ayahanda prabu telah melakukan hal tersebut."

Kemudian Duryudana membentak Aswatama, "Aswatama! Coba pikirlah dahulu sebelum menuduh! Jangan memfitnah orang yang telah berperang membela kita sejak hari pertama perang, apalagi beliau ini adalah ayah mertuaku yang sangat kuhormati!"

Aswatama tercengang mendapat semprotan dari Duryudana. Orang yang telah menjadi sahabatnya sejak di perguruan Sokalima hingga kini, justru tidak mempercayai perkataan yang dia yakini kebenarannya.

"Janganlah kau membikin malu nama ayahmu, dengan bertindak menjadi pengecut dan pemfitnah!" cibir Duryudana lagi, yang tambah kalut dan panik akibat situasi panas malam ini.

Aswatama akhirnya terdiam, lalu memutuskan untuk pergi dari tenda dan meninggalkan pertemuan itu tanpa permisi. Sekaligus mengakhiri persahabatannya dengan Duryudana dan pengabdiannya pada Hastina. Hatinya sangat sakit dan kecewa, namun dendamnya tetap membara pada Pandawa yang telah menipu ayahnya hingga tewas.

Melihat kepergian Aswatama, Duryudana berkata, "Biarkanlah dia pergi, kita tidak memerlukan pertolongan orang pengecut semacam dia!"

Lalu Duryudana menatap Prabu Salya dan berkata, "Ayahanda Prabu, dengan kondisi begini tidak ada lagi ksatria yang bisa kuandalkan sebagai panglima perang selain ayahanda."

Prabu Salya termenung, jiwa ksatrianya akhirnya menang dan dia berkata, "Baiklah, ananda. Sudah kepalang tanggung aku berperang di pihakmu, maka besok aku akan lawan Pandawa."

Duryudana memandang ayah mertuanya itu dengan lega dan berucap, "Terimakasih, ayahanda prabu..."

***

Saat Prabu Salya berjalan kembali dan hampir tiba di tenda miliknya, dua sosok tiba-tiba menghadangnya dalam gelap.

"Pamanda Salya," sapa kedua sosok yang wajah dan tubuhnya tersembunyi dalam jubah itu.

Prabu Salya terkejut tapi dia bisa mengenali keduanya, lalu segera berbisik, "Nakula-Sadewa, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Kami mohon izin menghadap pamanda," jawab Nakula.

"Ayo lekas masuk ke tendaku!" perintah Salya. Ketiganya pun bergegas memasuki tenda.

Setelah berada di dalam tenda, Salya bertanya gusar, "Apa yang kalian pikirkan? Bagaimana bila tentara Hastina menangkap kalian di sini?"

"Kami mati malam ini atau kami mati besok adalah sama saja, Pamanda," jawab Sadewa.

"Apa maksudmu, ananda?" tanya Salya heran.

"Kami, Pandawa tidak akan sanggup menghadapi Pamanda, bila Pamanda menjadi panglima perang Hastina besok," jawab Sadewa. "Tidak ada lagi yang bisa menandingi ajian Candrabirawa milik Pamanda."

Salya tercenung sambil menatap kedua keponakan tersayangnya itu, putra kembar mendiang adiknya tercinta, Dewi Madrim. Kemudian dia berkata.

"Tahukah kalian, bahwa pada awalnya aku akan berperang di pihak kalian, Nakula, Sadewa dan Pandawa. Tetapi Duryudana, menantuku yang licik itu telah menipuku dengan mengundangku untuk menengok putriku, Banowati yang katanya sedang sakit keras di Hastina. Aku meninggalkan pasukanku lalu menengok ke istana Hastina, tetapi Duryudana dan para Kurawa dengan lihai membujuk dan menjamu pasukanku dengan mewah dan hangat. Sehingga para panglimaku terbuai dan memihak kepada mereka, dan aku pun terjebak oleh muslihatnya melalui putriku sendiri. Dan kini di sinilah aku, panglima perang Hastina yang akan menantang kalian esok hari."

Nakula dan Sadewa terdiam mendengar perkataan paman mereka itu. Kemudian Sadewa berkata, "Kalau begitu bunuhlah kami sekarang saja, Pamanda! Kami tidak akan sanggup mengalahkan Pamanda..."

Salya kembali termenung, lalu berkata, "Aku selalu kagum pada salah satu dari kalian, Pandawa. Aku merasakan hal yang tidak kupahami saat berhadapan dengan Yudhistira, kakak tertua kalian. Aku melihat sorot mata yang sangat ku kenal, sangat bijak, sangat terhormat, sekaligus seperti penuh kasih kepadaku. Dia adalah orang yang juga tidak akan sanggup kuhadapi, wahai keponakanku, Nakula-Sadewa."

"Tetapi... kakak Yudhistira tidak mau berperang, Pamanda, apalagi membunuh sesama manusia," sahut Sadewa.

"Hmm... kalau begitu biarlah aku yang akan mendatanginya, dan memintanya untuk memerangiku..."

"Lalu apakah Pamanda akan mengalah pada kakak Yudhistira?" tanya Nakula.

Salya termenung sejenak, lalu menjawab, "Aku rasa bergitu, ananda... Aku harap juga begitu, karena aku sangat menyayangi kalian, seperti aku menyayangi adikku, Madrim, ibu kalian."

Nakula dan Sadewa pun memeluk kedua kaki Salya sambil berterimakasih. Setelah ketiganya melepas rindu sejenak, Nakula dan Sadewa pun meninggalkan tenda dan menyelinap kembali ke perkemahan mereka di kubu Pandawa.

Malam itu menjadi malam yang terpanjang bagi Salya. Sangat sulit baginya untuk memejamkan mata, padahal istrinya, Dewi Pujawati sudah tertidur lelap dari tadi karena kelelahan setelah menyaksikan suaminya ikut berperang dengan menjadi kusir Adipati Karna tadi siang. Namun setelah sekian lama, akhirnya Salya pun bisa tertidur dan bermimpi.

*)
Dialog pertengkaran dengan suasana panas dalam tenda Hastina disadur dengan beberapa perubahan dari komik wayang Bharatayudha karya R.A. Kosasih, bagian Gugurnya Prabu Salya.


MAHACINTABRATA: SPECIAL CHAPTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang