Asal Kau Bahagia

126 13 0
                                    

Aisyah menatap sendu Almira yang sibuk dengan kegiatannya di pagi ini. Sudah hampir sebulan, sang sahabat terlihat sedih dan kadang menangis. Aisyah tahu masalah yang menyebabkan Almira seperti ini. Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Almira yang masih berkutat dengan kesibukannya.

"Apa kau akan menemui lelaki itu sebelum pergi?" tanya Aisyah wanita berkerudung merah kepada sahabat kecilnya.

"Tentu saja. Aku akan menemuinya," sahut Almira terdengar pelan.

"Cih ..." ejek Aisyah sambil mendengkus kesal.

"Ada apa?" Almira bertanya mengernyitkan dahi.

"Kau lupa apa yang telah dia lakukan kepadamu?" Aisyah terlihat kesal.

"Aisyah, aku tidak pernah lupa hal itu tapi aku tak bisa begitu cepat melupakannya."

"Jadi pada akhirnya kau memilih meninggalkan kota ini, bukan?" Aisyah mendekat kepada sahabatnya sembari menata pakaian ke dalam koper.

Almira hanya tersenyum menanggapinya.

"Kuharap kau di sana menemukan seseorang yang terbaik untukmu," doa Aisyah tulus.

"Aku masih belum berpikir untuk mendekatkan diri kepada seseorang saat ini."

"Lambat laun kau pasti bisa melupakannya, Kawan." Aisyah merangkul Almira dan hampir menitikkan air mata.

Siang ini Almira akan pergi meninggalkan kota ini dengan penuh kenangan. Kota yang mengingatkannya tentang rasa sakit dan luka dalam. Mungkin inilah jalan terbaik untuk Almira dan lelaki yang pernah mengisi hatinya.

"Aku pergi dulu, Aisyah."

Kembali Aisyah memeluk sahabatnya dengan erat.

♡♡♡♡♡

Seorang wanita muda sedang melihat manusia yang berlalu lalang di siang hari. Ia menyadari kedatangan seorang pria yang berada di sampingnya. Pria tersebut duduk bersebelahan tanpa melihat wanita itu.

"Apa kabarmu, Almira?" sapa seorang pria yang mengenakan setelan kemeja biru.

"Sangat baik, Arif," sahut Almira.

"Aku kira kau tak akan datang, Rif."

"Aku akan datang karena kau sudah mengundangku."

"Bagaimana kabarnya Caca? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Almira tanpa sedikitpun menoleh kepada lawan bicaranya.

"Tentu saja dia baik-baik saja."

"Syukurlah. Aku turut bahagia mendengarnya." Almira berusaha menutupi pedihnya.

"Untuk apa kau mengundangku kesini, Mira?"

"Apa kau ingat pertemuan kita pertama kali, Rif?" Mira tak menjawab pertanyaan Arif.

"Tentu saja. Aku selalu mengingat hari itu." Arif menjawab datar.

"Aku mengingat hari itu adalah hari yang menyenangkan. Aku jatuh karena terlalu banyak orang yang mengantri. Kau membantuku untuk berdiri. Aku malu waktu itu," kenangnya dengan tersenyum.

"Dan kau segera belari tanpa mengucapkan terima kasih padaku." Arif tertawa kecil saat mengenang hal itu.

Almira tersenyum sendiri ketika kenangan itu kembali muncul.

"Ya kau benar. Aku terlalu malu waktu itu. Semua barangku terjatuh."

"Kau melupakan sesuatu hingga kau kembali mencariku di himpitan orang yang naik kereta waktu itu," kekeh Arif menyunggingkan senyuman.

"Karena dompetku. Aku bisa mengenalmu sampai sekarang," kenang Almira lagi.

"Kita berteman saat itu hingga tanpa aku sadari hati ini berlabuh kepadamu. Aku tak mengira pertemanan kita menjadi cinta. Kita menjalin hubungan selama dua tahun. Bercanda, menonton dan kencan. Aku menikmati semua hal itu. Kau melamarku di hari lahirku. Aku bagai terbang di angan-angan. Kau mengatakan bahwa kau akan menjaga dan mencintaiku selamanya," kata Almira mengingat kenangan mereka bersama.

Arif terdiam tak bisa berkata apapun.

"Aku kira aku adalah wanita yang berbahagia. Wanita yang akan di persuntingkan oleh kekasihnya. Tetapi nyatanya aku salah."

"Maafkan aku Almira." Hanya itu yang dapat terucap dari mulut Arif.

Almira menggelengkan kepalanya sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kau tak perlu meminta maaf padaku, Rif. Aku yang telah salah mendeskripsikan cinta itu seperti apa. Aku kira aku bisa membuatmu melupakan bayangannya dari pelupuk matamu. Tapi aku tak mampu. Selama dua tahun ini aku tak sanggup mengubahmu untuk menerima hatiku."

"Sejak Caca dinyatakan koma. Aku kira aku tak memiliki harapan untuk bersamanya. Tahun kedua ia tak kunjung membuka matanya. Aku sudah pasrah akan hal itu hingga aku bertemu denganmu. Menjalin persahabatan denganmu dan mencoba mencintaimu. Jujur aku senang saat bersamamu. Melupakan sejenak kepenatan dalam pikiranku tentangnya. Kau dapat membuat hariku yang selama ini suram menjadi berwarna. Kau menawari aku sebuah hati. Aku perlahan menerimamu," ungkap Arif dengan menahan pedih.

"Aku berharap kau tak berbohong tentang hal itu, Rif."

"Aku tak berbohong kepadamu, Almira," sanggah Arif.

"Tetapi ketika hari pertunangan kita. Caca terbangun. Hal pertama yang ia cari adalah aku. Aku berbohong waktu itu. Aku mengatakan ada rapat penting di kantor tetapi aku di rumah sakit waktu itu. Aku senang ia telah membuka matanya lagi. Aku rindu dengan tawanya, candanya dan panggilannya untukku. Tanpa sadar aku masih mencintainya. Cinta pertamaku."

"Aku seringkali berbohong kepadamu, Almira untuk menemui Caca di rumah sakit," lanjut Arif menoleh kepada Almira dengan tatapan yang nanar.

"Aku tahu Arif. Aku sudah mengetahui sebelum pertunangan kita. Kau sering mampir kerumah sakit."

Arif sedikit terkejut.

"Mungkin kau akan mengatakan mengapa aku tak menghentikan saja pertunangan ini? Benar bukan?"

Arif mengangguk meminta jawaban.

"Aku ingin menjadi egois untuk saat itu. Aku tak ingin kau memilikinya. Aku pikir ketika aku berubah egois aku bisa memilikimu seutuhnya tetapi aku salah. Hati, pikiran dan cintamu masih miliknya. Aku hanya memiliki raga dan tubuhmu saja. Kau tak pernah mencintaiku, Rif. Kau menganggap aku sebagai pelarian saja."

"Apakah kau pernah menyisahkan sedikit ruang di hatimu untuk aku, Rif?" Almira menoleh kepada Arif untuk pertama kalinya.

Arif tak mampu menjawabnya.

"Kau tak perlu menjawabnya, Rif. Aku tahu jawaban yang akan kau berikan."

"Kemarin aku bertemu dengannya di rumah sakit. Aku mengatakan kepadanya aku adalah sahabatmu. Dia memang cantik ya Rif? Dia mudah tersenyum dan ramah kepada siapapun. Tak heran kau mencintainya. Aku mengaguminya. Aku kalah dengannya untuk memenangkan hatimu." Almira menahan nada kepedihan saat bicara.

Arif berusaha memegang tangan Almira namun ditepis oleh wanita yang ia lukai. Almira terluka di sudut hatinya yang dalam.

"Keretaku sudah datang. Aku akan pergi, Rif. Aku tak ingin menjadi wanita egois untuk seseorang." Almira beranjak dari tempat duduknya.

"Kemana kau akan pergi, Almira?" Arif mencegah kepergian Almira.

"Pergi untuk menata hatiku, Rif. Jaga cintamu untuknya. Jangan kau biarkan hatimu di isi cinta yang lain selain dirinya," pamitnya sambil naik atas anak tangga kereta api.

Almira tersenyum untuk terakhirnya kepada Arif. Ia yakin kepergiannya akan membawa kebahagian untuk dirinya sendiri dan orang yang pernah mengisi relung hatinya.

Kereta api yang di naiki Almira telah melaju dari Stasiun. Menyisahkan duka yang mendalam bagi Almira. Ia tak tahu kapan ia akan kembali atau tak pernah kembali lagi. Hanya Almira yang mengetahuinya.

♡♡♡♡♡

Tamat

Lagu untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang