THE END OF SALYA III: LAST GENERAL OF HASTINA

513 14 0
                                    

Ilustrasi: Yudistira membunuh Salya. Ilustrasi dari kitab Mahabharata terbitan Gorakhpur Geeta Press  


Prabu Salya menyiapkan seluruh pasukan Hastina dengan kegagahannya yang belum pudar dimakan usia, justru semakin menampakkan kepemimpinannya yang penuh wibawa. Pasukan yang semula mulai kehilangan semangat karena gugurnya panglima perang mereka yang terakhir yaitu Adipati Karno kemarin, kembali bangkit harapannya melihat panglima perang mereka yang baru dan sakti mandraguna itu. Prabu Duryudana pun turut serta turun ke medan perang, dengan didampingi pamannya, Patih Sangkuni, juga lima saudara Kurawa yang terakhir. Hanya Itulah sisa ksatria yang kini memimpin pasukan Hastina, dari ratusan ksatria yang tadinya membela mereka di hari pertama perang Bharatayuda, karena kesemuanya telah gugur oleh pasukan Pandawa.

Prabu Duryudana diam-diam mengamati tindak-tanduk ayah mertuanya itu dari kejauhan. Hatinya sebenarnya cemas, karena apa yang diceritakan oleh Aswatama tadi malam. Dipanggilnya Sangkuni, lalu dia berkata, "Pamanda, tolong awasi Prabu Salya. Aku masih mencemaskan keberpihakan beliau dalam perang ini."

Sangkuni menanggapi, "Baik, ananda. Aku juga merasa bahwa yang dikatakan oleh Aswatama tadi malam itu ada benarnya."

Duryudana termenung sejenak, lalu berkata, "Semoga saja beliau tetap memegang teguh prinsip ksatria dan tetap berperang membela kita untuk mengalahkan Pandawa. Bahkan mungkin beliau bisa membunuh kelima Pandawa dengan kesaktian ilmu Candra Birawa-nya itu."

"Semoga begitu, ananda," ucap Sangkuni dengan penuh keraguan, bahkan dalam hatinya dia merasa bahwa ajalnya akan tiba hari itu. Seperti juga yang dikatakan diam-diam oleh kelima Kurawa keponakan yang tersisa padanya, bahwa mereka sudah bertekad akan berperang ya habis-habisan dan akan mengakhiri hidup mereka hari itu.

Sementara itu di kubu Pandawa, Sri Kresna yang sudah bersiap akan strategi Hastina yang Pamungkas ini, segera memerintahkan Nakula menjadi kusir Yudhistira sehingga untuk pertama kalinya sejak perang dimulai, Yudhistira akan mengangkat senjata dan berperang.

"Tetapi aku tidak pandai berperang dan tidak mau membunuh sesama manusia, kanda Kresna," tolak Yudhistira yang sejak tadi malam terus-menerus menolak strategi Sri Kresna untuk menghadapi Prabu Salya.

"Kalau begitu lihatlah sendiri bagaimana kehebatan Prabu Salya karena tidak ada seorangpun bisa mengalahkan ilmu Candra Birawa-nya itu termasuk Arjuna maupun Bima!" tukas Sri Kresna.

Beberapa saat kemudian setelah kedua kubu sudah siap, perang pun kembali digelar. Benarlah apa yang dikatakan Sri Kresna bahwa kesaktian dan kehebatan Prabu Salya sungguh luar biasa kendati sudah lanjut usia. Pasukan Hastina pun menggempur dengan penuh semangat melihat panglima perang mereka yang sangat hebat itu. Arjuna dan Bima yang memimpin pasukan Pandawa pun agak kewalahan menghadapi gempuran yang luar biasa. Namun sedikit demi sedikit, Pandawa pun bisa menahan gempuran dengan membidik dan menumpas ksatria Hastina yang tersisa.

Kelima Kurawa yang tersisa akhirnya harus berhadapan dengan Bima dan Sadewa. Kesaktian Bima apalagi nafsu membunuhnya yang jauh lebih tinggi akhirnya bisa menumpaskan sisa persaudaraan Kurawa itu.

Sementara itu Sadewa juga sudah berhasil menemukan Sangkuni serta mendesaknya hingga terluka parah dan tak berkutik lagi. Namun Bima keburu datang lalu menghampiri Sangkuni dan berkata.

"Sudah lama sekali aku berniat merobek mulutmu yang bagai ular beludah itu, Sangkuni. Kini tibalah saatnya!"
Bima pun menerkam Sangkuni yang sudah tidak berdaya itu dan merobek mulut Sangkuni hingga tewas dengan naas, sebagai karma dari seluruh kemunafikan ucapannya di masa silam.

Sementara itu Arjuna dengan hati-hati terus mengamati pergerakan Prabu Salya karena Sri Kresna melarangnya menghadapi Prabu Salya secara frontal. Yudhistira lah yang direncanakan untuk menghadapi beliau, tetapi Yudhistira tampak masih ragu dan belum mau maju ke lini depan pasukan Pandawa.

Prabu Salya mengamati kondisi pasukannya yang mulai terdesak karena para ksatria yang menjadi ponggawa mereka telah pada tewas. Dia pun merasa bahwa waktunya telah tiba, namun dia belum bisa menemukan calon lawannya, yaitu Prabu Yudhistira. Dalam hatinya berpikir, kalau kondisi dibiarkan terus begini, pasukannya akan segera tumbang dan kocar-kacir, sedangkan dia masih mengemban tugas sebagai panglima yang harus bersikap ksatria. Maka dengan terpaksa, walau bertentangan dengan nuraninya, dikeluarkanlah ajian Pamungkasnya.

"Candra Birawa, aku memanggilmu! Keluarlah dari tubuhku!"

Seketika sesosok raksasa muncul dari dalam tubuh Prabu Salya, lalu duduk menyembah.

"Salam tuanku Salya, apa perintah yang tuan berikan padaku?" tanya Candra Birawa.

"Tumpas pasukan Pandawa! Jangan berhenti sampai semua habis!" perintah Prabu Salya.

Tanpa basa-basi lagi Candra Birawa langsung bergerak dan berperang menumpas pasukan Pandawa yang tidak ada satupun yang mampu melawan kesaktiannya. Sehingga seketika pasukan Hastina yang semula terdesak, bisa bangkit menekan kembali pasukan Pandawa, berkat kesaktian Candra Birawa yang sungguh luar biasa dan tak tertandingi.

Arjuna yang mengawasi gerak-gerik Prabu Salya pun menjadi cemas setelah menyaksikan sendiri kesaktian ilmu Candra Birawa. Dia pun berinisiatif untuk membunuh Candra Birawa dengan panahnya. Sepucuk panah sakti pun dilesatkan oleh Arjuna dan menancap tepat di dada Candra Birawa. Candra Birawa pun terjengkang dengan darah berceceran dari luka tancapan panah di dadanya. Pasukan Pandawa pun bersorak gembira!

Namun justru di sinilah Candra Birawa menunjukkan kesaktiannya yang paling luar biasa. Dia tidak bisa mati dengan luka biasa, justru setiap tetesan darahnya menjelma menjadi Candra Birawa-Candra Birawa yang lain. Sehingga dalam sejekap, puluhan Candra Birawa pun muncul dan kembali menyerang pasukan Pandawa tanpa tedeng aling-aling. Arjuna hanya bisa tercengang dan tak tahu harus berbuat apa melihat pasukannya mulai terdesak kembali dan terancam kocar-kacir akibat serbuan puluhan Candra Birawa. Belum lagi ditambah gempuran pasukan Hastina yang semakin semangat melihat kehebatan ajian Candra Birawa itu.

Sri Kresna yang mengamati dari garis belakang pertahanan sudah bisa melihat bahwa Candra Birawa sudah berhasil mengobrak-abrik pasukan Pandawa. Dia pun berseru pada Yudhistira, yang masih belum mau maju ke medan perang.

"Lihat sendirilah ke tengah medan perang, adik Yudhistira! Lihat bagaimana ajian Candra Birawa milik Pamanda Salya menghancurleburkan pasukan kita!"

Nakula yang sudah tidak sabar langsung memecut kuda-kuda yang menarik kereta mereka dengan cepat menuju medan perang. Yudhistira tidak sempat berkata-kata lagi, dia pun mengamati jalannya perang dan akhirnya bisa melihat kehebatan Candra Birawa yang jumlahnya semakin banyak dan tetap sakti luar biasa. Nakula dengan nekad melajukan kereta mereka ke arah kubu pasukan Hastina dan membelah area pertarungan yang tengah berkecamuk dengan dahsyatnya. Untunglah kereta mereka selamat dari amukan Candra Birawa, atau justru tampaknya Candra Birawa yang mendekati kereta mereka tampaknya tidak mau menyerang kereta yang membawa Yudhistira itu. Candra Birawa tampak terdiam dan memandang penuh hormat kepada Yudhistira yang keretanya melewati mereka. Bahkan beberapa dari Candra Birawa itu justru mengikuti kereta Yudhistira dan bergerombol di belakangnya.

Hingga tibalah kereta Yudhistira dan Nakula ke hadapan kereta perang Prabu Salya, menantang duel sang panglima perang Hastina yang terakhir itu.

"Salam bakti, pamanda Salya," ucap Nakula penuh hormat.

"Ah, ananda Nakula, tentunya kau pun tahu bahwa aku tidak akan melawanmu, bukan?" sapa Prabu Salya.

"Tentu saja, Pamanda. Ananda pun sama, tidak akan mampu melawan Pamanda yang aku sayangi dan hormati," sahut Nakula. "Aku hanya mengantar kakak Yudhistira, yang akan melawan Pamanda."

"Ah, anakku Yudhistira. Apakah engkau akhirnya akan turut berperang dan bertarung melawanku?" sapa Prabu Salya pada Yudhistira.

Yudhistira memberi hormat pada Prabu Salya, lalu berkata, "Aku tidak ingin berperang, Pamanda. Aku tidak pandai bertarung dan memakai senjata."

"Lalu bagaimana caranya kau melawanku?" tanya Prabu Salya.

"Aku hanya meminta Pamanda menghentikan ajian Candra Birawa," jawab Yudhistira.

Prabu Salya terkekeh, lalu berkata, "Tentunya tidak bisa, ananda. Candra Birawa tidak bisa kupanggil untuk berhenti sebelum tugasnya selesai, yaitu mengalahkan pasukan Pandawa."

"Oh begitukah, Pamanda?" sahut Yudhistira. "Lalu mengapa Candra Birawa yang ini berkumpul di belakang keretaku?"

Prabu Salya pun terkejut, melihat kumpulan Candra Birawa tampak berdiam diri di sekitar kereta Yudhistira. Hatinya pun menjadi gentar sekaligus haru, karena tampaknya Candra Birawa telah menemukan tuannya yang asli pada diri Yudhistira, yaitu titisan ayah mertuanya, Resi Bagaspati.

"Candra Birawa hanya tunduk pada manusia yang berhati bersih dan berdarah putih, mungkin ananda Yudhistira-lah yang lebih pantas menjadi tuan bagi Candra Birawa," sahut Prabu Salya. "Panggillah Candra Birawa oleh ananda, bila mereka menurutimu tentunya engkaulah pemilik mereka."

Yudhistira termenung sejenak, kemudian berkata, "Baiklah, Pamanda. Aku akan mencoba memanggil mereka untuk berkumpul di sini."

Yudhistira pun memanggil Candra Birawa dan ternyata sungguh luar biasa, seluruh Candra Birawa yang sedang asyik bertarung langsung berhenti dan mendatangi kereta Yudhistira, lalu berkumpul di situ. Prabu Salya dan seluruh pasukan yang berada di sekitar mereka pun menyaksikan dengan takjub dan heran, bahwa ternyata Yudhistira-lah bisa menghentikan ajian Candra Birawa. Bukan Arjuna yang sakti mandraguna, bukan pula Bima yang gagah perkasa!

"Ananda memang luar biasa, Pamanda sangat bahagia kini bisa berhadapan dan bertarung denganmu. Setelah menghentikan ajian Candra Birawa, ayo kini seranglah aku, Yudhistira!" pinta Prabu Salya.

Yudhistira menatap Prabu Salya, dalam hatinya semakin merasa enggan untuk berperang apalagi setelah Candra Birawa kini tunduk padanya.

"Supaya kau tidak ragu-ragu, Yudhistira, biar aku yang akan menyerangmu duluan!" ucap Prabu Salya melihat Yudhistira terus berdiam diri. Dibidiknya Yudhistira dengan panahnya, namun sesaat sebelum melepaskan anak panah, tiba-tiba Nakula bergeser dan menghalangi Yudhistira. Prabu Salya terkejut dan segera membelokkan sasarannya sehingga panahnya yang melesat hanya menyamping dari badan Nakula dan Yudhistira.

"Apa yang kau lakukan, ananda? Hampir saja kau bunuh diri?" seru Prabu Salya panik.

"Aku lebih baik mati terlebih dahulu sebelum kakak Yudhistira mati, Pamanda," jawab Nakula.

"Tetapi Nakula, aku ... sudah berjanji pada ibumu, adikku Madrim yang kusayangi ... untuk menjagamu..." sahut Prabu Salya dengan suara lirih. "Yudhistira, aku sebagai seorang ksatria harus menepati janji. Bantulah aku! Aku sudah kepalang tanggung menjadi panglima perang yang melawanmu sesuai janjiku pagi ini! Kini seranglah aku!"

Yudhistira pun akhirnya dengan ragu-ragu meraih busur dan sebuah anak panah. Dengan perlahan diangkatnya busur untuk membidik, namun karena tangannya yang bergetar, sebelum membidik anak panah tersebut keburu terlepas dari busurnya dan hanya mengarah ke tanah.

Keajaiban pun terjadi, panah yang melesat ke tanah itu tiba-tiba berbelok arahnya dan mengarah kepada Prabu Salya. Hanya Prabu Salya-lah yang bisa melihat bahwa sukma Resi Bagaspati dan Sukrasana seolah memegangi anak panah itu dan mengarahkannya tepat menancap ke dada Prabu Salya. Prabu Salya pun seketika tersungkur dan tewas, diikuti menghilangnya seluruh Candra Birawa!

Dengan demikian, maka panglima perang pasukan Hastina dalam perang Bharatayudha yang terakhir pun telah gugur!

***

Sukma Prabu Salya melayang meninggalkan jasadnya yang tewas di medan perang, dengan digandeng oleh Resi Bagaspati di sisi kanannya dan Sukrasana di sisi kirinya.

"Hendak kemana kita?" tanya Prabu Salya.

"Kita ke tendamu dulu, anakku," jawab Resi Bagaspati.

Mereka pun melayang menuju tenda Prabu Salya, dan ternyata di dalam tenda telah berkumpul sukma-sukma orang terdekat Prabu Salya. Ada ayah dan ibunya, Prabu Mandrapati dan Ratu Tejawati, yang memeluknya dengan penuh kerinduan. Tentu ada pula adiknya, Dewi Madrim bersama Pandu Dewanata, memeluknya pula punuh terimakasih.

"Terimakasih, kanda sudah menepati janji padaku," ucap Madrim sambil mengecup pipi kakak tersayangnya itu.

"Apa pun untuk adik tersayangku," ucap Prabu Salya sambil tersenyum. "Dan kau harus berkenalan dengan adik tersayangku yang satu lagi, ini Sukrasana."

Mereka kemudian mengelilingi ranjang tempat terbaringnya Pujawati, istri Prabu Salya. Pujawati pun tampak telah meninggal dunia dalam pembaringannya hari itu, dan sukmanya pun bangkit dari jasadnya, lalu menghampiri Prabu Salya dan memeluknya penuh kasih sayang.
Kini, seluruh keluarga Prabu Salya telah berkumpul dan sukma mereka pun kemudian melayang bersama-sama meninggalkan padang Kurusetra yang masih banjir darah akibat perang Bharatayudha, menuju swargaloka untuk menikmati kedamaian abadi.

THE END OF SALYA


NANTIKAN SPECIAL CHAPTER BERIKUTNYA YA...

MAHACINTABRATA: SPECIAL CHAPTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang