Sang Penggoda

95 12 1
                                    

"Terkadang kenyataan tak sesuai keinginan kita."

*****

Aku melihat pria yang sudah bersamaku selama enam belas tahun berjalan memasuki rumah pagi ini dengan keadaan yang bisa aku katakan berantakan.

"Kau menemuinya lagi?" tanyaku ingin tahu.

"Kau tak perlu tahu apa yang aku lakukan semalam," ujar Aldo sengit.

"Jauhi dia, Aldo! Sebelum...."

"Sebelum apa?" Ia bertanya marah kepadaku sambil meninggikan suaranya.

"Kau tak menyadari jika selama lima tahun ini kau sudah menghancurkan semuanya?"

"Terserah kau berkata apa? Aku sudah lelah dengan dirimu selama ini."

Lelah denganku? Aku tertawa getir.

"Jika kau sudah lelah denganku mengapa kau tak menceraikan aku lima tahun yang lalu?"

"Semua ada alasannya," jawab Aldo tak memberitahu.

"Alasannya adalah kau tak bisa meninggalkan aku karena apa yang aku miliki, bukan?" tawaku dengan pahit.

Revaldo menatap penuh kebencian dan menampar wajahku dengan kasar.

"Apa kau tak menyesali dengan keputusan yang kau ambil, Aldo?"

Aldo tak berkata apapun. Dia memalingkan wajahnya dengan ekspresi dingin.

"Ini saatnya aku bertindak. Jangan salahkan aku, Aldo!"

*****

Aku menelisik secara seksama wanita bertubuh ramping yang ada di depan kini. Jujur aku mengatakan jika memang dia wanita yang sempurna selain cantik juga berpakaian sopan. Tidak seperti kebanyakan wanita lainnya, tetapi di balik semua kecantikan, kesopanan dan kelembutannya tersimpan sebuah akar busuk.

"Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengannya?" tanyaku langsung.

"Cukup lama hampir lima tahun tahun," jawabnya santai.

"Kau mencintainya?" lanjutku bertanya.

"Tentu saja. Dia memiliki segalanya." Lagi, dia menjawab santai.

"Itu bukan cinta, Nina. Cinta adalah pengorbanan," sahutku dingin.

"Memang kamu tahu cinta itu apa?" tanyanya penuh penekanan.

"Cinta? Ya aku tahu apa itu cinta, tetapi itu dulu sebelum semua hancur."

"Anda menyalahkan aku?" selidiknya tak suka.

"Di sini aku tidak tahu siapa yang patut disalahkan, Nina. Jika aku menyalahkanmu mungkin tidak. Menyalahkan aku maupun dia pun, aku tak bisa. Mungkin takdir yang mempermainkan perasaan kita," ujarku sambil meneguk segelas lemon tea.

"Anda tak merasa sakit hati dengan semua yang telah aku lakukan kepada anda?"

"Sakit hati?" Aku tertawa saat mendengarnya.

"Anda tertawa?" tanyanya jengah.

"Karena kau lucu, Nina. Bagaimana rasa sakit itu hanya aku yang tahu. Kau mungkin tak pernah merasakannya."

Kami saling terdiam sejenak dan memandang hujan di kaca kafe.

"Menikah dengannya tak mudah. Dulu aku begitu naif akan cinta yang dia sebut. Dulu aku terlalu polos mengenal akan artinya sebuah perasaan tentang cinta. Saat dia menjatuhkan aku ke jurang dalam akhirnya aku tahu bahwa semua pengorbanan yang telah diberikan untuknya terbuang percuma," kataku mengingat masa lalu.

Lagu untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang