Surat Cinta Untuk Starla

283 15 8
                                    

Abu Dhabi

"Anwar, jika kau sudah selesai. Pulanglah agar kau bisa istirahat," kata Tuan Hasan sembari mengambil kunci mobil dari tanganku.

"Tapi Tuan, jika saya pulang malam ini siapa yang akan membantu Tuan untuk esok?" tanyaku kepada Tuan Hasan.

"Masih ada Zul yang membantuku. Cepatlah pulang. Bukankah biasanya kau menunggu kekasihmu menelepon?" kekehnya melirikku senang.

"Baiklah Tuan. Selamat malam Tuan," pamitku sebelum mengucapkan salam.

Tuan Hasan hanya melambai tangannya ke arahku sebelum aku melaju dengan sepeda motorku menuju rumah kontrakkan.

"Terima kasih Allah untuk berkatMu," gumamku dalam hati.

Malam yang panjang untuk hari ini. Tuan Hasan memintaku untuk mengantarkan semua pesanan parcel kepada pelanggannya. Aku sangat beruntung memiliki Tuan Hasan sebagai tuanku di negara yang tak pernah aku kenal.

Aku adalah seorang TKI di tanah Abu Dhabi yang sudah tiga tahun tidak pulang ke negeri tercinta. Ya ... aku harus bekerja menafkahi keluargaku di belahan bumi lainnya. Negara Indonesia. Aku merantau sudah hampir tiga tahun.

"Malam juga kau pulang, Anwar?" tanya teman kontrakkan setelah aku sampai.

"Iya Tuan Hasan membutuhkanku," jawabku sekenanya karena rasa lelah yang sudah hadir.

"Kau sudah makan, Rizal?" Aku menawarkan nasi kebuli yang aku bawa dari rumah Tuan Hasan.

"Tak usahlah. Kau makan saja sendiri. Aku sudah kenyang," ujar Rizal tak mau dengan logat Medannya.

"Baiklah. Aku masuk dulu, ya." Aku mengundurkan diri dari percakapan ini.

"Tidurlah sudah. Jangan lagi kau telepon kekasihmu tengah malam. Kasihani tubuh kau."

Aku terkekeh melihat ekspresi Rizal yang persis seperti ibu di rumah.

"Apa kabarnya kekasih dan ibuku, ya?" Aku hanya berujar dalam hati.

Selesai membersihkan diri dari gerahnya malam aku ingin makan terlebih dulu sebelum menelepon kekasih hati di sana. Aku merindukannya tidak pernah bertatap muka hanya menelepon saja. Cukup mahal memang untuk menelepon apalagi video call tapi tak masalah untuk aku. Mendengar suara manjanya saja membuatku ingin memeluknya.

Lihatlah teleponku sudah berdering menandakan kekasih hati sudah tak sabar mendengar kabar.

"Hai ... Cubby? Tumben biasanya kekasihmu ini yang menelepon duluan."

Kau marah saat aku memanggilmu Cubby. Kau tak suka panggilan itu.

"Jangan marah dong Cubby. Nanti kekasihmu ini akan sedih loh." Aku mengajaknya bercanda.

"...."

"Kekasihmu ini makan nasi kebuli buatan istrinya Tuan Hasan. Sayang kau tak di sini. Seandainya kau di sini pasti kita bisa makan berdua ya," jawabku saat ia menanyakan aku sudah makan atau belum.

"....."

"Pasti kau saat ini sedang cemburu karena kekasihmu ini sedang makan nasi kebuli, bukan?"

Kau tertawa karena aku tahu kau pasti cemburu aku bisa makan enak di sini.

"Makanlah apa yang sudah disediakan oleh nenekmu. Nanti bulan depan kekasih hatimu ini akan mengirimkan uang untuk kau dan nenek bisa makan enak di sana."

Aku tak tega mendengarnya saat ia hampir menangis.

"Kekasihmu ini masih lama di sini. Jangan khawatir semua akan baik-baik saja," ujarku saat ia mencemaskanku.

Lagu untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang