Ibu

72 10 0
                                    

"Kasih ibu adalah tulus."

*****

"Kau masih marah kepada ayah, Nina?" tanya Pras kepada anak gadisnya di meja makan.

"Nah itu ayah sudah tahu?" sungutnya sambil menatap tajam ke arah wanita di depannya.

"Nak, dia adalah ibumu. Ibu yang sudah melahirkanmu." ujar Pras berusaha sabar.

"Jika ia ibuku. Kenapa wanita ini meninggalkan ayah sepuluh tahun yang lalu? Kemana saja dia?" Dengan perasaan jengkel Nina membanting sendok ke piringnya.

"Nina, jangan seperti itu kepada ibumu." kata Mentari istri kedua ayahnya.

"Sudah lama Nina menganggap bunda Mentari adalah ibuku. Bukan dia yang sengaja meninggalkan ayah dan anaknya sepuluh tahun yang lalu dan dengan mudahnya ia kembali ke ayah." bentaknya yang membuat ibu kandungnya menangis.

Plakk

"Hentikan ocehan tidak jelasmu, Nina. Kau tak tahu apapun tentang ibumu." Pras yang sedari tadi menahan amarah lepas kendali hingga menampar Nina.

"Oh jadi karena wanita ini ayah menamparku?" tangisnya dengan menatap kebencian kepada Seruni ibu kandungnya.

"Nina tolong hentikan perkataanmu, Nak." sahut Mentari kepada Nina.

"Bunda sama seperti dengan ayah." ujar Nina sambil berlari menuju kamarnya.

"Mbak, jangan di ambil hati ya. Nina tidak tahu apapun." Mentari memeluk Seruni yang menahan sesak di dada.

"Seruni, jangan kau membenci Nina. Biar Mas yang akan memberitahu sebenarnya." Pras menyahut dengan nada pelan.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku paham dengan keadaan ini." Seruni menepuk punggung tangan Pras dan melangkah pergi.

Pras maupun Mentari sudah berusaha meyakinkan untuk menerima kembali ibu kandungnya yang sudah sepuluh tahun tak pernah ada di samping Nina.

Nina tidak pernah tahu apapun tentang ibu kandungnya yang tak pernah ia jumpai. Ketika Seruni meninggalkannya waktu Nina berusia tujuh tahun. Nina juga tidak pernah tahu alasan kepergian ibunya. Yang Nina tahu ketika ibunya pergi ayahnya menikah lagi dengan Mentari yang tak lain adalah adik dari Seruni.

Di dalam kamarnya Seruni menangis sendiri. Ia tak menyangka dirinya tak di anggap oleh anaknya sendiri. Jika saja peristiwa itu tak pernah terjadi maka ia dan anaknya akan bahagia.

♡♡♡♡♡

Dia pikir adalah ibuku? Enak saja ia menganggapku sebagai anaknya. Kemana saja ia selamanya ini meninggalkan ayah dan aku saat aku berusia tujuh tahun. Usia di mana aku membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Untung saja ayah menikah dengan bunda Mentari yang notebene adalah bibiku.

"Nak,..." Panggil seseorang yang aku kenal.

Aku tak mau menyahut. Aku membalikkan tubuhku tak mau memandang wajahnya sama sekali.

"Maafkan ibu, Nak. Ada alasan kenapa ibu tak memberitahumu sebenarnya." katanya dengan mengelus punggungku.

Aku menyingkirkan tangannya dari punggungku. Aku tak ingin di sentuhnya.

"Ibu tahu kamu pasti marah sama ibu. Ibu mohon jangan seperti itu, Nak." pintanya dengan suara serak.

Aku tak peduli ibu mau menangis atau meraung-raung di hadapanku. Aku tak sudi memaafkannya.

Ketika pertama kali beliau datang kerumah sore itu membuat dunia yang semula aku anggap bahagia nyatanya beliau membawa duniaku suram. Banyak tetangga yang berbisik - bisik mengenai kehadiran ibuku yang baru kelihatan.

Lagu untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang